“Mas.” Kirei mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Attala. Ia mencium punggung tangan suaminya. Mereka berdua baru saja selesai menunaikan ibadah Salat Magrib.
Attala mencium kening, lalu membaca doa kebaikan untuk sang istri serta meniupkan ke ubun-ubun. Mereka berdua tidak keluar kamar setelah insiden pembersihan kamar. Baru kali ini, ia merasakan kedamaian setelah melakukan ibadah wajib. Sekarang, ia memiliki tanggungjawab yang besar untuk jadi pemimpin keluarga sekaligus membimbing sang istri ke arah yang lebih baik. Karena itulah, ia juga harus mulai berbenah diri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terdengar suara pintu diketuk diiringi suara Bi Minah. “Den, Non, Ibu sama Bapak sudah nunggu di ruang makan.”
Attala bangkit, lalu membuka pintu. “Iya, Bi. Sebentar lagi, kami ke sana.”
“Ngih, Den. Bibi permisi ke dapur lagi.” Bi Minah berlalu untuk melakukan pekerjaan yang lain.
Attala melihat wajah Kirei yang ditekuk. Sepertinya, sang istri enggan untuk makan malam dan bertemu dengan mamanya.
Jam menunjukkan pukul 18.30 WIB, sebagaimana jadwal makam malam keluarga Gumilar. Bukan tanpa alasan Gumilar menetapkan jadwal makan malam, sebab waktu tersebut adalah adalah waktu yang ideal. Pada waktu itu, tubuh belum merasa lelah dan perut belum berada dalam kondisi lapar sehingga porsi makan dapat lebih terkontrol.
Bagi perempuan yang ingin melakukan diet, para pakar gizi menyarankan untuk makan pada pukul 17.00 – 18.00. Sebab jam segitu,, tubuh memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan proses pencernaan dan menyerap metabolisme makanan sebelum tidur. Jarak antara makan malam dengan jam tidur disarankan minimal 2 jam.
Kirei melipat mukena yang sudah ditanggalkannya, sedangkan Attala menunggu di ambang pintu. Sebenarnya, ia ingin sekali menghindari makan malam bersama hari ini, tetapi suaminya terus membujuk dengan alasan untuk menghormati orangtua.
“Senyum, dong,” pinta Attala sambil menatap wajah Kirei yang cemberut. “Jangan memasang wajah seperti itu. Nanti, Mama tersinggung, lho.”
Mendengar perkataan Attala, Kirei menarik bibirnya perlahan hingga membentuk senyuman yang manis sekali. Ia menggandeng tangan suaminya, lalu berjalan beriringan menuju ruang makan.
Gumilar dan Gayatri sudah menunggu. Ada empat jenis masakan dan satu wakul nasi di atas meja. Piring dan gelas sudah tertata rapi. Aroma masakan mengugah selera. Menu hari ini adalah masakan khas Jawa Tengah. Ada soto kudus yang kaya akan rempah-rempah, seperti ketumbar, lengkuas, bawang merah, bawang putih, daun serai, daun salam, merica, jahe, dan garam. Ada juga Tempe Mendoan, Sambal Lethok yang bumbunya terdiri dari cabai, bawang merah, bawang putih, kencur, daun salam, lengkuas, gula merah, dan garam serta tempe segar atau bosok dan santan. Membuat sambal ini tidaklah sulit, Gayatri pernah belajar langsung pada Bi Minah karena suaminya menyukai sambal ini.
Bi Minah mengajari Gayatri dengan sabar. Dari mulai merebus tempe segar, tempe bosok (semangit) dan bumbu lainnya hingga lunak, lalu ditiriskan. Kemudian, tempenya ditumbuk setelah itu disisihkan. Lanjut ke tahap selanjutnya, Bi Minah menghaluskan bumbu yang telah direbus tadi, lalu ditumis hingga berbau harum dan masukan daun salam dan lengkuas. Setelah itu, masukkan tempe yang sudah ditumbuk dan bumbu yang sudah ditumis ke dalam santan. Tahap terakhir, masukkan gula merah dan garam, lalu biarkan sampai mendidih hingga bumbunya meresap.
“Wah, ada sambal kesukaan Papa, nih. Bi Minah emang jagonya masak makanan seperti ini. Kamu harus cobain masakan Nusantara, Attala. Pasti kamu belum pernah mencobanya, kan?” Gumilar memulai pembicaraan agar suasana di meja makan ini menjadi cair.
“Iya, Pa. Aku belum pernah mencoba makanan seperti ini karena terlalu lama di Korea.” Attala terlihat kikuk. Ia ragu, apakah lidahnya akan cocok dengan masakan malam ini atau tidak? Jika tidak. Terpaksa, ia akan meminta Kirei untuk memasakkan mie instan saja.
“Soto Kudus buatan Bi Minah, enak banget, Mas. Cobain, ya?” Kirei berinisiatif untuk mengambilkan nasi dan lauk yang ada di meja ke dalam piring Attala, tetapi dengan porsi yang sedikit dulu. Takutnya, sang suami tidak suka dengan rasanya.
“Rei, Mama….” Gayatri belum sempat melanjutkan perkataannya karena Gumilar langsung menyentuh tangan kirinya dan menggelengkan kepala sebagai tanda, jika sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan soal kejadian tadi siang.
“Ayo, kita mulai makannya.” Gumilar memasukkan satu sendok nasi ke mulut. Diikuti Gayatri, Kirei dan Attala. Mereka semua makan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Lima belas menit, keluarga Gumilar sudah menyelesaikan kegiatan makan malam. Bi Minah mulai membawa piring kotor dan gelas ke wastafel. Tak lupa, lauk sisa juga, ia bawa dan simpan ke dalam lemari khusus penyimpanan makanan. Sebagian, ada juga yang dimasukkan ke dalam kulkas.
Gumilar menyenggol tangan kanan Gayatri sebagai kode untuk memulai pembicaraan yang tadi sempat tertunda.
Gayatri yang paham dengan maksud suaminya menghela napas sejenak. “Rei, maafkan Mama karena tidak minta izin dulu untuk membersihkan kamarmu.”
Halaman : 1 2 Selanjutnya