Vika berdecak keras, membuat Rini yang duduk di sebelahnya berpaling. “Ada apa, Vik?”
Yang ditanya tak menjawab, sementara kepalanya menunduk, menatap layar ponsel dalam genggaman tangannya. Rini yang penasaran menggeser tubuhnya mendekati Vika, hingga dia bisa ikut melihat apa yang sedang diperhatikan gadis itu dari sela-sela lengannya. Dahinya berkerut sejenak, lalu tanpa permisi dia mengambil ponsel itu supaya bisa membaca lebih jelas.
[Ayolah… Lo sayang gue kan?]
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
[Pasangan lain ngelakuin juga. Masa kita nggak.]
Vika tersentak dengan gerakan yang tiba-tiba itu, lalu berusaha mengambil ponselnya kembali, tapi Rini justru berdiri, menyambar tas lalu berjalan cepat keluar dari kantin.
“Rini! Balikin ponsel gue!” Vika berteriak, tapi Rini tak menghiraukannya. Gadis itu terus berjalan hingga menemukan bangku kosong dekat taman, lalu melanjutkan membaca percakapan antara Vika dengan Anton, kekasih kawannya itu. Rini tahu membaca percakapan pribadi orang lain jelas melanggar etika, tapi perasaannya mengatakan ada sesuatu yang salah di sana. Semua balon percakapan yang dia baca dikirim dari Anton.
[I love you.]
[Ini cuma VCS. Gue nggak minta lo tidur sama gue.]
[Ayolah kita coba.]
[Sekali aja, please.]
Rini menggulir cepat layar ponsel ke atas dengan telunjuknya, dan menemukan beberapa foto Vika yang membuatnya tercengang. Di foto itu Vika hanya mengenakan pakaian yang sangat minim, memperlihatkan sebagian besar tubuhnya yang padat berisi. Selama bertahun-tahun mengenal Vika, tak pernah dilihatnya gadis itu mengenakan pakaian minim bahan.
Rini mendongak saat Vita mendekat lalu duduk di sebelahnya. Perasaan malu dan kesal jelas terlihat di wajah gadis itu.
“Lo mau ngelakuin apa yang diminta Anton?” tanya Rini seraya mengulurkan ponsel, mengembalikannya pada si pemilik.
Selama beberapa saat Vika termenung, lalu mengangkat bahu. “Gue bingung, Rin. Kalau gue nggak mau VCS, Anton minta putus.”
“Putus aja!” sembur Rini.
“Tapi … gue cinta Anton, Rin. Dia baik ….”
“Baik apanya?” Rini menukas dengan nada tinggi. “Cowok yang baik nggak akan minta yang aneh-aneh. Dari cuma pakai baju daleman, telanjang, VCS … ntar lama-lama dia minta bisa tidur sama lo!”
Vika menunduk, menatap ponsel di pangkuannya dengan resah.
“Astaga, Vik! Zaman gini lo buka baju, foto-foto, nggak sampai lima menit udah nyampai di internet! Bisa-bisa semua orang nganggep lo cewek yang bisa di-booking! Apa lo mau dikenal sebagai cewek open BO, gitu?”
“Anton nggak mungkin kayak gitu!” bantah Vika.
“Kata siapa? Lo dan dia cuma pacar! Yang udah jadi suami-istri aja bisa kok cerai, terus lakinya macem-macem sama mantan istrinya. Apalagi cuma pacaran, nggak ada ikatan resmi, nggak ada surat-surat yang bikin hubungan kalian sah secara negara dan agama. Apa yang nggak mungkin?”
Vika menatap kosong lalu lalang mahasiswa di depan gedung yang berseberangan dengan taman. “Hati gue nggak mau nuruti permintaan Anton. Tapi gue juga nggak pengen putus dari dia. Gue masih cinta. Gue bingung, Rin ….”
Rini menelan ludah yang mendadak terasa pahit di lidah. “Sejujurnya, gue punya pengalaman lebih parah dari lo. Dan gue menyesal banget … sampai sekarang ….”
Vika berpaling, memandang kawannya dengan terkejut. “Maksud lo ….”
“Semua cowok bakalan bilang cinta, sayang, atau apalah supaya kita yakin dia bakalan tanggung jawab. Tapi, setelah kejadian, mana ada tanggung jawab itu? Masih bagus gue nggak hamil.”
Rini menunduk, mengusap titik air mata yang turun dari sudut matanya dengan punggung tangan.
“Sebelum terlambat, lebih baik lo putus dari Anton. Cowok kayak gitu nggak patut lo pertahankan. Masih banyak yang jauh lebih baik dari dia. Yang nggak akan minta macam-macam sebelum waktunya.” Rini berhenti sejenak untuk mengambil napas. “Gue bisa ngomong kayak gini sebetulnya buat nyemangatin diri sendiri juga. Supaya perasaan menyesal itu nggak terus-terusan muncul di hati.”
Vika menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia diam sesaat, merenungkan ucapan Rini, sampai hatinya merasa yakin dengan keputusan yang akan diambilnya.
***
Tentang Penulis
Eunike Hanny, tinggal di Tangerang Selatan. Tulisan yang sudah terbit antara lain, Saat Gota Tersesat (cerita anak, bisa dibaca di Gramedia Digital), Klub Bunuh Diri (Bukuditeras), A Prenup Letter (bisa dibaca di iPusnas), dan skenario film pendek untuk layanan streaming. Penulis bisa dihubungi di IG @hanny1806 / FB Eunike Hanny.