Nita melihat punggung suaminya yang menghilang di balik gorden kamar yang sudah sejak awal mereka tinggal di rumah itu tak pernah dicuci. Dia kemudian melihat pada anak-anaknya lagi yang kurus. Anak sulungnya juga sedang sakit. Petugas posyandu bilang anak-anaknya kurang gizi. Air tajin dan teh yang dia berikan untuk mereka bukan minuman yang bisa menambah gizi. Dia malah mendapatkan ceramah panjang kali lebar karena memberikan teh pada bayi satu tahunnya.
Mau bagaimana lagi?
Cuma teh tanpa gula yang bisa dia berikan pada mereka selain air putih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekarang, dia sudah punya kesempatan untuk memperbaiki gizi anak-anaknya. Setelah ini mereka tidak akan lagi makan satu telur dadar tipis yang dibagi bertiga. Setelah ini mungkin anak sulungnya sudah bisa bersekolah lagi dan tidak lagi diejek oleh anak-anak tetangga.
Namun, entah kenapa hatinya resah mendengar kabar dari suaminya itu. Dia merasa ada yang salah, tapi tak tahu pada bagian yang mana. Dia hanya merasa suaminya tak sepenuhnya jujur, tak sepenuhnya menceritakan semua yang ada.
Seratus juga dan bisa lebih?
Bukankah suaminya hanya melamar menjadi buruh proyek? Harus berapa tahun bekerja untuk membayar uang sebanyak itu?
Setelah memakaikan baju untuk anak-anaknya, Nita masuk ke kamarnya. Suaminya ternyata sedang memeluk Niar yang sedang sakit. Mata lelaki itu basah seolah menceritakan betapa beratnya perang batin untuk meninggalkan keluarga.
Ahad memindahkan kepalanya ke pangkuan istrinya, lalu memeluk lutut istrinya dengan erat. Dia ingin memberikan istrinya kata penghiburan, tapi jiwanya sendiri sedang sengsara. Mana berani dia mengatakan pada istrinya kalau dia tidak akan kembali untuk selamanya.
Sayangnya, sudah tidak ada lagi pekerjaan yang bisa menyelamatkan keluarganya. Saat pertama kali mandor bertanya apa dia mau menjadi tumbal proyek, dia langsung mengiyakan. Paling tidak, setelah ini istri dan anaknya tak lagi kelaparan.
***
Baca cerita-cerita dari Honey Dee lainnya di sini.
Halaman : 1 2