Cerpen: Demi Ibu – Eunike Hanny

- Penulis

Senin, 1 Juli 2024 - 08:38 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

“Ardi! Ayo pulang, Nak! Sebentar lagi mungkin hujan. Lihat tuh, langitnya mulai gelap.” Ibu melongok dari balik pintu, masih mengenakan celemek dan memegang sudip. Ibu pasti sedang memasak untuk makan malam.

Aku mendongak dan melihat awan hitam menggantung di atas sana. “Yah … bubar, deh. Aku pulang, ya.” Aku membungkuk, lalu memunguti kelereng yang bertebaran di tanah. Riko dan Iwan pun melakukan hal yang sama. Aku menghitung kelereng di tangan. Jumlahnya genap 10, lalu beranjak kembali ke rumah.

Saat masuk, aku disambut bau harum tempe yang sedang digoreng. Aku langsung ke dapur, melihat Ibu di depan penggorengan, sedang membolak-balik tempe. “Kita makan tempe goreng lagi?” tanyaku, setengah mengeluh.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ibu menoleh sekilas. Kulihat keringat bercucuran di keningnya. “Iya. Maaf ya, Sayang. Uang Ibu cuma cukup buat beli tempe. Nanti kalau ada uang lebih, pasti Ibu belikan ayam dan telur. Sana, kamu mandi dulu. Ada PR, nggak?”

Aku mengangkat bahu dan berbalik, mengambil baju bersih dan masuk ke kamar mandi. Setelah mandi, aku memeriksa tas sekolah. Rupanya aku lupa mengeluarkan kotak bekal makan. Aku menatap kotak yang sudah kosong itu, dan teringat bekalku makan siang tadi hanya nasi putih dan tahu goreng. Aku mengembuskan napas kesal. Kapan aku bisa makan telor mata sapi dan ayam goreng seperti teman- temanku?

Saat sedang mengeluarkan buku-buku dari dalam tas, kudengar suara Ayah di depan. Ayah sudah pulang dari kerja. Aku membuka buku matematika untuk mengerjakan latihan yang belum selesai kukerjakan. Sesaat hening, lalu mendadak kudengar suara ribut. Aku meletakkan pensil dan menutup buku. Sebentar kemudian aku mendengar suara Ayah yang menggelegar, disela suara Ibu yang lebih lembut, dan mendadak Ibu menjerit. Aku buru-buru bangkit dan keluar dari kamar.

Baca Juga:  Teror Topeng Gandrung

 

“Ibu!” Aku terpaku, melihat Ibu berdiri, setengah membungkuk, di dekat tembok yang membatasi ruang depan dengan dapur. Ketika Ibu berpaling, aku bisa melihat guratan merah di pipi kirinya.

“Masuk!” Ayah membentak kepadaku. “Anak kecil jangan ikut-ikut!”

Ada perasaan takut yang mulai merayap di hati. Aku mundur satu langkah, tapi hanya itu. Ayah membentak lagi, menyuruhku masuk ke kamar. Namun, kali ini, entah keberanian dari mana, aku menantang tatapan matanya yang besar itu. Aku menggeleng. Jika aku kembali ke kamar, Ayah akan menghajar Ibu. Ini bukan pertama kalinya Ayah seperti itu—menampar dan memukuli Ibu.

Baca Juga:  Cerpen: Terjebak - Eunike Hanny

“Oh! Kau sudah berani melawan, ya?” Kini Ayah memusatkan perhatiannya padaku, membuat perasaan takutku semakin membesar. Aku mundur lagi satu langkah.

“Kau boleh memukuliku, tapi jangan kau pukul Ardi!” Tiba-tiba Ibu menarik lengan Ayah, berusaha menghalangi lelaki itu menghampiriku.

Ayah mengibaskan lengannya, berusaha melepaskan genggaman tangan Ibu. Tapi, karena Ibu tak mau melepaskan tangannya, Ayah kembali berbalik. Dia mendorong Ibu begitu keras hingga pegangannya terlepas. Ibu jatuh, terduduk di lantai yang dingin. Tapi, Ayah tak mau berhenti. Sebelah kakinya mendorong Ibu hingga telentang, lalu menendangnya berkali-kali.

Sesaat aku membeku. Aku tahu dari lebam-lebam biru di lengan dan wajah Ibu, berkali-kali sudah Ayah memukulinya. Tapi, baru sekali ini aku melihat langsung perbuatan Ayah padanya.

Dadaku terasa sesak. Dulu Ayah tidak seperti ini. Dulu Ayah penuh kasih, dan aku mencintainya. Ketika aku hanya bisa makan ayam goreng seminggu sekali, Ibu minta agar aku mengerti. Ayah dipecat dari pekerjaannya, dan belum mendapat pekerjaan baru. Lalu, Ibu kembali minta aku mengerti ketika Ayah menjadi kasar dan mulai memukuli Ibu. Kata Ibu, Ayah kehilangan uang di meja judi.

Baca Juga:  CERPEN: Istri Penyabar

 

Aku tersentak ketika melihat Ayah membungkuk, lalu menyentuh kepala Ibu dan membenturkannya ke lantai. Aku segera berlari ke dapur, meraih pisau dari rak piring, lalu kembali ke depan.

Sejenak aku menatap benda dengan ujung yang sangat runcing itu. Aku tidak keberatan makan nasi dan garam setiap hari, asalkan Ibu tetap hidup.

***

Tentang Penulis

Eunike Hanny, tinggal di Tangerang Selatan. Tulisan yang sudah terbit antara lain, Saat Gota Tersesat (cerita anak, bisa dibaca di Gramedia Digital), Klub Bunuh Diri (Bukuditeras), A Prenup Letter (bisa dibaca di iPusnas), dan skenario film pendek untuk layanan streaming. Penulis bisa dihubungi di IG @hanny1806 / FB Eunike Hanny.

Follow WhatsApp Channel www.redaksiku.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

CERPEN: Kembali dalam Pelukan Hangat
CERPEN: Bagian Apes (Terinspirasi dari Kisah Nyata)
Cerpen : Rahasia Gladys – Eunike Hanny
Cerpen : Di Balik Pintu – Eunike Hanny
Cerpen : Rumah Nomor 19 – Eunike Hanny
Cerpen: Terjebak – Eunike Hanny
Cerpen: Tragedi – Eunike Hanny
Cerpen: Upah Dosa – Eunike Hanny

Berita Terkait

Sabtu, 13 Juli 2024 - 12:28 WIB

CERPEN: Kembali dalam Pelukan Hangat

Rabu, 3 Juli 2024 - 07:06 WIB

CERPEN: Bagian Apes (Terinspirasi dari Kisah Nyata)

Senin, 1 Juli 2024 - 13:07 WIB

Cerpen : Rahasia Gladys – Eunike Hanny

Senin, 1 Juli 2024 - 13:05 WIB

Cerpen : Di Balik Pintu – Eunike Hanny

Senin, 1 Juli 2024 - 13:03 WIB

Cerpen : Rumah Nomor 19 – Eunike Hanny

Berita Terbaru

Gempa Vanuatu Merusak Gedung Kedubes AS dan Prancis

Bencana

Gempa Vanuatu Merusak Gedung Kedubes AS dan Prancis

Selasa, 17 Des 2024 - 14:47 WIB