“Kalau kamu nggak mau pisah, apa sudah siap untuk dengarkan aku? Kenapa sampai aku minta cerai? Mas udah siap juga untuk saling terbuka?” Perlahan ia menarik tangannya dan meletakkan di pangkuan.
“Aku akan berusaha. Selama kamu pergi, aku merasa sangat kehilangan. Aku sering mengikuti kajian tentang suami istri dari Ustaz Faruq.”
Amira menatapku dengan mata indahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jadi, Mas udah tahu soal sikap suami terhadap istrinya?” tanyanya lirih.
“Secara teori. Makanya, aku pingin dengar dari kamu langsung. Kamu bilang aja apa salahku, kamu bilang aku harus bagaimana. Aku janji akan ngelakuin semua yang kamu mau, asal kita nggak berpisah,” ujarku dengan suara bergetar. Belum pernah seumur hidup aku merasa seperti ini.
“Baik. Kita bicara di rumah Depok, ya. Kalau di sini nanti Ibu curiga. Aku belum kasih tahu Ibu masalah rumah tangga kita. Kasihan, nanti bikin Ibu kepikiran.”
“Kalau nanti kita udah saling bicara, kamu nggak jadi minta cerai, kan?”
Amira bergeming.
“Aku belum tahu, Mas. Kita jalani aja dulu, kita coba ngomong sejujur-jujurnya. Juga soal perasaan kamu tentang masalah kita belum punya anak. Keluarin aja semua, bahkan kalau kamu menyalahkan aku dan menganggap akulah yang tidak beres, bilang aja. Biar semua jelas.”
Amira menyeka matanya dengan ujung jari. Melihat itu hatiku terenyuh.
‘Begitu dalamkah luka hatimu, Mir?’
Aku menggeser dudukku dan segera merengkuhnya ke dalam pelukan. Ia membalas pelukanku erat. Terdengar isak lirih dari bibirnya.
Hatiku ikut gerimis melihat Amira menangis.
“Sudah, nanti Ibu dengar. Besok aja kita ke Depok, biar bisa cepat selesai masalahnya. Gimana?” Aku berusaha membujuknya.
Ia mengangguk pelan.
-bersambung-
Halaman : 1 2