Keresahan Ibu
Kata orang bijak, salah satu bentuk syukur itu merawat barang yang dimiliki dengan baik. Selain karena alasan ekonomis, barang itu bisa jadi memiliki nilai sejarah. Itu yang dirasakan Kania ketika berhasil memiliki Rio. Bagi Kania Rio bukan sekedar motor, karena di tubuh Rio terpahat perjuang Kania sampai ia bisa memiliki motor itu.
Ibu pernah menawarkan bantuan untuk beli motor, tapi Kania menolak. Ia merasa malu harus merepotkan Ibu terus. Sebagai orang tua tunggal, tentu Ibu harus berjuang dengan keras untuk menyekolahkannya sampai jadi perawat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kania menyipitkan matanya sampai membuat kerutan di dahinya. Alis hitamnya seakan akan menyatu. Tangannya meraba bagian belakang motornya memastikan motor merah itu tidak ada lecet. “Untung kamu nggak lecet, Rio,” gumamnya sambil tangannya menepuk-nepuk jok motornya. “Dasar gak punya adab! Sudah tau penuh, masih juga maksa masuk!”ujar Kania masih jengkel.
Tangannya baru saja akan mengambil pesanan Manda ketika ponsel di sakunya bergetar. Kania meraih ponselnya. Dahinya kembali berkerut ketika melihat nama yang muncul di ponselnya.
Ia menarik napas sebelum jempolnya menekan simbol telepon warna hijau. “Assallamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam. Kania jemput Ibu di stasiun yah!”
“Hah! Stasiun mana?” Mata Kania melebar.
“Ya, stasiun Tugu!”
“Hah! Ibu ke Yogya?” Kania semakin bingung.
“Kamu ini malah hah, hah, terus! Jam tiga Ibu sampai stasiun Tugu.”
“Ta-tapi Bu, kok ngak kasih tahu!” Tangan kiri Kania menepuk jidat.
“Lha ini Ibu sudah kasih tahu. Sudah ya, Ibu mau berangkat ke stasiun Haurgeulis. Assalamualaikum.”
Kania menjawab salam Ibu dengan bingung. “Kok ibu tiba-tiba mau ke sini ya? Jangan-jangan soal itu lagi,” gumamnya gusar. Kania melirik jam di tangan kirinya. Ibu butuh waktu sekitar lima jam dari Indramayu sampai ke Yogya.
Kania menutup jok motor setelah mengambil pesanan Manda. Ia bergegas kembali ke nurse station.
“Nih! Pesananmu, Nda.” Kania menaruh beberapa lembar kertas di samping keyboard komputer Manda. Manda yang tengah serius merekap kondisi pasien terkejut. Reflek tangannya menepuk lengan Kania. “Astaga! Kania! Bikin kaget saja!”
Kania tak menghiraukan tepukan Manda. Ia menarik kursi di samping Manda dan menghempaskan pantatnya.
“Eh, kamu kenapa? Mukamu tuh, kayak cucian keluar dari mesin peras,” ujar Manda heran melihat wajah kusut Kania. Namun, lembaran kertas yang ada di depannya lebih menarik perhatiannya. Manda memungut kertas itu. “Wah, keren!” Mata Manda berbinar melihat gambar-gambar di tangannya. “Harusnya kamu tuh, jadi disainer saja!” ujar Manda.
“Kalau aku jadi desainner, kamu harus bayar mahal buat gambar-gambar itu.”
“Ih, lagakmu!” Manda memukul lengan Kania. “Eh, kamu kenapa?” Manda meletakkan desain bajunya dan menatap Kania lekat.
Kania menarik napas dalam dan membuangnya pelan. “Ibuku mau datang.”
“Ya elah! orang tua mau datang kok susahnya kayak didatangi debt collector aja.”
Kania menatap Manda sebal sampai bibirnya mengerucut. “Kamu tuh, temannya lagi susah malah diledek.”
“Gitu aja ngambek.” Manda tertawa. “Kok mendadak, Kania?”
“Nah, itu! Yang bikin aku heran. Biasanya Ibu ngabari dulu jika mau datang. Aku khawatir soal janjiku setahun yang lalu.”
Kening Manda berkerut mengingat janji Kania. “Soal Mang Dadang?” Tebak Manda.
Kania menghela napas. “Iya. Dua bulan yang lalu istrinya meninggal.”
“Dasar Aki-aki! Baru dua bulan ditinggal mati istrinya sudah ngincer anak gadis orang!” Manda ikut geram.
“Beneran nggak enak, Nda, kalau punya utang budi, tuh,” ujar Kania lirih.
“Utang budi gimana?” Manda memutar kursinya hingga bisa menatap Kania.
“Aku bisa kuliah kan, dapat pinjaman dari Mang Dadang. Sawah kami menjadi jaminan. Aku pikir masalah kami sudah selesai, setelah sawah Bapak berpindah ke Mang Dadang.
“Semoga Ibumu ke sini bukan karena itu.” Manda mencoba menenangkan Kania.
Bunyi call nurse menghentikan obrolan mereka. Manda segera keluar dari nurse station, bergegas ke sumber suara. Badannya menghilang di kamar 224. Sesaat kemudian ia kembali ke nurse stasion.
“Kenapa, Nda?”
“Infus habis.” Manda kembali melangkah ke kamar 224 setelah mengambil botol infus.
Tiba-tiba call nurse kembali berbunyi. Kania beranjak dari kursinya, melangkah cepat ke kamar 226. Manda yang mendengar langkah Kania menghentikan langkahnya. “Jangan lupa senyum, Kania,” pesan Manda sebelum masuk ke 224. Kania mengajungkan jempol kemudian melangkah masuk ke kamar 226.
Kania menghela napas berusaha mengusir keresahan hatinya. Yah, sebagai orang yang bekerja sebagai pelayan publik, ia harus bisa mengelola hati. Seresah apa pun, segalau apa pun hatinya harus mampu menepikan masalah yang sedang ia hadapi. Harus mampu tersenyum, meski hatinya menjerit.
Seorang ibu duduk dengan gelisah. Ia tersenyum saat melihat Kania masuk. “Aku mau minum obat, tapi tangani ini susah mengambilnya.” Ibu itu mengangkat tangannya. Terlihat tangan itu bergetar terus sehingga menyulitkan ibu itu mengarahkan tangannya ke obat yang akan ia ambil.
Kania segera mengambilkan obat itu, membukanya. Ibu itu membuka mulutnya, Kania meletakkan obat di lidah ibu itu dan menyodorkan minum. “Terima kasih,” bisiknya setelah obat tertelan.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya