Hari menjelang sore saat Arka memasukkan tas berisi pakaian kami ke dalam bagasi Peugeot yang belum lama ini dibelinya. Sekalipun harus menghadapi kemacetan lalu lintas di akhir pekan, tidak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di rumah orangtuanya. Dia memutuskan kami akan pulang ke sana. Sebenarnya, aku sudah meminta untuk pulang ke rumah kami saja, tapi Arka ingin aku berada di tengah kehangatan keluarga, agar tidak terlalu memikirkan masalah ini.
Ah, Arka. Apa aku sudah sangat keterlaluan?
Malam sebelum aku menjalani operasi, kami menangis bersama. Bukan. Lebih tepatnya aku menangis karena melihat Arka yang sudah lebih dulu menangis. Malam itu rasanya menjadi malam terpanjang yang hanya kami habiskan untuk menangis dan berpelukan. Sampai-sampai aku merasa paru-paruku sudah kisut dan kesulitan mengolah oksigen. Bahkan, waktu putus dengan pacar yang jadi cinta pertamaku, aku tidak menangis sedahsyat itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tepat setelah dokter mengatakan tindakan yang harus dilakukan padaku, Arka terkulai di kursinya. Dia seperti kehilangan nyawa. Sejujurnya aku juga sedih dengan apa yang terjadi, tapi lebih sedih saat melihat kondisi Arka.
Setelah cukup lama seperti orang linglung, Arka kemudian menghampiriku, mengecup keningku berulang kali dan menyampaikan permintaan maafnya.
“Aku yang salah. Aku yang tidak bisa menjagamu,” bisiknya di tengah isak tangis yang menyayat hati.
Aku tertegun tidak tahu mesti berbuat apa. Tapi, kemudian Arka memelukku, melepasnya untuk menatap wajahku, lalu memeluk lagi. Kami seperti dua orang yang bingung mengungkapkan emosi dan memilih tenggelam bersamanya.
Saat Arka mengatakan kami akan tinggal di rumah orangtuanya dan menolak saranku, aku memilih diam. Aku sudah cukup lelah untuk berdebat. Sakit di tubuhku, ketegangan yang aku alami sepanjang satu minggu di rumah sakit, perasaan takut, apalagi belakangan aku juga susah tidur setelah terbangun di tengah malam, akhirnya aku memilih untuk tidak mendebatnya.
Suasana hatiku masih sangat kacau dan sepertinya Arka pun dalam kondisi yang sama. Meski sesekali dia mengusap punggung tanganku dan tersenyum hangat, tapi aku merasa keheningan yang tidak biasa.
“Jadi, kita akan tinggal untuk berapa lama?” tanyaku karena sudah tidak enak dengan keheningan di antara kami.
“Aku mungkin akan kembali mengurus pekerjaanku, hanya untuk mengecek beberapa dokumen klien saja. Selama aku pergi, aku mau kamu tetap di sini. Ada Ibu yang akan menemanimu selama masa pemulihan.”
“Kamu percaya aku bisa melewati semua ini, kan? Kami belum terlalu dekat. Menurutku, dalam beberapa hari ke depan, saat luka di tubuhku ini sudah mengering, aku juga bisa memulai lagi aktivitasku. Jadi, kita tidak perlu merepotkan Ibu.” Aku memang tidak sepenuhnya berkata jujur. Terkadang masih ada perasaan kehilangan yang membuat dadaku sesak. Aku sudah pernah bilang, kan? Kalau perasaan cinta ini memang datang sedikit terlambat. Berdiam diri di rumah hanya akan membuatku semakin kacau. Mungkin ini tentang sedikit rasa penyesalan.
“Jangan memaksa.” Arka kembali menatapku dengan tatapan memohon.
“Ibu sangat bahagia waktu mendengar aku hamil. Aku rasa dia sangat mengharapkan bayi kita. Aku nggak mau keberadaanku di sini justru membuatnya mengingat semuanya. Pada akhirnya akan membuat Ibu kecewa.”
“Percayalah, Ibu sendiri yang mengusulkan kita untuk tinggal di sana.”
“Aku hanya tidak mau terjadi ketegangan di antara kami.”
“Ibu orang yang paling tulus yang pernah aku temui, Sayang. Bukan karena dia ibuku, tapi karena dia memang perempuan berhati lembut. Kamu tahu, kan, bagaimana watak pedagang? Keras dan kasar. Tapi, bagi Ibu ketulusan dan kasih sayang adalah senjata mematikan yang bisa menaklukkan semua musuh bisnisnya.”
“Aku harap begitu.”
Sejujurnya, aku sedikit tertekan kalau tinggal di rumah orangtua Arka. Meski dulunya keluarga kami bertetangga, tapi sejak dulu aku memang memiliki rasa segan pada Ibu mertuaku. Sebenarnya Ibu itu sangat cantik, tapi wibawa yang melekat padanya membuatku canggung. Kalau di keluargaku sendiri, aku menganggap Papa sebagai pahlawan, mungkin Arka menganggap Ibulah pahlawan keluarganya. Aku yakin karena itu Arka selalu menurut dengan keinginan ibunya.
“Fokus pada penyembuhanmu. Jangan memikirkan hal-hal yang tidak penting, Sayang.”
Arka mengusap puncak kepalaku sebelum kami berbelok dan masuk ke gerbang perumahan. Rumah-rumah di sini tertata dengan indahnya. Tidak mengherankan karena hampir semua pemilik rumah yang tinggal di sini adalah chief executive dan para penjabat penting yang punya selera tinggi.
Setelah dua kali tikungan Arka membelokkan mobilnya ke halaman rumah dengan bangunan bergaya Georgian. Rumah ini sudah mengalami beberapa kali pemugaran. Sejak Arka dan ketiga saudaranya beranjak remaja rumah ini memang diperbesar. Aku ingat dulu saat kecil halaman rumah Arka sangat luas. Setelah besar aku baru tahu kalau orangtuanya membeli dua kaveling. Sekarang halaman itu tidak seluas dulu, tapi tetap terlihat asri karena Ibu memang menyukai tanaman dan bunga.
“Sayang.” Ibu memelukku saat aku turun dari mobil. Beberapa langkah di belakang Ibu ada Ayah, Sifa, dan Dio menunggu giliran untuk memelukku. Entah mengapa dua bocah itu juga ada di rumah. Bukankah mereka seharusnya kuliah?
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya