Bayu Ramadhan
“Serius, Mir?” Aku memandangnya tak percaya.
“Ini bulan Ramadan lho, masa kamu ngambek lagi kayak gini? Kita juga baru aja ketemu setelah kepisah berbulan-bulan. Nggak kangen? Masa aku harus tidur di sofa?” tanyaku berusaha sekuat tenaga menahan rasa jengkel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Harapan melewatkan malam penuh kemesraan sirna sudah. Amira tidak mendengar perkataanku. Salahku sendiri, kenapa harus mulai bertanya masalah kami saat baru ketemu seperti ini. Sekarang aku harus menanggung akibatnya.
“Mir, aku minta maaf, deh. Aku emang jahat, nggak pengertian, nggak perhatian. Semua yang jelek-jelek ada di aku pokoknya. Maaf, ya, Sayang.” Sekuat tenaga aku mencoba menghiburnya, menekan gengsiku sebagai laki-laki dan kepala keluarga. Kalau memang aku harus minta maaf meskipun tak sepenuhnya bersalah, aku akan lakukan. Aku sudah berjanji untuk membujuk Amira agar mau menghentikan permintaannya untuk berpisah.
“Mir?” Aku naik ke tempat tidur lalu berbaring di sampingnya.
Amira masih membelakangiku.
Pelan kupeluk ia dari belakang. Perempuan cantik itu tidak menolak.
“Maaf, ya?” bisikku di telinganya.
Samar kulihat ia mengangguk. Alhamdulillah.
“Aku boleh tidur di sini?” tanyaku penuh harap. “Nanti mau salat malam, kalau tidurnya nggak nyaman, takut nggak segar pas bangun.” Aku mencoba membujuknya.
Tanpa berkata apa pun, Amira bangkit dan mengambil kembali bantal dan selimut, lalu meletakkannya dengan kasar di tempat tidur.
‘Tak apa,’ batinku. ‘Sabar … sabar … Bayu. Mengalah sekarang untuk menang.’ Aku terus mencoba bersabar.
“Makasih, ya, Sayang.” Aku segera berbaring di samping Amira.
“Besok kita ke rumah Mama, ya? Buka puasa di sana. Kamu mau, kan?”
“Iya,” jawab Amira singkat. Tak lama terdengar dengkur halusnya.
Aku masih menyelesaikan bacaan Al-Qur’an untuk menghilangkan rasa jengkel yang masih tersisa. Sejujurnya, kalau mau mengikuti kata hati, aku tersinggung melihat sikap dan kata-kata Amira. Namun, demi kebaikan hubungan pernikahan kami, aku rela mengalah. Belajar mengalah lebih tepatnya. Lama kelamaan mataku tak kuat menahan kantuk. Segera kututup qur’an dan segera terlelap.
Aku terbangun untuk melaksanakan salat malam dan makan sahur. Amira sudah tidak marah. Setelah salat Subuh, aku mengajaknya berjalan-jalan untuk menikmati segarnya udara pagi. Aroma petrikor menyusup ke dalam indra penciuman, memberikan rasa segar. Semilir angin terasa sejuk menyentuh lembut kulit kami. Semuanya membawa kedamaian dalam hatiku. Terlebih karena Amira sudah kembali ceria.
Hari itu kami akan berkunjung ke rumah orang tuaku. Amira memasak hidangan khusus ayam kungpow untuk Mama dan Papa. Aku tahu, ia telah berusaha dengan sebaik-baiknya. Amira tidak ingin mengecewakan Mama karena Mama adalah seorang juru masak yang hebat.
Kami tiba menjelang waktu berbuka. Rumah masa kecilku itu masih seperti dulu, tidak banyak yang berubah. Bagian depan terlihat baru saja dicat sehingga warna temboknya menjadi kembali cerah. Rumah putih bergaya kuno dengan halaman luas itu tampak tertata rapi. Taman di depan dan samping rumah dipenuhi bunga beraneka warna yang indah, hasil sentuhan tangan dingin Mama.
Mama dan Papa menyambut dengan gembira. Mama memelukku erat, seperti ingin menuntaskan rindunya pada anak semata wayangnya. Mata tuanya berkaca-kaca. Papa tak mau kalah. Ia menepuk bahuku berkali-kali sambil tak berhenti tersenyum. Kami menanti waktu berbuka dengan berbincang di ruang keluarga.
Ruang berkarpet tebal dengan sofa besar melingkar dan meja kaca di tengah. Sebuah lukisan kaligrafi Asmaul Husna terpajang di dinding, di samping sebuah jam besar. Di sebelah kanan berdiri sebuah rak buku besar menjulang hingga ke langit-langit berisi puluhan buku milik Papa. Sebuah pendingin ruangan dan TV melengkapi rasa nyaman saat berada di ruang itu.
Saat azan Magrib berbunyi, kami segera pindah ke ruang makan yang terletak di samping ruang keluarga. Sebuah meja makan panjang dengan delapan kursi disusun melingkari meja. Mama telah menyediakan bermacam hidangan buka puasa yang lezat. Hidangan Amira diletakkan bersama masakan Mama di meja makan. Kami menikmati kebersamaan berbuka puasa.
Tak lama setelah pulang dari masjid setelah menunaikan salat Magrib berjemaah, kami lanjutkan dengan makan malam.
“Wah, ayam kungpaw-nya enak, Mir! Makin pintar nih, masaknya.” Pujian Mama membuat Amira tersipu.
“Alhamdulillah kalau Mama suka. Mira nyoba resep ini berkali-kali sampai rasanya pas,” jawab Amira dengan senyum merekah.
Aku mengerling ke arah Mama.
“Terima kasih, Ma,” kataku tulus.
“Mama ini memang juru masak nomor 1 pokoknya,” cetus Papa sambil memandang Mama dengan penuh kebanggaan. “Selama menikah, Papa nggak pernah kecewa sama masakannya,” lanjut Papa.
“Memang sudah berapa tahun Mama dan Papa menikah? Eh, maaf, kalau pertanyaan Amira kurang sopan,” kata Amira dengan wajah memerah. “Mira ingin tahu cerita cinta Mama dan Papa sampai setua ini masih romantis,” imbuhnya cepat.
“Berapa tahun ya, Pa? Hampir 35 tahun kalau nggak salah. Mama nggak pernah ngitung,” jawab Mama tertawa.
Halaman : 1 2 Selanjutnya