Kadang aku berpikir, apa ini cara Tuhan bercanda denganku? Setelah Dia membentangkan kesuksesan, masa depan secerah mentari pagi, rekening tabungan yang angkanya berderet panjang, dan aku hanya tinggal meraupnya. Lalu, semua lenyap saat lelakiku datang. Sesaat lalu aku masih berpikir tentang pencapaian yang lebih tinggi lagi, karena Bu Rhea termasuk orang penting di kota ini. Aku sangat yakin setelah pelayananku bisa membuatnya terkesan bukan tidak mungkin klien yang berasal dari lingkungan orang-orang kaya akan masuk ke daftarku. Sederet angan-angan tentang kesuksesan, uang, masa depan bukan lagi mimpi.
Aku menangis di pinggir tempat tidur, berbaring menatap langit Subuh kota Semarang melalui jendela rumah sakit. Masih ada sedikit bintang, cahayanya seolah tersenyum dan mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja.
Dulu saat aku kecil, setiap aku kesal dengan nilai ulanganku yang jeblok, cahaya bintang itu seolah memberiku keyakinan kalau besok masih ada kesempatan untuk memperbaikinya, seperti tengah memberiku rahasia tentang kesuksesan di masa depan. Benak kecilku berkata, aku akan menjadi pusat perhatian seperti bintang yang berpendar saat makhluk bumi menengadah ke langit. Aku akan menjadi wanita karier yang disorot, terkenal, dan menjadi topik pembicaraan bagi siapa saja yang memutuskan untuk memulai jadi entrepreneurship.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Suara pintu berderit. Arka masuk dengan tangan kanannya memegang handuk dan menggosok rambutnya yang basah. Dia tidak melihatku, aku pun memutuskan untuk tak acuh. Sejak kemarin kami bertengkar.
Setelah kejadian di kamar mandi, aku dibawa ke rumah sakit dan diperiksa secara intensif. Lalu, dokter mengatakan sederet pemeriksaan yang harus aku lakukan selama setidaknya 72 jam ke depan karena diagnosa dini melalui USG dan pengukuran human chorionic gonadotrophin (hCG) katanya tidak meyakinkan. Entah apa yang terjadi, aku tidak terlalu mengerti dengan apa yang dijelaskan dokter.
“Aku minta maaf, Karin. Sebenarnya, aku juga tidak ingin menghalangi keinginanmu untuk terus bekerja, tapi kamu sedang menghadapi masalah serius.” Arka menghampiriku setelah hampir satu jam kami hanya diam dan larut dalam pikiran masing-masing. Tangannya mengusap punggungku dengan lembut. “Dokter tidak menemukan janin di rahimmu. Tapi, melihat tanda-tanda yang kamu alami dan tes kehamilan awal tidak diragukan kalau kamu memang hamil. Hanya saja, dokter belum bisa memastikan lokasi kehamilanmu, makanya kita harus menunggu untuk mengetahui kadar hCG-nya juga hasil pemeriksaan lainnya.”
Aku juga minta maaf, kataku hanya dalam hati, terlalu payah untuk bisa menyuarakannya. Aku mengerti kalau bukan hanya aku yang tengah menghadapi masalah serius, melainkan Arka juga. Dia terancam kehilangan bayinya. Kalau pemeriksaan beberapa hari ke depan menunjukkan aku hamil di luar kandungan, maka dokter akan menghentikan kehamilan ini. Seharusnya aku senang, tapi entah mengapa hati kecilku juga ikut merasa sedih.
“Aku keluar sebentar. Aku butuh kopi. Kamu ingin dibelikan sesuatu?”
Aku hanya menggeleng. Entah ke mana perginya suaraku. Aku hanya merasa ada bongkahan batu besar yang tertahan di dada, membuatku sesak. Tanpa sadar aku menangis saat Arka menutup pintu kamar inapku.
“Harusnya kamu bisa menolak permintaan Mbak Karin setelah kamu melihat kondisinya, Na!” Ingatanku kembali pada saat Arka menemukanku terduduk di kamar mandi dengan tangan memegang celana dalam bernoda darah. Suaranya dingin sekaligus tajam. Nana yang berdiri di samping tempat tidur mengernyit dengan ngeri.
“Maaf, Mas.”
“Kamu sudah berapa lama kerja sama Mbak Karin? Harusnya kamu bisa mengatasi semua masalah tanpa harus melibatkannya. Kondisinya lemah, dia butuh istirahat, dia sedang mengandung anakku, Na.”
Aku memejamkan mata. Lelah menyerangku. Perutku juga mulas dan sesekali terasa sakit. Sebenarnya, aku kasihan dengan Nana. Dia harus menelan kemarahan Arka karena permintaanku.
“Jangan kamu marahi Nana. Aku yang memintanya datang,” selaku di tengah emosi Arka yang meledak-ledak.
“Kalau kamu tahu tindakanmu hanya akan mempersulit orang lain, seharusnya kamu bisa menahan diri, Karin. Dari kemarin aku sudah memintamu untuk periksa ke dokter, tapi kamu terus saja menolak dengan alasan tidak suka dengan dokternya, tidak cocok. Kalau saja kita memeriksakan kandunganmu lebih awal, aku rasa kejadian ini bisa dicegah. Dokter pasti tahu apa saja yang tidak boleh kamu lakukan dalam kondisi kehamilan seperti ini.”
“Aku hanya mau diperiksa dokter yang tidak terlalu ikut campur dengan urusan pribadiku.”
“Cukup, Karin! Ini bukan waktunya keras kepala.”
“Aku tidak keras kepala. Aku hanya melindungi hakku.”
“Aku akan membawamu ke rumah sakit. Tidak peduli siapa dokter yang akan memeriksanya.”
Arka membopongku dengan rahang mengeras, tidak lagi mendengarkan ucapanku. Nana masih diam di tempatnya. Tapi, setelah Arka melewatinya, Nana juga mengekor. Dia tidak ikut ke rumah sakit, tapi berjanji akan menyelesaikan urusan Bu Rhea dengan sebaik mungkin dan memintaku untuk percaya.
Aku tidak bisa berbuat banyak selain menurut. Tapi, kekesalanku juga tidak hilang. Bahkan lebih banyak saat dokter mengharuskanku menginap. Sebenarnya bukan masalah menginapnya, tapi sikap Arka yang masih saja cuek dan bicara seperlunya membuatku semakin marah. Dia pasti menyalahkanku atas keadaan ini, aku yakin itu. Aku tidak terima dan memilih memojokkannya dengan berbagai alasan yang hanya ditanggapi dengan mengerutkan kening.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya