Novel : Cinta di Penghujung Jalan Part 1
Bab 1
Jalan Tak Berujung
Aku terdiam sambil menggendong si Bungsu yang gemetar dan tampak berusaha menahan tangisnya. Tiga anakku yang lain aku suruh tetap di kamar si Sulung dan jangan keluar sebelum kupanggil mereka.
“Kamu pikir kamu siapa, hah? Berani ngatur-ngatur aku! Kamu tahu apa soal bisnis? Tahu apa soal ngurusin pabrik?” Gelas kopi yang sudah habis isinya dilempar ke arahku oleh lelaki yang masih berstatus suamiku itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan sigap, aku melindungi si Bungsu. Meski tidak terkena tubuh, gelas itu pecah berantakan setelah menghantam tembok di dekat aku berdiri. Sikuku terasa perih seperti ada yang menusuk, tetapi aku tetap berusaha tenang agar anakku tidak semakin trauma.
“Itu pabrik aku yang bangun dari nol. Kamu enggak punya hak ikut campur mengatur apalagi memegang uang hasil dari pabrik! Kamu udah aku jatah buat makan dan kebutuhan anak-anak. Enggak usah ikut ngatur masalah uang di pabrik apalagi melarang ibu dan saudara-saudaraku mengambil barang dari pabrik. Paham?” Suara suamiku yang menggelegar memenuhi ruangan membuat hatiku semakin teriris.
“Paham, nggak?” bentak suamiku sambil melempar buku nota pabrik ke mukaku.
Aku mengangguk lemah sambil berusaha menahan air mata yang sudah penuh di ujung mata. Aku tidak ingin terlihat cengeng dan lemah di depan lelaki arogan yang selalu merendahkanku itu. Walaupun sudah menikah belasan tahun dan dikaruniai empat orang anak, sikap suamiku semakin hari makin tidak manusiawi.
Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu.
“Maaf, Juragan. Ada tamu di depan.” Seorang lelaki paruh baya dengan tubuh penuh debu berdiri di depan pintu yang terbuka dengan sikap penuh hormat.
Hampir aku bernapas lega, tetapi aku salah. Sebelum pergi, suamiku masih sempat menyumpahi sambil mendorong kepalaku dengan kasar.
“Ngurus rumah aja enggak becus, sok-sok-an mau ikut ngatur pabrik! Dasar perempuan tolol!”
Aku yang tidak menyangka suamiku akan berbuat itu hampir terjerembab ke belakang. Beruntung aku berhasil menahan tubuhku meski kakiku menginjak pecahan gelas. Tubuh anak bungsuku semakin gemetar dan tangannya semakin kuat memelukku. Matanya terpejam rapat dengan wajah pucat di pelukanku.
Lelaki itu berjalan dengan penuh kesombongan ke arah pabrik keripik pisang yang ada di samping rumah kami. Setelah bayangan tubuh tinggi suamiku tak terlihat, tubuhku mendadak lemas. Dengan terpincang, aku menyingkir dari lantai yang penuh pecahan gelas.
“Mbak Ratri, tolong Ibu.” Aku memanggil anak pertamaku yang bergegas keluar kamar dan segera mengambil adiknya dari gendonganku.
Awalnya si bungsu menolak, tetapi dua kakaknya terus membujuk dan akhirnya dia mau melepas pelukannya dari tubuhku.
Anak keduaku membantuku berjalan ke ruang belakang.
“Mbak Inaya tolong bersihkan lantai, ya,” ujarku sambil meringis menahan perih di siku dan kakiku.
Anak ketigaku hanya diam dengan wajah cemberut. Aku tahu dia sedang berusaha menahan bendungan air mata yang sudah tampak penuh. Jika dia berkedip, aku yakin air matanya akan deras mengalir membasahi pipinya yang bulat. Inaya, gadis kecilku memang sangat sensitif. Diantara saudaranya, dialah yang paling sering menangis jika aku dan bapaknya bertengkar.
“Inaya, dengar kata ibu, nggak, sih?” tegur Ratri yang masih sibuk menenangkan adik bungsunya yang masih menangis keras dan terus meminta mendekat ke arahku.
