“Lho, itu baik si Bayu. Sama sekali nggak ngerendahin lo, Mir!” Marisa menyela ceritaku sambil memasukkan singkong goreng ke mulutnya.
Aku mengembuskan napas dengan keras. Bibirku terkatup rapat.
“Salah ngomong lagi deh, gue.” Marisa menutup mulutnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Nggak, kok. Lo bener, Sa. Gue aja yang baper!” sahutku ketus.
“Amira …, lo itu harus lebih banyak bersabar. Maaf, gue ngomong kayak gini karena gue kenal elo udah lama. Lo itu terlalu mikirin hal yang belum tentu benar. Overthinking, gitu. Contohnya kayak cerita lo barusan. Bayu benar kan, dia bilang lo harus lebih rajin lagi belajar masaknya kalau mau bikin makanan lezat.”
“Gue tahu, Sa! Tapi ya nggak perlu bilang masakan ibunya lebih enak.” Aku masih tidak terima.
“Lho, yang ngomong kayak itu kan lo sendiri, Neng! Bukan Bayu. Coba deh, lo tenangin diri biar bisa mikir jernih. Jangan pake emosi.” Sahabatku itu tersenyum lembut.
Aku cemberut.
“Abisin dulu deh makanannya, nanti nggak enak kalau kelamaan didiemin gitu.”
Tanpa banyak bicara aku segera menghabiskan sisa nasi bakar di piring. Setelah meneguk jus jeruk, aku melamun sambil memandang sekeliling restoran yang siang itu ramai oleh para pengunjung yang rata-rata profesional muda.
“Terus?” Suara Marisa menyadarkanku.
“Eh, apa?” sahutku kaget.
“Lanjutin cerita lo! Marisa menatapku dalam. “Ngelamun aja, Neng. Ingat Bayu, ya?” godanya.
Aku mendelik.
“Gue mau pesen hidangan penutup. Lo mau?” tanyaku sebelum melanjutkan cerita.
“Nggak ah. Udah full banget ini. Lanjut, Neng!” Marisa menggelengkan kepalanya.
“Sabar, ih! Kenapa jadi dia yang semangat gitu, ya?” Aku memanggil pelayan untuk menambah pesanan.
“Oke, gue lanjut, ya.”
Kisah pun berlanjut.
Di tahun ketiga pernikahan kami, Mas Bayu mulai gelisah karena aku belum juga hamil. Aku tahu kalau dia mendapat tekanan dari ibunya. Aku harus bagaimana? Allah belum mengizinkan aku hamil. Apa lagi yang bisa aku lakukan? Aku sudah berikhtiar dan berdoa.
Minggu pagi itu setelah mandi dan menyiapkan sarapan, aku izin pada suamiku untuk menyelesaikan pekerjaan kantor yang tertunda. Aku berpikir toh semua pekerjaan rumah sudah selesai dan biasanya Mas Bayu pergi dengan teman-teman kelompok sepedanya. Jadi, daripada bengong menunggu dia pulang, lebih baik aku mengerjakan tugasku membuat proposal rencana peluncuran produk baru, dari mulai strategi, anggaran, hingga acara.
“Masih kerja, Mir? Ini hari Minggu, lho. Istirahatlah!” Suara keras Mas Bayu mengagetkanku. Rupanya ia sudah pulang dan gusar melihat aku masih berkutat di depan laptop. Sambil menyeka keringat di wajahnya, Mas Bayu mengempaskan tubuh di sofa ruang keluarga.
“Eh, iya. Sebentar lagi, Mas. Kamu mau makan? Aku belum masak, nih. Biasanya kan kamu pulang menjelang zuhur, ini tumben baru jam 10 udah selesai gowesnya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan tatapanku dari layar.
Lelaki tegap itu lalu bediri dan berjalan mendekatiku. Wajahnya merah padam dengan bibir terkatup rapat.
“Amira!” tegurnya keras.
Aku terlonjak kaget.
“Astaghfirullah! Kenapa sih, Mas?” jawabku dengan suara tinggi.
“Kamu ini terlalu banget! Masa dari tadi pagi sampai sekarang nggak selesai-selesai kerjanya?” Ia memandangku. “Kurang ya, dari Senin sampai Jumat kerja di kantor? Harus banget sampai dibawa ke rumah?”
“Baru sekali ini juga aku bawa kerjaan ke rumah, Mas!” Aku tak mau kalah. “Lagipula, semua kerjaan rumah udah beres. Setelah ini aku akan masak untuk makan siang.”
“Jangan terlalu ngoyo gitu kalau kerja! Santai aja. Kamu kan perempuan, seharusnya nggak perlu kerja!” sentaknya.
Mulai lagi. Kutahan air mata supaya tidak jatuh.
“Kenapa kamu jadi ngungkit hal itu terus, Mas? Kamu kan sudah janji kalau setelah menikah aku masih boleh kerja?” jawabku bergetar. “Semuanya untuk Ibu dan kedua adikku.”
“Ya, tapi kamu juga harus ingat, dong! Tugas istri itu melayani suami. Masa udah siang gini belum masak juga?” Mas Bayu tampak berusaha mengatur napasnya yang memburu.
“Makanya kamu belum hamil juga sampai sekarang. Kamu terlalu stres dengan kerjaan kantor yang menumpuk kayak gini,” sergah Mas Bayu.
“Ya, Allah! Jahat banget kamu, Mas,” seruku. “Jangan bawa-bawa masalah itu. Aku belum hamil kan karena Allah belum ngasih. Memang kamu yakin semua salahku? Siapa tahu kamu yang bermasalah?” Kepalang tanggung, aku terlanjur mengucapkan kata-kata yang selama ini berusaha kusimpan baik-baik.
Mas Bayu terhenyak. Ia tidak menyangka aku akan berkata seperti itu.
“Kamu berani ngomong gitu ke aku?” Suara Mas Bayu sedingin es.
“Bukankah kamu duluan yang nyinggung soal anak?” ucapku terbata-bata menahan air mata yang akan tumpah. “Kamu tega nyalahin aku hanya gara-gara aku belum masak.” Akhirnya jebol sudah pertahananku. Kubiarkan air mata mengalir deras di pipi.
“Aku nggak nyalahin kamu, Mir! Aku hanya bilang kamu belum bisa hamil karena sibuk sama kerjaan kantor. Benar, kan aku ngomong?”
Aku membisu.
“Apa sebaiknya kamu mengundurkan diri aja dari kerjaan, supaya bisa konsentrasi untuk hamil,” kata Mas Bayu tegas.
Bagai disambar petir aku mendengarnya.
Mataku terbelalak. Ada nyeri di ulu hati. Kucoba menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengilangkan rasa sesak di dada.
Halaman : 1 2 Selanjutnya