Cinta di Penghujung Jalan
Bab 3
Pesona Seorang Biduan
Sorak sorai penonton sambil bertepuk tangan membuat suasana bertambah meriah. Beberapa lelaki tambun dan sudah berumur tampak berebut naik panggung yang tidak seberapa besar itu. Tangan para lelaki tua hidung belang mulai memasukkan lembar demi lembar uang kertas ke belahan dada penyanyi dangdut yang sengaja dibiarkan terbuka.
Suara penonton semakin riuh ketika nama yang sedari tadi aku tunggu akhirnya disebut dengan lantang oleh pembawa acara yang merangkap tukang gendang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dadaku mulai bergemuruh melihat sosok yang sudah membuat hidupku penuh warna warni kembali itu, melenggang ke tengah panggung yang hampir penuh sesak dengan para lelaki yang berebut ingin berjoget dengannya. Namun, beberapa lelaki dengan tubuh penuh tato dan badan kekar mengusir semua penonton yang ada di panggung.
Perempuan yang tubuhnya sudah menghangatkan malam-malamku hampir tiga tahun itu, mulai bergoyang mengikuti irama musik dangdut seraya bernyanyi. Suaranya yang merdu mampu membuat penonton seperti terhipnotis apalagi ditambah desahan manja sebagai improvisiasi semakin memanaskan suasana. Aku hanya duduk sambil menikmati goyangan dan suaranya dari warung yang sengaja disiapkan oleh pemilik grup musik dangdut.
“Ingat, ya, jangan ada yang berani menyentuh Ika! Kalau dia tampil, jauhkan semua orang darinya,” ucapku sambil mengeluarkan segulung besar uang ratusan ribu dari tas pinggang. Aku tidak keberatan mengeluarkan uang sebanyak apa pun demi Ika Zuleha sang primadona.
Sebagai pemilik pabrik keripik yang pernah jadi pabrik terbesar di daerahku, aku cukup dikenal banyak orang. Masa kejayaan sebagai juragan keripik pisang terlaris pernah menempatkan aku sebagai pengusaha paling sukses di kotaku. Untuk prestasi itu, aku mendapatkan penghargaan dari berbagai lembaga pemerintah mau pun lembaga swadaya masyarakat.
Mataku terus mengawasi Ika yang sedang bergoyang erotis di atas panggung. Kerlingan genit matanya, juga senyumnya yang menggoda membuat aku seperti sedang mendaki ke sebuah puncak gunung yang sangat tinggi. Napasku tersengal, jantungku berpacu semakin kencang. Sementara itu, Ika seperti sengaja menari menghadap ke arahku dengan gerakan yang semakin seronok.
Aku memanggil seorang lelaki yang sedari tadi tersenyum melihat wajahku yang semakin merah. Sebagai lelaki dia pasti tahu apa yang sedang aku rasakan.
“Aku mau Ika, sekarang!”
“Wah, enggak bisa juragan. Saya bisa mati dikeroyok massa kalau Ika enggak nyanyi sampai selesai.” Lelaki itu menolak permintaanku.
Aku tahu sebenarnya dia hanya ingin agar memberi uang lagi agar bisa membawa Ika pergi dari situ.
Dengan kesal, aku menarik kerah kaos yang dipakainya, “Aku akan memberi kamu lebih dari uang saweran yang kamu terima dari penonton.”
“Ma-maaf, Juragan. Ika harus menyanyi tiga lagu lagi. Kalau tidak, kami bisa dilarang manggung lagi di sini. Juragan sabar saja, ya. Nanti setelah ini, Juragan bisa sepuasnya menikmati Ika,” bujuk lelaki itu kepadaku.
Akhirnya, aku mengalah. Sejujurnya aku sudah tidak sabar menunggu Ika selesai menyanyi dan berjoget untuk menghibur penonton dan penggemarnya. Meskipun hanya seorang penyanyi dangdut keliling, Ika mempunyai penggemar yang cukup fanatik di setiap tempat mereka manggung.
Itulah sebabnya Ika sering mendapat porsi tampil lebih banyak dari penyanyi lainnya. Terkadang demi menonton Ika tampil kembali para penonton menaikkan jumlah uang sawerannya.
Sebenarnya aku sangat kesal karena tidak bisa segera mengajak Ika pergi dari tempat ini. Mataku terus mengikuti setiap gerakan tubuhnya yang membuat pikiranku berselancar ke kenangan malam-malam yang panas dan penuh gairah. Hampir tiga tahun yang lalu, saat aku pertama kali melihat sosok Ika Zuleha. Sang primadona dari pesisir yang sangat dikenal karena suaranya yang merdu dan parasnya yang tidak kalah dengan artis ibukota.
Malam itu, sebagai tuas rumah aku duduk di barisan paling depan bersama para pejabat daerah dan undangan VIP lainnya. Mataku terpaku pada sosok wanita di atas panggung. Ika Zuleha, dengan suara yang merdu dan penampilan yang memukau, menguasai perhatian semua orang yang hadir. Namun, bagiku, Ika lebih dari sekadar penyanyi dangdut keliling biasa. Ada sesuatu tentang Ika yang membuatku merasa muda kembali. Sesuatu yang menyentuh sisi diriku yang sudah lama terlupakan. Ada gejolak yang pelan-pelan bangkit kembali setelah sekian lama terpendam. Rasa yang sudah lama tidak aku dapatkan dari istriku, perlahan muncul ke permukaan.
“Siapa dia?” gumam Adi kepada Juragan Bawon yang duduk di sebelahnya.
“Penasaran? Nanti Juragan Adi kenalan sendiri saja. Kalau Juragan mau, dia bisa di …,” jawab Juragan Bawon sambil tersenyum. Senyumnya mengisyaratkan ada sesuatu yang disembunyikannya.
Kutatap saudagar kaya raya yang mempunyai lebih dari lima puluh outlet di seluruh jawa itu dengan dahi berkerut, “Memang boleh?”
“Apa yang enggak boleh buat orang istimewa seperti Juragan Adi?”
Aku tertawa keras hingga beberapa orang menoleh kepada kami.
“Juragan tinggal siapkan saja tempatnya. Nanti saya antar ke sana,” bisik Juragan Bawon.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya