Marisa menunggu aku bersuara. Namun, bibirku terkunci, hanya sisa-sisa tangis yang masih terdengar.
“Kalau lo nggak kuat cerita sekarang, nggak apa-apa. Lo bisa cerita kapan aja kalau udah siap. Gue cuman mau tanya, Bayu nggak selingkuh, kan?”
Aku tersentak, lalu menggeleng kuat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kenapa lo sampai mikir jauh ke sana, Sa?”
“Ya, sekarang kan zamannya suami pada selingkuh, padahal istrinya cantik dan nggak punya masalah. Nah, gue denger cerita lo cuman sepintas. Tahu-tahu lo minta pisah, bingung kan, gue? Bukannya lo cinta mati sama Bayu? Dia juga kan tipe suami teladan dan sayang istri?
Terus kenapa lo minta cerai? Masalahnya apa, Mir? Yakin udah nggak bisa diomongin lagi? Lo udah siap dengan predikat janda?” Pertanyaan-pertanyaan Marisa yang bertubi-tubi membuatku makin terpojok. Aku tidak bisa menyalahkan Marisa karena apa yang dia katakan itu ada benarnya.
“Masalahnya nggak hanya satu, Sa. Semuanya udah numpuk, udah nggak bisa gue hadapin. Selama nikah, gue selalu berusaha meyakinkan diri kalau semua yang gue alamin itu wajar dalam rumah tangga. Gue nggak pernah ambil pusing kalau ada masalah dalam rumah tangga karena tahu kalau semuanya akan baik-baik aja. Gue nggak boleh cengeng dan banyak nuntut, nggak boleh manja.” Aku menjelaskan dengan napas memburu.
Marisa kembali menoleh dan menatapku dengan pandangan prihatin.
“Terus, lo udah coba ngomong sama Bayu? Udah kasih tahu dia isi hati lo?”
“Nah, itu juga masalah. Sebelum pulang, gue udah ngajak dia ngomong. Gue mau dia terbuka, ungkapin perasaan dia juga. Jadi kita saling bicara supaya jelas semuanya. Tapi dia nolak. Terus gue ajak ke ustazah kita berdua, tapi dia tetap nolak. Kalau udah gini gue mesti gimana lagi?”
“Mir, lo masih cinta kan sama Bayu?”
Pertanyaan Marisa membuatku terhenyak.
“Benarkah aku masih cinta pada Mas Bayu? Kalau aku nggak cinta lagi, lalu kenapa selalu ada rasa sakit di dada setiap kali mengingatnya? Kenapa baru berpisah sehari saja aku sudah merasa rindu?” tanyaku dalam hati.
“Amira?”
“Eh, iya,” sahutku, “gue masih cinta banget, Sa.” Aku berpaling, memandang suasana Jakarta yang mulai gelap dari balik kaca jendela.
“Nah. Kalau menurut gue, lo tenangin diri dulu, deh. Lo itu lagi emosi, nggak bisa berpikir jernih. Hati lo ketutup sama semua hal negatif tentang Bayu.” Marisa menoleh saat mobil berhenti karena lampu merah.
“Coba ingat-ingat lagi saat pertama lo jatuh cinta sama dia, saat lo akhirnya bisa menikah. Gimana bahagianya lo waktu bulan madu. Kalau perlu catat di buku supaya lo ingat gimana baik dan sabarnya Bayu.”
Aku memandangnya tidak percaya.
“Lo kerasukan apa, Sa? Jadi bijak banget.” Mau tak mau aku terkekeh mendengar kata-kata Marisa. Sahabatku ini jarang sekali bicara banyak dan bijaksana seperti ini. Ia lebih suka bergurau untuk menghilangkan gundah. Bagi Marisa, hidup ini harus dinikmati. Kalau ada masalah, ia lebih senang menyimpannya sendiri.
Jika ada teman yang sedang kesusahan, ia mengajak untuk bersenang-senang agar teman tadi lupa akan masalahnya. Makanya mendengar Marisa bicara seperti ini, aku terhenyak dan tidak menyangka ia bisa sebijaksana itu.
Gadis itu cemberut mendengar kata-kataku.
“Kan, giliran gue ngomong benar, lo nggak percaya. Gini-gini kan gue juga punya suami, Mir. Itu kata-kata gue ambil dari pengalaman gue sama Reza. Kalau kita lagi berantem, gue berusaha ingat gimana baik dan sayangnya Reza ke gue. Lama-lama gue bisa lebih sabar.”
Senyumku mengembang.
“Iya, lo benar. Makanya saat jauh kayak gini, gue mau intropeksi hubungan gue sama dia. Tolong jangan kasih tahu nyokap sama adik gue, ya, Sa. Biar gue usaha selesain masalah ini sendiri. Gue nggak mau mereka kepikiran,” kataku lirih.
Marisa mengangguk. Mobil terus melaju menuju rumahku. Suara merdu Laura Pausini dengan “It’s Not Goodbye”, mengalun lembut menemani kami di sepanjang sisa perjalanan.
-bersambung-
Halaman : 1 2