“Baiklah, aku harus pergi sekarang. Sudah ditunggu klien.” Arka mendekat dan mencium bibirku singkat.
“Oke … Hati-hati. Aku akan mengabarimu nanti. Bye.” Aku melambai kecil.
Aku hampir meletakkan kepalaku di atas meja, saat tiba-tiba Arka berbalik. Aku kembali tegak dan tersenyum. Dengan gerakan melambai dua tangan meminta Arka untuk segera berangkat. Nana sudah hampir sampai. Dia tidak boleh ketemu Arka atau semua rencana akan berantakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sepuluh menit kemudian Nana sudah mengetuk pintu rumahku. Aku yang meringkuk di sofa ruang tamu berusaha untuk bangun dan membuka pintu. Gerakanku lambat karena aku merasa sangat lelah. Sebenarnya perutku juga lapar karena hanya setengah gelas susu hangat yang berhasil masuk ke perutku.
“Mbak, Mbak Karin pucat banget.” Nana menatapku dengan ekspresi khawatir. Aku segera tersenyum untuk membuatnya yakin aku baik-baik saja. “Mbak Karin kurusan.”
“Iya, aku makan sedikit beberapa minggu ini.” Aku kembali tersenyum. “Tidak masalah, Na. Aku sudah tidak sabar melakukan banyak hal.”
Aku melebarkan pintu untuk memberi akses jalan pada Nana. “Masuk masuk.”
Nana mengikuti langkahku ke kamar. Dia memilihkan pakaian yang pantas untukku selagi aku membersihkan diri di kamar mandi. Keluar dari kamar mandi aku menggigil.
“Boleh minta tolong balurkan minyak kayu putih ke punggungku, Na.”
“Mbak?” Nana mengerutkan keningnya. “Aman, ya?”
“Nggak apa-apa. Minyak kayu putih boleh kok dipakai ibu hamil.”
“Tapi, Mbak.”
“Nggak apa-apa, Na. Cepetan biar aku juga bisa segera berpakaian.”
“Kalau terjadi apa-apa.”
“Nggak akan. Semakin cepat kamu membaluri punggung dengan minyak ini akan semakin cepat kita siap. Kamu mau membuang waktu hanya untuk membahas masalah minyak?” Aku menatap Nana dengan gigi bergemeletuk.
Nana akhirnya menuruti permintaanku. Aku tahu dia melakukan dengan berat hati, tapi dia tidak punya pilihan. Aku hargai itu. Setelah selesai mengolesi minyak di punggungku, Nana menyuruhku duduk di depan meja rias
“Semoga tidak terjadi apa-apa,” gumam Nana yang bisa aku dengar dengan jelas karena jarak kami yang cukup dekat
Nana mulai meriasku dengan hati-hati. Sebenarnya dia tidak perlu begitu. Tapi, aku membiarkannya. Tidak membutuhkan waktu lama untuk meriasku, karena aku meminta Nana menyapukan eyeshadow, blush on, dan lipstik tipis saja. Aku hanya tidak mau terlihat pucat, tapi untuk melakukan sendiri aku sedikit kesulitan dengan rasa mual yang mendera.
Setelah selesai dengan riasannya, Nana menyuruhku mengganti pakaian. Aku sudah akan berdiri saat tiba-tiba kepalaku terasa sakit sekali. Aku merasakan jarum kasat mata di seluruh bagian kepalaku. Sekelilingku menjadi berputar-putar. Aku merasa tubuhku seperti kincir yang bergerak cepat. Lalu, mual itu datang.
“Iya, Pak Imam. Tunggu sebentar. Mbak Karin sebentar lagi siap.”
Aku mengerjap. Pinggulku nyeri dan sakit sekali. Aku mau pipis.
“Mbak Karin, Pak Imam sudah sampai.”
Aku mengangguk dan meminta Nana untuk menungguku sebentar. Aku harus ke kamar mandi untuk pipis dan mengganti pakaian.
“Aaaa!” Aku berteriak tanpa sadar saat menemukan bercak darah di celana dalamku.
“Mbak! Mbak Karin! Mbak Karin kenapa?”
Sebelum aku menjawab, suara benturan keras daun pintu menatap dinding kamar mandi membuatku mendongak. Awalnya aku pikir itu Nana, tapi kemudian setelah aku melihat wajah yang muncul di hadapanku, kepanikan itu pun datang.
“Kok balik?”
“Ponselku ketinggalan.” Arka berjongkok dan menatapku dengan bingung. “Ada apa?”
Lidahku kelu. Aku tidak bisa menjawab. Tapi, kemudian Arka melihat celana dalam yang aku pegang.