Jakarta, Redaksiku.com
Mengamati kehidupan Kiai Pesantren seperti melihat manusia yang sempurna, tetapi ditutupi oleh pengabdiannya dengan tidak menunjukkan simbol ketakwaan, seolah-olah orang tidak ingin dilihat karena itu adalah amalan yang dilandasi cinta.
Roh kita malu bahkan untuk dilihat oleh orang lain, dan mereka tidak ingin identitas aslinya diketahui publik di depan umum. Itulah karakternya, belum lagi ketakwaan dan ketaatan. Ketaatan dan pengabdian harus ditunjukkan sesekali untuk dakwah bil hal, tetapi hal ini jarang dilakukan oleh kebanyakan Kiai. Kita umat Islam Indonesia perlu dibimbing oleh Ulama, Kiai dan guru-guru Al-Qur’an kita agar agama kita tidak menjadi simbol belaka. Kehidupan beragama adalah makna hidup dan niat untuk mengharapkan pahala dan keridhaan dari Allah. , tidak perlu memuji orang lain, kita juga tidak dipaksa untuk memuliakan orang lain.
Ibadah adalah upaya kita untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, upaya kita untuk bersyukur kepada-Nya sebagai hamba. Ibadah juga merupakan hasil dari ketaatan suatu makhluk kepada Horik sampai akhir hayatnya. Ibadah adalah suguhan khusyuk bersama Pencipta Alam Semesta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Riya’
Dalam bahasa Arab, arriya’ ( الرياء ) berasal dari kata kerja raâ ( راءى ) yang bermakna memperlihatkan. Riya’ merupakan memperlihatkan sekaligsu memperbagus suatu amal ibadah dengan tujuan agar diperhatikan dan mendapat pujian dari orang lain. Riya’ termasuk karena meniatkan ibadah selain kepada Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah ayat 264, Allah telah berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Q.S. Al-Baqarah: 264).
Dalam surat al-Anfal ayat 47, Allah SWT telah berfirman
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَرًا وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
Artinya: Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan (Q.S. al-Anfal: 47)
Pandangan ulama tentang Riya`
Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam kitabnya Nashoihul Ibad membagi keikhlasan menjadi 3 (tiga) tingkatan. Ini juga merupakan ‘sikap penghindaran’ riya, dengan tulus cara untuk menghilangkan perasaan dan sikap riya’ pada orang lain. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa tingkat pertama yang merupakan tingkat keikhlasan tertinggi adalah sebagai berikut:
فأعلى مراتب الاخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته الا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية دون اقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك
Artinya: “Tingkatan ikhlas yang paling tinggi adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya.
Sebagai muslim harusnya paham soal perasaan terpaksa jika tidak didasarkan keikhlasan. Karena itulah dasarnya ikhlas inilah untuk menjauhi riya’. Sebab riya’ justeru menghapus pahala. Maka menghindari riya’ dalam hal ibadah adalah wajib.
Menurut Imam Izzuddin bin Abdus Salam, ketika riya menghantui orang yang mau atau tengah beribadah, ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan supaya amalannya tetap bernilai di mata Tuhan. Ketiga hal ini disebutkan dalam kitabnya Maqashidur Ri‘ayah Li Huquqillah.
لخطرة الرياء ثلاثة أحوال إحداهن أن يخطر قبل الشروع في العمل لاينوي بعمله إلا الرياء فعليه أن يترك العمل إلى أن يستحضر الإخلاص، الثانية أن يخطر رياء الشرك فيترك ولايقدم على العمل حتى يمحض الإخلاص، الثالثة أن يخطر في أثناء العمل الخالص فليدفعها ويستمر في العمل فإن دامت الخطرة ولم يجب نفسه إلى الرياء صح عمله استصحابا لنيته الأولى
Artinya : Terdapat tiga bentuk riya, pertama yaitu orang yang terbesit riya sebelum mengerjakan amalan dan dia mengerjakan amalan tersebut hanya semata karena riya. Agar selamat, orang semacam ini harus menunda amalannya sampai timbul rasa ikhlas. Kedua, orang yang timbul di dalam hatinya riya syirik (mengerjakan ibadah karena ingin mengharap pujian manusia serta ridha Allah SWT). Orang seperti ini juga dianjurkan menunda amalan hingga benar-benar ikhlas. Ketiga, riya yang muncul di saat melakukan aktivitas/amalan. Orang yang dihadang riya di tengah jalan seperti ini, dianjurkan untuk menghalau gangguan itu sambil meneruskan amalannya. Kalau godaaan riya terus hadir, ia tidak perlu menggubrisnya. Insya Allah amalannya diterima karena tetap berpijak pada niatnya semula.
Halaman : 1 2 Selanjutnya