Mereka kira aku lupa. Tapi, aku ingat semuanya. Mereka dulu tidak memedulikanku yang mengiba saat tidak punya apa-apa. Jangankan peduli, tersenyum saja mereka tidak mau. Mereka pasti melihat jelas anakku harus menahan lapar dan putus sekolah karena kami sudah kehabisan barang untuk dijual. Mereka juga cuma tertawa saat akhirnya rumah KPR kami ditarik oleh bank. Hingga akhirnya mereka hanya menjawab dengan, “oh!” saat kukatakan bahwa anakku meninggal karena asma yang tidak bisa kami tebuskan obatnya.
Tidak ada yang datang ke pemakaman sunyi anakku. Tidak ada yang peduli. Setelah dulu saat kami memiliki segalanya mereka begitu rakus menjilati kaki kami, kini tak ada sama sekali yang memikirkan nasib anak kami. Setelah dulu mereka sibuk menyedot yang kami miliki dengan dalih utang dan pinjaman-utang dan pinjaman yang tak bisa kami tolak, kini mereka sama sekali tak mau peduli.
Mereka pikir aku bisa melupakan semua ejekan yang mereka berikan sejak acara keluarga tahunan di rumah papa ini dimulai. Bajuku tak lagi seindah dulu. Tubuh suamiku tak lagi segagah dulu. Kami cuma bisa menunduk menahan rasa sakit karena kehilangan segalanya sejak bangkrutnya perusahaan suamiku. Kami berusaha bertahan dari cemooh dan makian mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Malam ini, di rumah orang tua suamiku, kami bermalam. Kami diminta untuk merayakan ulang tahun tua bangka itu setelah kehilangan anak yang kami cintai. Tak ada sama sekali nama anak kami tersebut dalam doa syukuran tadi. Tak ada sama sekali ucapan terima kasih untuk kami setelah semua yang kami lakukan pada mereka dulu.
Semua terlupakan.
Semua hanya sia-sia belaka.
“Bang, aku nggak tahan lagi,” keluhku saat bisa mencuri waktu berdua dengannya di koridor. “Mereka ngomongin terus.”
Suamiku tersenyum seperti biasa. Senyumnya tetap indah sekalipun kini wajahnya menghitam karena bekerja sebagai sopir angkut barang itu terlihat begitu lelah. “Nggak enak sama Papa kalau kita nggak nginap. Ini kan ulang tahun Papa.”
Aku ingin protes, tapi aku sadar dengan tinggal semalam lagi di rumah ini, kami bisa berhemat banyak.
“Eh, maaf. Kirain kalian sudah pulang,” kata kakak ipar suamiku. “Kalau mau pulang, ini masih ada makanan sisa. Sudah disatukan semua dalam plastik. Bawa pulang aja.”
Yang dimaksudnya dengan makanan sisa itu benar-benar sisa. Dia mencampurkan semua jenis makanan dalam satu plastik besar seperti sampah.
Aku sadar kalau bibirku gemetar saat menatap suamiku. Aku sadar kalau air mataku mengalir saat melihat kemarahan di wajah suamiku. Aku juga sangat sadar kalau aku mengangguk saat ia menatapku seperti minta izin. Detik berikutnya, aku tersenyum saat melihat suamiku mencekik kakak iparnya sampai wajah cantik itu berubah biru.
“Bang, nggak bisa kalau cuma satu aja,” kataku pelan sambil menyentuh bahunya.
Aku menggandengnya masuk lagi ke dapur. Kami menarik pisau dari rak, dua pisau masing-masing, lalu berjalan ke kamar mereka satu per satu.
Goresan pertama memang terasa ngilu. Tapi, tusukan-tusukan selanjutnya tidak memberi rasa apa-apa. Mungkin ini karena kami sudah mati saat anak kami dikubur dulu. Tak ada lagi rasa takut atau sedih dalam diri kami.
Mereka pikir aku lupa. Tidak. Aku ingat semua. Rasa kesal yang begitu menekan selama ini akhirnya terbayar. Kami tidak menyukai ini, tapi rasanya menyenangkan melihat mereka memohon-mohon seperti itu.
“Habis beresin ini, kita pulang?” tanya suamiku sambil mengecup keningku.
“Aku bisa tidur dengan tenang, Bang.”
Dia tertawa. “Aku juga.”
Di mana pun kami tidur setelah ini, kami benar-benar tak peduli. Derita itu selesai malam ini.
***
Baca cerita pendek Honey Dee yang lain di sini.