“Kamu beli sepeda baru, Mas? Mahal, kan?” tanyaku.
“Iya. Lagi ada diskon. Jadi nggak mahal,” sahutnya singkat.
“Kok, Mas nggak cerita ke aku?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Nggak perlu, Mir. Masak gitu aja mesti cerita ke kamu? Aku beli pake uang tabungan sendiri waktu belum nikah, bukan uang tabungan kita.”
Jawaban Mas Bayu membuatku terdiam. Dia nggak salah, memang aku nggak berhak tahu karena itu uangnya sendiri. Aku mencoba menerima alasannya meskipun tak mengerti. Bagiku, lebih baik menabung dulu untuk membeli rumah, daripada membeli sepeda seharga satu buah motor. Tapi sekali lagi, itu uang Mas Bayu sendiri, jadi aku nggak berhak marah.
Esok paginya, selesai salat Subuh, Mas Bayu sudah siap dengan pakaian khusus bersepeda. Sebelum pergi, ia mengecek dulu kelengkapan sepeda yang baru ia beli tiga hari lalu. Menjelang siang, Mas Bayu menepati janjinya untuk mengantarku belanja.
Tanpa terasa, dua tahun sudah kami menikah. Kami sudah bisa membeli rumah baru meski dengan mencicil. Rasanya semakin lengkap kebahagiaanku. Karena lokasi rumah kami jauh dari kantor, setiap pagi Mas Bayu selalu mengantarku ke kantor dan menjemputku kembali. Sudah menjadi kebiasaanku selalu menghubungi Mas Bayu setiap menjelang makan siang. Bukan apa-apa, hanya sekedar memastikan kalau dia baik-baik saja. Menelepon juga tidak membutuhkan waktu lama, asal aku tahu keberadaannya, sudah membuat hatiku tenang.
“Assalamualaikum! Jangan lupa makan siang, ya, Mas! Jangan kerja terus,” ucapku begitu mendengar suaranya di seberang.
“Waalaikumsalam! Jangan telepon sekarang, Mir! Aku lagi rapat penting. Dah, ya. Nanti aku telepon kamu,” ujarnya setengah berbisik.
Belum sempat aku menjawab, Mas Bayu sudah memutuskan sambungan.
Aku terhenyak. Kenapa tidak bisa bicara baik-baik? Aku kan hanya ingin memastikan Mas Bayu sudah sampai di kantor. Saat tiba di rumah malam harinya, ia menegurku. Kami baru saja selesai makan malam dan sedang bersantai di ruang keluarga.
“Kamu harus banget ya, telepon tiap hari? Kan pagi aku udah jemput dan antar kamu. Kita udah ketemu dan jalan bareng ke kantor. Sorenya kita juga ketemu lagi. Nggak perlu telepon tiap hari gitu, Mir!” tegasnya dengan wajah ditekuk.
“Emang nggak boleh? Biar aku nggak khawatir, Mas. Biar aku tenang kalau kamu tuh udah selamat sampai ke kantor. Masa nelepon suami sendiri nggak boleh?” balasku tak kalah keras.
“Bukan nggak boleh, tapi kadang telepon kamu ganggu kerjaanku. Kalau aku nggak jawab, nanti kamu ngambek, dijawab, ya itu, bikin nggak fokus kerja. Ngerti, nggak?” ucapnya mencoba bersabar.
Jantungku berdetak lebih cepat mendengar ucapan Mas Bayu. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab.
“Neleponnya juga nggak lama. Masa gitu aja ganggu?”
“Lewat chat aja bisa kan?” Mas Bayu masih belum puas.
“Udah berkali-kali lewat chat, tapi kamu nggak pernah balas. Salah siapa jadinya?” gerutuku.
“Ya kalau gitu kamu harusnya ngerti kalau aku sibuk. Udahlah, doa aja supaya Allah selalu melindungi aku, melindungi kita. Pasrah gitu, nggak perlu terlalu khawatir. Nanti kamu malah sakit.” Suaranya melunak.
Aku membisu.
-bersambung-
Halaman : 1 2