“Papa, tak usah khawatir. Attala akan menjaga, melindungi, dan membimbing Kirei,” ujar Attala sambil menahan tangis.
Tak hanya Attala yang mendapat petuah dari Gumilar. Kirei juga mendapat wejangan dari Mama Maya.
“Kirei, Mama berterimakasih sekali, kamu sudah mau menerima Attala sebagai pendamping hidup. Maaf, jika Attala terkesan dingin dan bicara seperlunya karena dari dulu Attala memang seperti itu. Semoga kalian berdua menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah.” Maya membungkukan badan sambil memeluk Kirei yang menangis sesenggukan di atas pangkuannya.
Semua larut dalam suasana sedih dalam acara sungkeman itu. Bahkan, penata rias harus kembali memeriksa riasan pengantin dan memperbaikinya jika ada yang berantakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hampir dua jam, acara berjalan. Dari mulai pembukaan, ijab-kabul, sampai acara sungkeman. Sekarang saatnya mengisi perut para tamu undangan yang menjadi saksi atas bersatunya dua insan dalam ikatan suci. Satu per satu, tamu undangan naik ke pelaminan, lalu bersalaman dan mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Salah satu, dari tamu undangan itu nampak Naziha–sahabat baik Kirei–bersama sang ibu.
“Ziha, kenapa enggak nemenin aku di ruang rias?” Kirei mencubit lengan Naziha.
“Aku tidak mau mengganggu momen pentingmu bersama ibu. Lagipula, morning sickness ini agak menyusahkan, aku hampir tidak bisa menghirup aroma wewangian dari parfum atau bedak. Jika tidak sengaja terhirup, aku merasa mual dan akan bolak-balik ke kamar mandi.” Naziha terkekeh sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit.
“Ah, akhirnya ponakanku launching sebentar lagi.” Kirei mengelus perut Naziha.
“Eleh, kau juga sebentar lagi punya sendiri.” Naziha mencubit lengan Kirei. Keduanya tertawa geli.
“Suamimu enggak ikut?” Kirei tidak melihat keberadaan lelaki yang berhasil memikat hati sahabatnya itu.
“Mas Pram lagi banyak kerjaan. Jadi, sebagai gantinya, aku bareng ibu ke sini.” Naziha mengandeng tangan sang ibu.
“Ibu sehat? Kirei kangen sekali bolu karamel buatan ibu.” Kirei mencium punggung ibu Naziha, lalu memeluknya.
“Alhamdulillah, Nak. Nanti, kalau kamu dan suamimu ke rumah Naziha. Ibu akan buatkan bolu karamel spesial untuk kalian,” ujar ibu Naziha. “Selamat ya, Nak. Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah.”
“Aamiin. Terimakasih, Bu. Kita foto dulu, yuk!” ajak Kirei. “Mas Lutfi, fotoin, dong.”
Lutfi langsung mengarahkan posisi Naziha, ibu Naziha, Kirei, Attala, dan kedua orangtua mempelai agar mendapatkan hasil yang bagus dan sempurna. Ia tidak ingin kena omel Kirei jika hasil pengambilan gambarnya tidak sesuai karena sebelumnya, ia dan Kirei sudah briefing dulu.
Setelah puas berfoto dengan pengantin, Naziha dan ibunya meninggalkan pelaminan karena masih banyak tamu yang mengantri di belakangnya yang ingin menyapa pengantin juga. Ia mengapit tangan ibunya menuju jamuan parasmanan.
Seorang pria dengan tinggi badan 170 cm berwajah semi Eropa, mengenakan baju batik solo berwarna abu muda menyalami Attala. Ia menatap pengantin pria dengan tatapan tajam sambil menyunggingkan senyum misterius. Cukup lama. Tak ingin ada yang mencurigainya, ia beralih menyelami pengantin perempuan. Tanpa mengatakan satu patah kata pun, ia hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis. Kemudian, ia meninggalkan pelaminan.
Setelah pria itu turun dari pelaminan, Attala membisikkan sesuatu di telinga kanan Kirei. “Rei, siapa pria itu? Kamu yang mengundangnya? Lagi pula, kenapa kerah bajumu harus serendah itu, sih? Sengaja, ya, supaya banyak pria yang melirikmu termasuk pria tadi?”
“Ih, apaan, sih, Mas. Aku juga enggak kenal siapa dia? Sudahlah. Tak usah mempermasalahkan baju. Wong cuman satu hari ini saja,” jawab Kirei dengan berbisik juga.
Attala terdiam. Ya, ini bukan waktu yang tepat untuk mendebatkan pakaian yang dikenakan Kirei. Ia hanya kesal karena Kirei tidak mengindahkan ucapannya tentang kriteria pakaian yang harus dikenakan istrinya itu di hari yang sakral ini.
Tiga shift waktu resepsi yang ditentukan pihak penyelenggara ternyata tidak cukup. Resepsi yang dijadwalkan selesai pukul empat sore, ternyata baru selesai tiga jam kemudian. Meskipun begitu, semua cara berjalan dengan lancar, hanya ada beberapa masalah kecil yang sudah ditangani. Setelah tamu undangan terakhir pulang, sepasang mempelai itu pulang ke rumah Gumilar dan tinggal di sana selama satu pekan untuk kemudian diadakan acara unduh mantu di pihak keluarga Attala.
“Sekarang rumah ini adalah rumahmu juga, Atta. Jangan sungkan di sini. Kami bukan lagi orang lain, melainkan orang tua yang akan mendampingi dan membimbing kalian semampu kami. Harapan kami, Atta bisa menjaga Kirei seperti kami menjaganya sejak kecil.” Gumilar memberikan nasehat kepada menantunya.
Atta mengangguk takzim, lalu menjawab dengan santun permintaan Gumelar. Sebagai pria yang irit bicara, dia selalu berposisi sebagai pendengar yang baik. Bahkan, saat Kirei merajuk untuk segera masuk ke kamar, dia hanya mengangguk dan segera berpamitan kepada kedua mertuanya.
“Ma, Pa, kami izin mendahului istirahat. Sepertinya, Kirei kelelahan,” ucap Attala sambil melirik ke arah Kirei.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya