Selagi, Mama, Papa dan Mama mertuanya melihat-lihat ruangan yang ada di lantai dasar. Attala mengajak Kirei untuk melihat kamar mereka yang ada di lantai dua. Di lantai dua ini, ada 3 ruangan. Satu ruang kerja, kamar pribadi, dan perpustakaan. Ia sengaja meminta kepada Papanya untuk memisahkan ruang kerja dengan perpustakaan supaya ketika ada yang butuh bahan bacaan, tidak mengganggunya saat melakukan pekerjaan serta dokumen-dokumen penting yang ada di ruang kerja aman.
Kirei langsung terpesona ketika Attala membuka pintu kamar. Ia tak menyangka suaminya itu tahu kamar impiannya yaitu kamar ala Korea dengan Bright-warn tone color. Kamar yang sering dilihatnya ketika menonton drama Korea. Interior kamar di Drakor, terkesan sangat girly dan cozy. Warna-warna cat yang digunakan pun cewek banget, seperti Pastel Pink, Khaki Web atau Antique Brass. Penggunaan warna ini sangat memanjakan mata. Hanya satu yang menjadi masalahnya, apa suaminya tidak keberatan dengan warna pink ini? Yang ia tahu, suaminya pecinta warna abu dan biru muda.
“Mas enggak masalah dengan warna cat kamar ini?” Kirei menatap Attala. Ia tak masalah jika harus mengganti warna catnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ini kamar yang kamu impikan, bukan? Jadi, Mas tidak masalah, yang paling penting cuman satu.” Attala membalas tatapan Kirei dengan penuh cinta.
“Apa?” tanya Kirei dengan nada menggoda.
“Ada yang menemani Mas tidur,” ujar Attala sambil berbisik di telinga kiri Kirei.
Adegan romantis dua insan yang sedang dimabuk asmara ini, ternyata disaksikan oleh Maya, Prasetyo dan Gayatri. Diantara mereka, Maya-lah yang lebih terlihat antusias. Ia begitu bahagia melihat anak dan menantunya. Ia juga bersyukur karena tidak salah memilih menantu.
“Mas, rumah ini, bukan hadiah dari Papa, kan?” tanya Kirei. Bukan tanpa alasan, ia mengeluarkan pertanyaan itu. Tapi, ia ingin rumah yang menjadi tempatnya berteduh adalah hasil jerih payah suaminya, bukan hasil instan. Karena salah satu kewajiban suami adalah memberikan tempat tinggal yang nyaman dan aman untuk keluarganya, ia tak masalah jika harus tinggal dulu di rumah yang kecil dan sempit.
“Kamu tenang saja, Rei, rumah ini Attala yang beli. Bukan hadiah dari Papa.” Prasetyo langsung menimpali ucapan Kirei. Dari dulu, ia tidak pernah memanjakan Attala. Meskipun, Attala anak tunggal.
“Mama, Papa, sejak kapan ada di sini?” Kirei terkejut. Ia melepaskan pelukan Attala. Wajahnya berubah merah karena malu.
“Ada lima menit yang lalu. Kalian sweet banget, sih, Mama jadi inget masa-masa awal menikah dengan Papa.” Maya memegang lengan kanan Prasetyo.
Kirei menundukkan wajah. Berusaha untuk menyembunyikan wajahnya yang entah seperti apa.
“Rei, Insya Allah Attala pasti bertanggungjawab atas dirimu. Selama kuliah di Korea, Attala punya bisnis kecil-kecilan bareng teman-temannya. Alhamdulillah, dari hasil bisnis itu, Attala bisa membangun rumah ini. Mama dan Papa enggak pernah memanjakan Attala karena tanggungjawab anak laki-laki itu besar. Ia harus dilatih untuk bekerja keras dan merasakan sebuah perjuangan,” jelas Maya.
“Memangnya, Mas Attala punya bisnis apa, Ma? Mas Attala belum cerita apa pun tentang bisnisnya sama aku.” Kirei penasaran bisnis yang dijalani suaminya.
“Attala dan teman-temannya di Korea menjalankan bisnis souvernir pernikahan, pesta, dan lain-lain. Kamu bisa kerja sama dengan Attala.” Maya mulai mengeluarkan keahlian dalam mempromosikan sesuatu.
Mereka pun terlibat pembicaraan tentang pengalaman dan lika-liku yang pernah dilalui dalam membina bahtera rumah tangga. Tanpa mereka sadari. Ada seorang pria berkacamata hitam yang dari tadi mengawasi dan memperhatikan rumah Attala di dalam mobil berwarna hitam. Pria itu membuka jendela, lalu membuang puntung rokok dan tersenyum misterius.
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel
Halaman : 1 2