Amira Dzakiya
Kehidupan pernikahanku dan Mas Bayu terlihat harmonis. Suamiku memang termasuk lelaki yang baik, sabar, dan penyayang. Ia juga seorang pekerja keras. Masalah kami belum juga diberikan keturunan, tidak membuatnya menyalahkanku. Bahkan ia selalu membela ketika orang tuanya menyudutkanku karena belum hamil juga.
Di mataku, ia adalah suami idaman. Tampan, sukses, dan mudah bergaul. Namun, terkadang ia tidak memperhatikan hal-hal kecil yang bagiku merupakan hal penting. Ia selalu lupa hari ulang tahunku. Baginya, ulang tahun bukan hal istimewa. Awalnya aku sempat marah, tetapi lama-kelamaan itu menjadi biasa. Ia juga terkadang menganggap tanggal pernikahan kami sebagai hari biasa. Jadi, tidak perlu harus dirayakan. Sementara aku adalah kebalikannya. Aku senang merayakan sesuatu dengan cara romantis seperti makan malam berdua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti yang terjadi di ulang tahun pernikahan kami yang ketiga. Jauh-jauh hari aku sengaja mengingatkan Mas Bayu kalau kami akan merayakan ulang tahun pernikahan di sebuah restoran yang romantis. Aku bahkan sudah menyiapkan hadiah untuknya. Namun, apa yang terjadi? Dengan mudahnya ia melupakan hari penting itu dan membatalkan rencana makan malam kami karena ia harus menghadiri rapat di kantor. Rapat sengaja dilakukan setelah magrib agar tidak mengganggu jam kerja.
Bukan hanya sekali ini saja ia melupakan hari bersejarah kami, bahkan setiap tahun selalu terjadi hal yang sama. Rasanya aku mulai putus asa untuk mengingatkan Mas Bayu. Dadaku sakit menahan kecewa yang muncul.
“Kamu kenapa sih, dari tadi diajak ngomong diam aja?” Mas Bayu menegurku keras.
Mulutku terkunci rapat.
“Amira! Kalau diajak ngomong sama suami itu jawab!” sentaknya lagi.
Aku menatapnya tajam. Demi Tuhan, ampuni aku karena kali ini melawan suami.
“Masih nanya kenapa, Mas?” ucapku gusar.
“Iya. Kamu sudah tiga hari nggak mau diajak ngomong. Tiap aku tanya selalu diam. Ada apa?” tanyanya dengan wajah tanpa dosa.
Aku meraih remote TV dan membesarkan volumenya. Kali ini aku benar-benar marah. Aku terlalu kecewa karena sikap Mas Bayu yang tidak merasa bersalah. Mas Bayu pindah duduk di sebelahku dan merebut remote dengan kasar.
“Kamu kalau ada masalah, ngomong! Jangan diam kayak gini.”
“Jadi kamu benar-benar nggak tahu kesalahanmu?” bentakku gusar. “Kamu nggak sadar kalau sudah mengecewakanku?”
“Soal ulang tahun pernikahan? Ya ampun, Amira! Aku kan udah minta maaf. Aku betul-betul lupa hari itu karena dari pagi sibuk dan lanjut rapat sore harinya.” Mas Bayu menghela napas. “Masa sih hanya karena masalah gini aja, kamu tega diemin aku?”
“Apa? Masalah ‘gini aja’ kata kamu, Mas?” Mataku melotot gemas melihat wajahnya. “Kamu nggak berusaha mengerti begitu pentingnya hari itu buat aku? Hari yang harus disyukuri karena kita bisa mencapai tiga tahun pernikahan.”
“Harus, ya, dirayakan? Kalau pas nggak ada uang gimana? Masa harus tetap maksa makan di restoran mahal?” tanya Mas Bayu. “Anniversary itu nggak perlu dibesar-besarkan, cukup diingat aja. Bersyukur bisa melalui berapa tahun pernikahan, bukan berarti harus dengan makan di restoran,kan?”
“Jahat kamu!” Air mataku mengalir deras. Dada terasa seperti mau meledak. Cepat aku bangkit dan setengah berlari meninggalkannya.
Seminggu lamanya kami tidak bertegur sapa. Kalau pun harus bicara, hanya yang penting-penting saja. Kali ini aku bertekad tidak akan mengalah. Biar Mas Bayu menyadari kesalahannya. Kecewaku kali ini sengaja kuperlihatkan, tidak seperti biasanya. Meskipun sedang dalam masa mengunci mulut, aku tetap melayani suamiku seperti biasa. Tetap memasak dan mengurus rumah.
Akhirnya suatu hari, ia mengajakku keluar untuk makan malam. Awalnya aku menolak, karena masih belum bisa memaafkannya. Namun, ia terus membujukku. Aku pun mengalah. Ternyata, ia membawaku ke sebuah restoran bernuansa romantis. Restoran kelas atas dengan dekorasi mewah dan menu makanan berkualitas tinggi. Juga pelayanan yang sempurna. Begitu masuk, alunan musik lembut dari dentingan piano menyambut kami. Suasana ruangan terasa sangat nyaman dengan pendingin udara yang sejuk. Sofa-sofa mewah diatur rapi memenuhi ruangan.
Mas Bayu memesan tempat di dekat sebuah jendela besar yang menghadap ke taman. Kerlap kerlip lampu menerangi gelapnya malam. Setelah memesan makanan, tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah tas kertas berisi sebuah kotak kayu berbentuk segiempat.
“Sayang, aku punya sesuatu buat kamu,” ujarnya tersenyum sambil menyerahkan kotak segiempat tadi. “Sebagai permintaan maafku,” lanjutnya.
Aku terperanjat, antara marah dan senang.
“Hadiah apa, Mas? Aku kan nggak ulang tahun?” tanyaku dengan kening berkerut.
“Emang nggak boleh ngasih hadiah pas nggak ulang tahun?”
Aku membuka kotak hitam itu dan mataku langsung berbinar melihat isinya.
“Mas! Ya ampun. Cantik banget! Makasih, ya?” jeritku tertahan begitu melihat isi kotak tadi. Sebuah jam tangan rantai berbentuk kotak dengan hiasan berlian kecil melingkar di pinggirnya. Hilang sudah kekesalanku. Aku melihat mereknya dan terbelalak.
“Ini jam mahal!”
Mas Bayu tertawa melihat tingkahku.
Halaman : 1 2 Selanjutnya