“Kenapa, sih, Ibu masih betah di sini? Kenapa kita enggak balik aja ke rumah Mbah?” Akhirnya Inaya tidak dapat lagi menahan air matanya. Pipinya yang bulat sudah basah. Berkali-kali dia mengusap wajahnya sambil memandangiku dengan penuh kekecewaan.
Aku tahu tiga gadis kecilku sudah mulai bisa merasakan apa yang aku rasakan. Melihat sikap bapak mereka dan keluarga besarnya yang semakin hari makin tidak menghargai aku, hati mereka pasti terluka juga.
Meski masih berstatus sebagai istri Juragan Adi Suhendra, aku merasa keberadaanku sudah tidak dianggap. Sebenarnya aku juga lelah menghadapi kekasaran suamiku setiap hari. Namun, demi anak-anak yang masih membutuhkan biaya sekolah dan sosok seorang bapak, aku rela menanggung semua derita ini sendirian.
“Bapak dulu enggak begini. Kenapa sekarang Bapak berubah, Bu? Eyang dan Bude juga. Kenapa semua seperti memusuhi kita, ya, Bu?” ucap putri keduaku yang pendiam sambil membersihkan luka di kakiku.
Aku hanya diam. Menatap langit-langit rumahku sambil menerawang jauh ke masa-masa penuh bahagia saat kami masih baru menikah. Seingatku, Adi mulai berubah setelah aku melahirkan Andi, anak keempat kami. Anak lelaki yang selalu diidam-idamkan suamiku itu, justru menjadi awal dari semua petaka keluarga kami.
Kala itu, untuk merayakan kelahiran anak lelaki kami yang sudah ditunggu selama hampir sepuluh tahun, Adi mengadakan pesta besar. Dia mengundang semua teman dan koleganya baik dari daerah kami mau pun dari luar kota. Salah satu hiburan yang menjadi kesukaan masyarakat saat itu adalah musik dangdut. Suamiku itu menyewa sebuah grup musik dangdut yang sangat terkenal meski hanya sebuah grup musik keliling.
Dengan dalih lebih murah dan suara penyanyinya juga lebih merdu, suamiku menyewa mereka untuk menghibur tamu kami selama tiga hari berturut-turut. Selama itu aku yang belum selesai nifas, belum berani keluar dan meninggalkan bayi kami meski ada orang yang membantu menjaga. Adi juga tidak suka jika aku meninggalkan anak lelaki kesayangannya dengan orang lain.
Namun, ternyata dibalik semua itu, Adi rupanya menjalin hubungan dengan salah seorang penyanyi dangdut yang menjadi primadona di setiap pertunjukkan tanpa sepengetahuanku. Awalnya, aku tidak percaya ketika Inaya mengatakan kalau melihat bapaknya berada di kamar lantai dua dengan salah seorang penyanyi dangdut. Anak ketigaku yang polos itu bercerita dengan jujur jika melihat suamiku tidak memakai baju saat di kamar.
Bodohnya, aku hanya tertawa mendengar celotehan polos Inaya. Rupanya itu adalah awal dari semua derita yang akan aku alami.
Aku tersentak dan lamunanku buyar ketika Dewi mengguncang tanganku.
“Bu … Ibu. Bapak ….”
Wajah Ratri dan dua adiknya kembali tegang ketika dari luar terdengar teriakan Adi.
“Mana ibumu?”
Inaya yang belum selesai menyapu pecahan gelas di ruang depan, segera berlari ke tempatku.
“Ditanya malah kabur! Dasar anak orang kampung, enggak tahu sopan santun sama orang tua!”
Terdengar benda terlempar dan menghantam lemari kaca besar yang ada di ruang tengah. Dalam hatiku berharap semoga tidak ada perabot rumah tangga yang rusak lagi.
“Ratri, bawa adik-adikmu ke kamar.” Aku meminta Ratri segera mengungsikan tiga adiknya agar tidak melihat sikap kasar bapaknya.
