Kabar mengenai produk bernama “tuak,” “beer,” dan “wine” yang mendapatkan sertifikat halal baru-baru ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat.
Kontroversi ini menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai kehalalan produk dan bagaimana penamaan bisa memengaruhi persepsi masyarakat.
Dalam upaya mengatasi kebingungan ini, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama memberikan penjelasan mendalam mengenai isu tersebut.
Kontroversi Nama Produk Beralkohol dan Kehalalan
Belakangan ini, publik dihebohkan oleh munculnya video yang menunjukkan produk berlabel “tuak,” “beer,” dan “wine” yang memiliki sertifikat halal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Situasi ini memicu diskusi dan perdebatan luas mengenai bagaimana produk dengan nama-nama yang mengindikasikan minuman beralkohol bisa dianggap halal.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Salamet Burhanudin, menjelaskan bahwa masalah yang muncul lebih berfokus pada penamaan produk, bukan pada kehalalan produk itu sendiri.
“Masyarakat tidak perlu ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya,” tegasnya.
Menurut Mamat, proses sertifikasi halal telah dilakukan dengan ketat dan melibatkan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Komite Fatwa Produk Halal.
Setiap produk yang mendapatkan sertifikat halal telah melalui proses evaluasi yang menyeluruh untuk memastikan bahwa bahan-bahan dan cara pembuatannya sesuai dengan syariat Islam.
Oleh karena itu, isu yang beredar di masyarakat lebih berkaitan dengan penamaan produk, yang sebenarnya telah diatur dalam SNI 99004:2021 mengenai persyaratan umum pangan halal.
Dalam hal ini, Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020 juga mengatur mengenai penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal.
Meskipun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ada produk-produk dengan nama yang kontroversial masih berhasil mendapatkan sertifikat halal.
Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai nama-nama tersebut.
Mamat menjelaskan, “Contohnya, produk dengan nama menggunakan kata ‘wine’ yang sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 61 produk.”
Dengan demikian, data yang ada menunjukkan adanya kebingungan dalam penamaan, meskipun aspek kehalalan produk telah terjamin.
Klarifikasi BPJPH Terkait Sertifikat Halal
BPJPH mengklarifikasi bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait penamaan produk adalah hal yang biasa.
“Perbedaan ini sebatas pada soal diperbolehkannya penggunaan nama-nama tersebut, bukan pada aspek kehalalan zat dan prosesnya,” jelas Mamat.
Ia menekankan pentingnya agar masyarakat tidak merasa ragu terhadap produk-produk bersertifikat halal yang telah ada.
Dzikro, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal, menambahkan bahwa penting bagi semua pihak untuk bersinergi agar tidak terjadi kegaduhan di tengah masyarakat.
“Kami mengajak semua pihak untuk duduk bersama, berdiskusi, dan menyamakan persepsi,” ungkap Dzikro.
Diskusi terbuka akan membantu meredakan kebingungan dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap produk bersertifikat halal.
Pentingnya Sertifikasi Halal dalam Dunia Industri Makanan dan Minuman
Sertifikasi halal menjadi semakin penting di era modern ini, terutama di industri makanan dan minuman.
Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengonsumsi produk halal, sertifikasi ini tidak hanya menjadi syarat hukum, tetapi juga merupakan jaminan bagi konsumen.
Bagi pelaku usaha, memiliki sertifikat halal bisa menjadi daya tarik tambahan yang membuat produk mereka lebih kompetitif di pasaran.
Kewajiban sertifikasi halal tahap pertama akan mulai berlaku pada 17 Oktober 2024, terutama untuk produk makanan dan minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan.
Dzikro mengingatkan pelaku usaha untuk mempersiapkan diri dalam memenuhi ketentuan ini.
“Kami ingin semua pelaku usaha memahami pentingnya sertifikasi halal, tidak hanya untuk kepatuhan, tetapi juga untuk membangun kepercayaan di masyarakat,” ujarnya.
Sertifikasi halal membantu meningkatkan kepercayaan konsumen, yang semakin cerdas dan selektif dalam memilih produk.
Oleh karena itu, pelaku usaha perlu memastikan bahwa semua produk yang mereka tawarkan telah melalui proses sertifikasi yang sah dan memenuhi standar yang ditetapkan.
Dengan demikian, masyarakat dapat merasa aman dalam memilih produk halal dan berkontribusi pada perkembangan industri halal di Indonesia.
Kontroversi mengenai nama produk seperti “tuak,” “beer,” dan “wine” yang mendapatkan sertifikat halal menunjukkan pentingnya pemahaman yang jelas mengenai kehalalan produk.
BPJPH telah memberikan klarifikasi bahwa masalah yang muncul lebih berkaitan dengan penamaan produk, bukan dengan kehalalan zat dan proses produksinya.
Dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, penting bagi semua pihak untuk bersinergi dalam membangun pemahaman yang sama.
Halaman : 1 2 Selanjutnya