Gayatri mengusap kepala Kirei, sedangkan Gumilar menelpon sopir dan satpam pribadi agar segera mencari keberadaan ular tersebut.
“Attala, sekarang kita urus Kirei dulu. Biarkan Martono dan Parmin yang mengurus ular itu.” Gumilar menatap Atta penuh makna seperti sudah memahami perasaan menantunya itu. Malam pertama yang harusnya menjadi malam yang bersejarah, malah dihancurkan oleh kado yang tidak jelas pengirimnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Attala mengangguk. Kemudian, ia mengendong Kirei menuju kamar yang dimaksud oleh mertuanya. Malam ini, seharusnya menjadi malam penyatuan dua insan yang sudah halal. Namun, sepertinya dengan kejadian ini Tuhan ingin menundanya dulu.
Setelah ular ditemukan dan ditangkap oleh Martono dan Parmin. Gayatri mengajak Gumilar untuk melihat keadaan putri mereka. Kebetulan, kamar tamu yang digunakan sepasang pengantin itu tidak tertutup rapat, mereka berdua masuk. Ternyata, Kirei sudah sadar. Putri mereka terlihat tenang dipelukan suaminya. Melihat itu, mereka berdua tidak ingin menganggu aktifitas pengantin baru, lalu memutuskan untuk meninggalkan kamar itu. Namun, sebelum meninggalkan kamar, Gumilar memberitahu pada Attala untuk mengunci pintu kamar.
Gumilar dan Gayatri masuk ke kamar. Mereka berdua duduk di samping ranjang, lalu membaringkan tubuh dan berusaha untuk memejamkan mata.
Gayatri sangat gelisah. Matanya enggan untuk terpejam. Meskipun, kedua pembantunya berhasil menangkap ular itu, pikirannya malah semakin riuh. Dari cerita-cerita yang tersebar, ular yang masuk ke dalam rumah, ada dua pertanda yaitu baik dan buruk. Namun, lebih banyak buruknya, seperti hidup akan sulit, terlibat hutang, kehilangan salah satu keluarga, menagih janji, dan ujian yang datang bertubi-tubi. Putrinya baru saja resmi menjadi istri tadi siang, seketika pikiran negatif bermunculan di kepalanya. Ditepuknya lengan Gumilar yang sudah terlebih dahulu lelap dalam tidur, berharap suaminya itu terbangun.
“Ada apa, Ma? Ayolah tidur, ini sudah terlalu larut. Toh, ular itu sudah ditemukan dan dibunuh Martono dan Parmin.” Gumilar menarik Gayatri dalam pelukannya.
“Tapi, Pa. Bukankah, ular itu membawa pertanda buruk? Apalagi, munculnya setelah pesta pernikahan anak kita.” Gayatri bergidik membayangkan betapa mengerikannya ular itu jika sampai melukai anak dan menantunya.
“Ma, siapa tahu ular itu sengaja diberikan teman-teman Atta untuk mengerjai pengantin baru. Tahu sendiri, anak-anak zaman sekarang itu kalau ngerjain orang tanpa dipikir dulu dampaknya. Ayolah, jangan berprasangka buruk pada sesuatu yang belum terjadi.” Gumilar memberi pengertian kepada istri yang sudah mendampingi perjalanan hidupnya hampir tiga puluh tahun itu.
“Mas, ini ular, lho. Mana mungkin teman-teman mereka memberikan kado yang mengancam nyawa. Lagi pula, semua teman Kirei tahu kalau putri kita itu, phobia ular,” jelas Gayatri.
“Betul juga, ya, Ma. Papa jadi teringat kejadian ketika Kirei masih kecil. Apa ada seseorang yang ingin merusak kebahagian putri kita, ya, Ma? Besok, Papa akan menyelidiki orang yang memberi kotak hitam itu. Sekarang lebih baik, kita istirahat dulu. Capek sekali Papa hari ini.” Gumilar mencium kening istrinya, lalu memeluknya.
Malam semakin larut. Namun, kediaman keluarga Gumilar malam ini terasa berbeda. Suasana syahdu yang menyelimuti Kirei dan Attala dalam menjemput kehidupan pertama sebagai pasangan yang sah dan halal, turut menyeret Gumilar dan Gayatri dalam nostalgia masa lalu. Pasangan yang sudah tiga puluh tahun menempuh bahtera rumah tangga itu, kembali merasakan detik-detik yang mendebarkan dan menghangatkan cinta mereka. Cinta yang tak pernah lekang, meski waktu terus berjalan tanpa bisa dihentikan.
Sementara, di sebuah ruangan yang hanya diterangi sebatang lilin, seorang pria yang mengenakan pakaian serba hitam, menyentuh wajah kekasih hati yang terpampang jelas dalam foto berukuran besar yang sengaja dipasang di dinding ruangan itu.
“Aku tau betapa tersiksanya dirimu, Sayang. Tunggulah. Aku pasti datang untuk membantumu membebaskan diri dari belenggu pernikahan itu. Aku akan melakukan semua cara agar kita bisa bersama lagi.”
Halaman : 1 2