Aku tidak keberatan Adi memukuliku setiap hari asal jangan di depan anak-anak apalagi di depan Andi. Sebagai anak lelaki satu-satunya, aku tidak ingin dia melihat perbuatan bapaknya dan mencontohnya kelak jika dewasa. Anak adalah pembelajar yang sangat peka. Apa yang mereka lihat dan dengar bisa tersimpan di alam bawah sadar hingga kelak dewasa.
“Ada apa, Pak?” tanyaku sambil duduk karena kakiku masih belum selesai dibungkus perban tadi.
Dengan wajah merah dan mata melotot, Adi mendekatiku. Tangannya segera menarik rambutku yang tergerai. Tanpa ampun, dia menjambak dengan kuatnya hingga aku hampir terjungkal ke lantai.
“Ada apa, Pak? Aduh, kepalaku sakit, Pak.” Aku terus memohon ampun dan berusaha melepaskan tangannya yang mencengkeram rambutku dengan sangat kuat. Namun, semakin aku meronta Adi semakin kalap dan mulai menampar wajahku berkali-kali. Pandanganku mulai berkunang-kunang dan kabur. Aku merasakan ada cairan hangat yang mengalir perlahan dari hidungku. Bibirku pun terasa perih saat terkena air liurku sendiri.
Tanganku sudah terkulai lemah dan sama sekali tidak bertenaga. Wajahku juga terasa kebas dan tidak lagi kurasakan tamparan Adi yang masih terus mendarat di pipiku.
“Pak, apa salahku?” tanyaku lirih saat suamiku itu mulai kelelahan.
Tanpa menjawab, dia melempar tubuhku ke lantai dan berteriak.
“Dasar perempuan tolol! Aku sudah bilang berkali-kali, jangan pernah melarang ibu dan saudara-saudaraku mengambil barang dari pabrik. Itu pabrik milikku bukan punya bapak moyangmu!”
“Tapi, Pak ….” Baru saja aku ingin menjelaskan, Adi sudah melayangkan tendangannya ke perutku.
“Enggak usah banyak alasan! Kamu itu memang bebal! Perempuan enggak tahu diri!” Lagi-lagi Adi mengirimkan tendangannya tepat ke ulu hatiku.
“Masih untung aku tidak menceraikan dan membuangmu! Harusnya kamu berterimakasih atas kebaikanku selama ini mau menampung dan memberimu makan. Tapi, kamu terus saja bikin masalah dengan Ibu dan kakakku.”
Tangan Adi kembali melayang dan mendarat di pipiku. Aku terpental hingga menabrak lemari jati pembatas ruang tengah dan belakang.
“Dasar perempuan kampungan tidak tahu diri! Aku sudah muak melihatmu! Kalau tidak demi anak-anak, sudah kupulangkan kamu ke kampung asalmu!”
Aku menatap lelaki yang sebelas tahun lalu memaksa bapakku untuk menikahkan kami karena dia jatuh cinta kepadaku sejak pertama kami bertemu.
“Kamu sudah muak melihatku karena aku sudah tidak secantik penyanyi dangdut keliling simpananmu itu? Kamu lebih suka pelacur meski sudah bekas dipakai banyak orang. Pelacur yang hanya menyukai uangmu saja.” Meski lirih aku yakin Adi mendengar ucapanku. Terbukti dia segera mendekat dan menendang tubuhku bertubi-tubi.
Entah berapa kali Adi mendaratkan kakinya ke tubuhku, aku sudah tidak tahu lagi. Hal terakhir yang aku ingat hanya samar-samar suara empat anakku menangis dan memeluk tubuhku yang sudah tak berdaya.
Aku berdiri kebingungan di tengah jalan lurus membentang panjang di kedua sisi. Mengapa aku selalu kembali ke tempat ini? Jalan berbatu di tengah gurun kering tak berpenghuni. Aku berada tepat di tengah jalan yang kedua ujungnya sama sekali tidak tampak. Hatiku dipenuhi keraguan untuk mengambil langkah. Bagaimana aku meneruskan perjalanan jika tidak tahu apa yang menantiku di ujungnya?
***
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel
Halaman : 1 2 Selanjutnya