Amira Dzakiya
Menjelang isya kami sampai di rumah. Sebuah rumah tua, tapi masih terlihat apik dan terawat. Bangunan putih dilengkapi teras dan beberapa kursi serta taman yang asri berisi beraneka bunga yang tersusun rapi. Rumah masa kecilku. Nissan Livina yang kami kendarai berhenti di depan pagar hitam yang terkunci. Aku keluar dari mobil dan menekan bel. Marisa segera menyusulku.
“Kok sepi, ya, Sa?” tanyaku sambil sekali lagi menekan bel dan berusaha melongok ke dalam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pada pergi, kali? Lagian kenapa, sih, lo nggak kasih kabar ke nyokap?” Marisa ikut melongok lewat pagar.
“Gue takut nyokap bingung kalau gue pulang mendadak dan nggak sama Bayu.”
“Lho, kalau lebaran kan juga lo biasanya pulang duluan? Tinggal bilang aja, Bayu belum bisa cuti, lo pengin pulang karena kangen ma nyokap dan adik-adik. Gitu aja kok bingung, Mir ….” ujar sahabatku itu gemas.
Aku tak menjawab. Kuambil ponsel dan menekan nomor Sasha, salah satu adik kembarku.
“Assalamualaikum, Sha!”
“Waalaikumsalam! Mbak Amira? Kok tumben jam segini nelepon?” jawab Sasha riang.
“Sha, Mbak di depan rumah, nih! Kamu di mana? Kok dibel nggak ada yang bukain pintu?”
“Hah! Serius Mbak Mir pulang? Kok nggak bilang? Aku lagi di luar sama teman-teman. Shanaz sama Ibu ada, kok. Mbak telepon aja, mungkin nggak dengar,” ujar Sasha.
“Nah, itu Shanaz udah keluar. Ya udah. Kamu jangan pulang malam-malam, Sha! Nggak baik.” Aku segera mengakhiri pembicaraan ketika melihat Shanaz berjalan mendekatiku.
“Mbak Amira?” tanya Shanaz ragu.
“Iya, Neng. Emang siapa?” Aku tergelak melihat wajah bingungnya.
“Kok pulang nggak kasih kabar?” jeritnya. “Mbak Marisa yang jemput?” Shanaz segera membuka pagar dan menghambur dalam pelukanku. Aku membalas pelukan Shanaz dan mencium pipinya. Gadis 25 tahun itu tampak semakin cantik dan dewasa.
“Ibu udah tidur?” tanyaku sambil menurunkan koper.
“Belum. Tadi lagi ngaji. Sini, Mbak, aku bantuin bawa kopernya.” Shanaz segera membantuku dan Marisa.
“Kamu pulang, Mir? Kok ndak kasih kabar?” Suara lembut itu seperti air sejuk yang membasahi luka hatiku.
Kuletakkan koper di depan pintu dan langsung memeluk perempuan terkasih itu. Tangan keriputnya membelai lembut kepalaku, membuat dada semakin sesak oleh tangis yang tertahan. Aku segera mencium punggung tangannya.
“Kamu sendirian? Nak Bayu ndak ikut, toh?” tanya Ibu menatapku lekat.
Aku tak kuasa menjawab. Bibirku terasa terkunci.
“Katanya, Bayu belum bisa ambil cuti, Bu,” sahut Marisa melihatku terdiam. Gadis itu langsung mencium punggung tangan Ibu.
“Iya, Bu. Mas Bayu titip salam, mohon maaf belum bisa ikut pulang.” Akhirnya suaraku keluar juga.
“Ya sudah, ndak apa-apa. Namanya orang kerja,” ujar Ibu lembut. “Ayo, Nak Marisa, makan dulu, pasti lapar kan dari bandara. Kalau mau salat Isya, itu di kamar Shanaz aja, kamar Amira belum diberesin.”
Setelah selesai makan malam, kami ngobrol panjang lebar. Berkali-kali aku melirik Marisa kalau Ibu atau adikku bertanya soal rumah tanggaku. Marisa mengerti dan banyak membantu menjelaskan keadaanku dan Mas Bayu. Menjelang jam 11.00, Marisa pamit pulang. Saat aku mengantar Marisa ke mobilnya, Sasha tiba di rumah. Setelah memarkir mobil di halaman, adikku itu langsung memelukku penuh kerinduan. Untuk sementara aku bisa melupakan luka hati saat berada di tengah orang-orang yang menyayangiku.
“Gue balik dulu, ya, Mir. Kalau lo butuh teman buat curhat sama jalan-jalan, lo tahu harus hubungin siapa, kan?” kata Marisa sebelum menutup jendela mobilnya.
“Sip. Sekali lagi makasih, ya, Sa. Ntar gue hubungin. Sekarang gue butuh istirahat dulu. Besok pingin ngobrol sama dua kurcaci cantik ini,” ujarku sambil merangkul Sasha.
“Main lagi, Mbak Marisa. Aku kangen ngobrol sama Mbak. Sibuk terus sih, jadi jarang ke sini,” sambung Sasha ramah.
“Iya. Nanti gue ke sini lagi, Sha. Lo jangan keseringan pulang malam, nggak baik anak cewek nyetir malam-malam, bahaya!” Marisa menegur Sasha lembut.
“Eh …, iya, Mbak! Tadi ketemuannya emang agak lama, karena sekalian ngomongin rencana proyek yang akan kita kerjakan,” jawab Sasha serba salah. Lalu ia menoleh padaku, “Maaf ya, Mbak. Baru kali ini kok aku pulang telat,” ujarnya dengan wajah penuh penyesalan.
“Udah, nggak apa-apa. Jangan diulang lagi!” tandasku.
“Hati-hati, Sa!”
Marisa mengangguk, lalu menutup jendela. Tak lama, sedan itu melaju membelah malam.
Aku menggandeng tangan Sasha dan berjalan masuk.
“Malam ini Mbak mau istirahat dulu. Besok kita ngobrol, Sha. Kamu sama Shanaz di rumah kan?” Aku melangkah menuju kamarku yang terletak di depan ruang keluarga.
“Iya, Mbak. Sasha juga capek, mau mandi terus tidur. Ibu udah tidur pasti. Aku ke kamar ya, Mbak. Met bobo!” sahutnya sambil beranjak meninggalkanku.
Kamar ini tidak banyak berubah setelah delapan tahun kutinggalkan. Pasti Ibu yang selalu membersihkannya setiap hari, menjaganya tetap bersih. Kamar dengan nuansa krem yang memberi kesan hangat dan nyaman. Sebuah tempat tidur besar terletak di tengah ruangan dengan dua meja nakas di kanan dan kiri. Jendela besar berteralis menghadap langsung ke taman yang menyejukkan pandangan mata.
Halaman : 1 2 Selanjutnya