Amira Dzakiya
“Mas, sarapan dulu!” Setengah berteriak aku memanggil Mas Bayu yang sedang bersiap ke kantor.
Di meja telah tersaji nasi goreng dengan telur dadar yang masih hangat, juga piring, sendok, serta dua gelas berisi jus jeruk segar. Setelah selesai menyiapkan semuanya, aku duduk menunggu suamiku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kamu belum makan?” tanya Mas Bayu ketika melihatku bermain HP.
“Nunggu kamu,” sahutku sambil memandangnya. Wajah tampan dengan hidung mancung dan dagu terbelah. Kulitnya yang sawo matang membuat penampilan Mas Bayu tampak gagah.
“Ngapain ngeliatin sampai kayak gitu?” Mas Bayu duduk di depanku.
“Nggak boleh?” jawabku sambil mengedipkan sebelah mata.
“Kagum, ya? Emang baru sadar kalau aku ganteng?” sahutnya menggoda. Pagi ini ia mengenakan kemeja abu-abu lengan panjang dan celana hitam.
Sontak aku mencibir.
“GR banget, sih!” gerutuku. “Dah, sini piringnya, aku ambilin nasi goreng.”
Mas Bayu mengambil piring yang telah kuisi dengan nasi goreng dan segera menikmatinya.
“Enak, nggak?” Aku bertanya sambil mengamati gerakannya.
“Enak, kok. Udah mulai pinter masak, nih?” jawabnya meraih segelas jus jeruk dan meneguknya.
Wajahku berbinar mendengar pujiannya.
“Enak, tapi …, lain kali garamnya dikurangin, ya?” lanjut Mas Bayu menahan senyum.
“Hah? Keasinan, ya? Duh, perasaan garamnya nggak banyak, deh. Asin banget, Mas?” tanyaku panik.
“Nggak apa-apa. Masih bisa aku telan. Cuman kalau lama-lama kayak gini, bisa darah tinggi nanti.”
“Iya, lain kali aku kurangin. Maaf, ya?”
“Kamu udah nyobain? Asin, nggak?” tanyanya.
Aku segera menyendok nasi ke mulut … dan langsung kumuntahkan kembali. Segera kusambar segelas air putih untuk menghilangkan rasa tidak enak di lidah.
Mas Bayu tertawa. Ia tidak perlu mengeluh panjang lebar, aku langsung paham.
“Mau bareng aku nggak? Nanti aku drop di kantormu,” tanyanya sambil membawa piring bekas makan ke tempat cuci piring.
“Boleh, deh. Bentar ya, aku cuci piring dulu. Mas tunggu di ruang tamu aja.”
Aku pun membawa perlengkapan makan dan dengan cepat mencucinya. Selesai mencuci piring, aku bergegas menuju kamar untuk merapikan pakaian dan riasanku. Hari ini aku memilih rok span hitam panjang dengan kemeja tunik hijau muda. Rambut kusanggul cepol supaya tidak mengganggu saat bekerja. Kusambar tas dan berjalan menyusul Mas Bayu yang sudah menunggu di motor.
Ia memberikan helm yang segera kupakai. Aku lalu duduk menyamping sambil memeluk pinggangnya.
“Rumah udah dikunci? Listrik-listrik udah dimatiin?”
“Udah.” Aku menepuk punggungnya. “Yuk, jalan, Mas! Nanti kamu telat.”
Mas Bayu segera menjalankan motor menuju kantorku. Sungguh saat-saat seperti ini yang sangat aku tunggu-tunggu. Bahagia kami sederhana. Pergi bersama ke kantor dengan berboncengan motor saja bisa membuat pagiku menjadi indah. Kami baru setahun menikah dan masih saling adaptasi sifat masing-masing. Tinggal pun masih di rumah kontrakan. Namun, semua kami jalani dengan senang hati.
Setiap makan malam selalu kami isi dengan saling bercerita tentang suasana kantor. Kami membereskan piring bersama-sama dan melanjutkan obrolan di kamar. Saat santai seperti itulah Mas Bayu bercerita tentang kehidupan keluarganya dan masa kecilnya. Juga nasihat kalau aku harus mencoba bersikap lebih ramah ke orang lain.
Seperti pagi ini, menyusuri jalan di selatan Jakarta sambil menikmati sejuknya semilir angin membuat hariku menjadi penuh warna.
“Hati-hati, ya, Mas!” ujarku saat turun dari boncengan dan melepas helm. Tak lupa kucium punggung tangannya. Ia pun menggantung helm-ku di dekat kakinya. “Jangan lupa kalau udah sampai kantor, kasih kabar.” Aku menunggu sampai ia berlalu.
Setelah menjawab salam, Mas Bayu pun meluncur melanjutkan perjalanan.
Hari demi hari kami lalui dengan bahagia. Terkadang memang kami bertengkar, tetapi tidak pernah bertahan lama. Aku selalu berusaha untuk mengubah kebiasaan buruk dan mencoba untuk menjadi lebih baik. Aku juga selalu menerima sikap buruk suamiku karena bagiku, rumah tangga adalah sebuah kehidupan untuk saling mengerti dan memperbaiki diri.
Kami saling melengkapi satu sama lain. Saat libur, Mas Bayu selalu mengajariku memasak. Bukan berarti aku tidak bisa memasak, hanya saja masakan suamiku lebih bervariasi. Ia senang mencoba resep-resep baru. Dapur menjadi tempat favorit kami karena saat memasak bersama itu, kami banyak bercerita dan menjadi semakin mengerti sifat masing-masing. Apa yang disukai dan tidak disukai.
“Mir, besok aku mau gowes bareng teman-teman, ya?” Malam itu Mas Bayu memberi tahu kalau ia sudah mulai kembali menekuni hobi bersepedanya yang sempat terhenti ketika kami baru menikah.
“Biasanya rutenya ke mana?” sahutku ingin tahu. Kualihkan pandangan dari novel yang sedang kubaca.
“Sekitar rumah aja dulu. Nanti kalau udah biasa baru agak jauh.”
“Jangan lama-lama, ya? Kita perlu belanja bahan-bahan makanan, Mas. Udah pada habis.”
“Iya. Nanti kalau aku udah pulang, kita jalan. Kamu siap-siap aja.”
Aku mengangguk lalu melanjutkan bacaanku. Mas Bayu naik ke tempat tidur sambil memainkan HP.
Sebetulnya aku sempat terkejut ketika dua hari sebelumnya, sepulang kantor, ada kiriman sepeda balap untuk Mas Bayu. Aku memang tahu kalau lelaki itu punya hobi bersepeda. Namun, ia tidak pernah membicarakan padaku kalau akan membeli sepeda baru. Setahuku, ia sudah punya satu sepeda yang sering digunakan ketika kami belum menikah.
Halaman : 1 2 Selanjutnya