“Sama-sama, Bu. Ibu tidak ada yang menunggu?”
“Anakku baru pulang. Katanya mau mengurus SIM yang habis hari ini.” Tangan kirinya yang tidak tremor menunjukkan gelas. Kania paham maksudnya buru-buru menyodorkan gelas untuknya. Gadis itu kemudian duduk di sebelah pasien yang rambutnya mulai memutih itu.
“Ibu mau berbaring lagi?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ibu itu hanya mengangguk. Kania segera membantu Ibu merebahkan tubuhnya. “Ada lagi yang perlu dibantu, Bu?”
Ibu itu hannya menggeleng. “Baiklah. Saya tinggal dulu. Jika pelu bantuan Ibu tekan lagi belnya.” Sebuah senyum kembali menghiasi wajah oval Kania. Ibu itu pun ikut tersenyum. “Terima kasih Suster,” bisiknya.
Ponsel Kania bergetar ketika para perawat akan memulai operan jaga siang. Sebuah pesan masuk dari Ibu.
Satu jam lagi Ibu sampai Yogya. Pesan Ibu.
Ibu nanti tunggu sebentar, yah. Aku baru mau opran jaga.
Pesan dari Kania langsung tercentang biru. Ibu masih online dan sedang mengetik.
Iya, nggak papa. Hati-hati, nggak usah buru-buru. Ibu menunggu di tempat biasanya.
Operan jaga berjalan lancar. Kania bergegas melajukan Rio menyusuri jalan Bantul menuju stasiun. Butuh waktu sekitar 45 menit dari rumah sakit sampai stasiun Tugu. Beruntung bukan akhir pekan, jalan relatif lancar.
Rio melaju di tengah terik matahari yang masih garang meskipun hari menjelang asar. Warna merah tubuh Rio terlihat mengilap di guyur sinar matahari. Dari arah timur jalan Pasar Kembang kerumunan penumpang terlihat di pintu keluar. Kania melambatkan laju Rio. Kania menajamkan pandangannya mencari sosok Ibu. Biasanya Ibu menunggu di sebelah barat Arte Hotel. Kania lega ketika sosok yang ia cari sudah terlihat.
“Maaf menunggu lama, Bu.” Kania mengulurkan helm yang ia pinjam dari Pak Sarto Satpam rumah sakit.
Matahari sudah condong ke barat ketika Kania sampai di kontakannya. Ada lima kontakan berjajar di dekat kontrakan Kania. Kelima kontrakan itu mempunyai bentuk yang sama. Kontrakan satu dengan yang lain dibatasi tembok setinggi dua meter. Bagian depan ada pagar yang menjadi pengaman.
Hampir tiga tahun Kania menempati rumah itu sejak ia bekerja di rumah sakit Mitra Sehat. Jarak yang tak terlalu jauh dari tempat kerja dan lingkungan yang ramah membuat Kania betah tinggal di desa Kanijoro.
Ibu segera menyelonjorkan kaki, di ruang tamu mungil. Tidak ada kursi, hanya ada karpet hijau yang terbentang. Kania sengaja tidak menaruh kursi karena rungannya sempit. Kursi hanya akan menambah sempit.
“Tidak mandi dulu, Bu?”
Ibu meregangkan tangannya. “Sebentar, biar pegelnya hilang dulu.”
Senja memerah saat Kania dan Ibu menikmati sepiring pisang goreng dan teh manis. Kebiasan Ibu yang menular ke Kania. Kania juga sering menikmati senja dengan pisang goreng. Kadang sendiri, kadang dengan Manda.
“Enak juga ya, kalau digoreng krispi,” komentar Ibu setelah menggigit pisang goreng yang masih hangat.
“Bisa dicoba, Bu,” ujar Kania sambil meraih teh hangatnya.
“Jadi ingat. Kemarin Ibu dapat kiriman pisang dari Mang Dadang.”
Kania urung menyeruput tehnya. Ia letakkan kembali mugnya. “Apakah Ibu datang mendadak karena Mang Dadang?” Kania menatap lekat Ibu.
Sambil menyandarkan pungung ke tembok, Ibu mengunyah pisang krispi pelan-pelan seolah takut rasa lezat yang sedang ia nikmati akan cepat hilang. Ibu tak peduli dengan tatapan Kania yang menanti jawaban.
Ibu meneguh teh hangatnya sebelum menjawab pertanyaan Kania. Ibu menghela napas, “Dua bulan lagi Mita sepupumu akan menikah.” Ibu berhenti sesaat. “Teman-temanmu juga sudah menikah.” Ibu menggegam tangan kanannya. “Santi bahkan sudah punya anak dua.” Jari jempolnya berdiri. “Ruri sudah nikah setahun lagi.” Kali ini jari telunjuk berdiri. Setiap kali Ibu menyebut nama, satu persatu jarinya berdiri seolah-olah ada nama tertulis di jari Ibu.
“Apa lagi yang kamu tunggu? Ibu malu kalau kamu jadi perawan tua.”
“Belum ada yang cocok, Bu.”
“Maksudnya cocok itu bagaimana?” Ibu menatap Kania tajam sampai dahinya berkerut. “Apakah kamu pikir Ibu dan Bapak dulu menikah karena cocok? Sampai kiamat kurang dua hari, kamu tidak akan menemukan sosok sempurna seperti yang kamu inginkan. Nggak ada Kania.” Ibu menggeleng pelan.
“Tapi … aku tidak bisa dengan Mang Dadang, Bu?”
“Apa kurangnya Mang Dadang, Kania? Dia seorang kepala desa yang dihormati. Kalau dulu kamu menolak karena Mang Dadang masih punya istri. Sekarang Mang Dadang duda, Kania.” Ibu memberi tekanan pada kata duda. “Ingat Kania kita punya hutang budi!” tegas Ibu.
“Bukan, kah hutang kita sudah lunas? Dan sawah Bapak sudah menjadi milik Mang Dadang!” Protes Kania.
“Kania, saat bapak masih hidup sampai sekarang Mang Dadang punya hubungan baik dengan keluarga kita. Ia juga sudah banyak membantu kita.” Ibu menatap Kania tajam tidak suka dengan sanggahan anak perempuannya itu.
Kania paham, tanpa Ibu menjelaskan pun ia tahu apa yang dimaksud Ibu. Selama ini Mang Dadang sudah banyak membantu usahan Ibu. Setiap kali ada proyek usaha padat karya, Ibu pasti diikutsertaka. Dari kegiatan itu, Ibu dapat tambahan modal baik peralatan, maupun uang. Ibu pernah mendapat bantuan mesin jahit, pernah juga dapat mesin obras. Mang Dandang juga membantu mempromosikan usaha jahit Ibu. Rata-rata pamong desa menjahitkan seragam di tempat Ibu.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya