Aku hanya mengangguk. Aku lupa kalau tadi menekan tombol speaker agar tidak perlu memegang ponsel karena aku sibuk menghangatkan tubuhku sendiri. Arka semakin mendekat dan aku sangat yakin dia sudah mendengar semuanya.
“Karina? Haloo Karina. Duh, jangan bilang kamu ngedrop lagi. Ingat Bu Hendrawan, Karina.”
Arka mengangkat kedua alisnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku pernah melihat sebuah tayangan di media sosial. Seorang psikolog senior bilang kita bisa melakukan olahraga kecil untuk mengubur pikiran-pikiran negatif. Saat ini yang aku pikirkan hanya kemarahan Arka, jadi aku segera mematikan sambungan telepon dan melakukan gerakan patahan leher ke kanan dan kiri, mengangkat tangan sambil memiringkan badan, mengangkat kaki tinggi-tinggi dan … aku baru ingat dengan perutku, segera aku turunkan kaki dan memilih duduk kembali dengan tenang. Arka sudah mendelik dengan fokus matanya di bagian perutku.
Dadaku berdetak tak karuan menatap Arka berdiri mematung, matanya tak berkedip. Kenapa dia selalu menakutkan dengan pose seperti itu?
“Ka, aku ….”
Belum sempat aku melanjutkan ucapan, Arka sudah berbalik dan berjalan menuju dapur. Aku diam di tempatku, melihat apa yang akan dilakukannya. Dugaanku benar, dia mengambil mesin pembuat kopi. Tidak lama setelah itu dia bergeser dan mencuci piring dan sendok kotor, mengelap, dan menyusunnya dengan rapi. Arka juga menata ulang gelas yang sebenarnya masih rapi tergantung di tempatnya
Jadi, sekarang dia lagi marah dan kecewa karena aku tidak menuruti permintaannya? Sebenarnya aku merasa pelampiasan itu aneh, tapi bagaimana pun itu jauh lebih baik dari pada dia menghajarku.
Aku ingat dulu saat masih SMA dan Arka sudah kuliah semester tiga, tanpa sengaja aku menghapus video yang baru dikerjakannya dan akan dikumpulkan sebagai tugas tengah semesternya. Arka diam dan justru memilih membuat kopi. Aku tidak berpikir apa-apa. Saat Arka kembali dengan segelas kopi, aku ikut meminumnya. Arka mendelik. Dia tidak berteriak atau mengumpat khas kemarahan orang Surabaya. Tapi, yang dikatakannya sukses membuatku sakit hati.
“Kopi ini bikin marahku reda. Kalau kamu minum setengahnya berarti marahku masih setengah. Kamu mau jadi pelampiasan marahku? Jadi cewek itu yang peka dikit, Karin!”
Sejak itu, aku tidak lagi berani mengganggu atau ikut meminum kopinya. Aku tahu setelah emosinya mereda, kami pasti akan membicarakan semuanya. Karena itu, aku memilih tidak mengganggu Arka. Saat dia masih sibuk menata ulang perabot kami, aku menyempatkan mengirim pesan ke Tante Lani.
[Sori, Tan. Tadi ada sedikit masalah sama Arka. Tapi, bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Tante tanang aja, besok aku bakal hubungi Bu Hendrawan dan aku pastikan dia nggak akan membatalkan kontrak kita. Kalau ada yang penting tante chat aku aja]
Secepat kilat aku mengirim pesan itu, tapi rupanya kalah cepat dengan gerakan Arka yang berbalik setelah menatapku dan kini berusaha membereskan panci-panci. Aku mendengar suara kelontang berulang, itu panci yang diletakkan secara kasar. “Ya, Tuhan! Aku salah apa lagi?”
Halaman : 1 2