Kiai dan Umi duduk sebelahan di kursi utama. Di sebelah kanan Uma Aminah, Faiz dan istrinya duduk sebelahan. Di sebelah kiri Kiai, ada Amirah dan anaknya. Di sebelahnya Amirah ada kakak tertua Fa’al, Ghifar dan istrinya, Hana. Di samping Hana ada anak keduanya Mumtaz.
Fa’al mengajak Shima duduk. Ia duduk di sebelah Faiz. “Maaf baru gabung, Uma, Aba,” ucap Shima malu karena semua keluarga kumpul kecuali suaminya Amirah.
Di atas meja terdapat berbagai hidangan, ada nasi uduk dengan taburan bawang goreng yang begitu harum. Lauk pauknya, ada telur balado manis pedas tersaji di piring-piring besar, ayam suir serta ada tempe orek yang gurih dan renyah. Di sudut meja, terdapat piring-piring kecil berisi aneka sambal, kerupuk, dan irisan mentimun segar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mau sarapan apa? Nasi uduk atau nasi biasa?” tanya Fa’al langsung membalik piring yang sudah disediakan di depan masing-masing.
“Nasi uduk sepertinya enak, aromanya bikin ngiler,” kata Shima.
Fa’al langsung mengambilkan beberapa centong nasi uduk ke dalam piring. Ayam suir dan tempe orek mejadi pelengkap nasi untuk Shima. Tak lupa juga memasukan irisan timun segar dan kerupuk di samping piring.
“Terima kasih,” ujar Shima sembari menerima piring yang diberikan suaminya. Fa’al langsung mengambil jatah sarapannya setelah lengkap semua ada di piring, ia pun menyimpannya di hadapannya karena doa bersama belum dimulai.
Setelah berdoa semua makan dengan lahap. Tak terkecuali Shima meski masih malu-malu tapi, ia tak sungkan nambah.
“Faiz, jadi ke dokter?” tanya Kiai Muflih menatap anaknya setelah minum teh pahit kesukaannya.
“Iya, Aba. Tadi sudah reservasi ke dokter kandungan di rumah sakit yang dekat Pasar Baru,” jawab Faiz dengan senang karena Abanya ternyata perhatian dengannya dan sang istri.
“Bagus kalau sudah membuat janji biar tidak mengantri lama. Jam berapa pemeriksaannya?” Kiai Muflih kembali bertanya.
“Masih lama. pukul 10.40, Aba.”
Fa’al kaget mendengar jam yang disebutkan oleh sang kakak. Ia juga di rumah sakit yang sama dan jam yang sama janjian dengan dokter untuk pemeriksaan istrinya. “Kenapa bisa barengan seperti ini? Bagimana kalau ketahuan sama Bang Faiz atau Kak Risti? Pasti dia bertanya-tanya siapa yang sakit atau pertanyaan lainnya,” batin Fa’al sembari mengusap wajah.
Shima melirik suaminya. Ia mengerti suaminya berekspresi mengusap wajah karena merasa panik, tetapi entah karena apa. Ia hanya tahu kalau dirinya akan diajak ke dokter.
“Aba, Uma, Fa’al pamit dulu, ya. Tadi sudah ada janji ketemu seseorang,” ujar Fa’al setelah menghabiskan makanannya dan melihat piring sang istri yang sudah kosong tanpa makanan. Meski baru jam 9 kurang ia buru-buru berangkat.
“Lho, kenapa buru-buru pergi?” tanya Amirah yang sedari tadi menyuapi putranya yang masih ngambek.
“Iya, Kak. Fa’al ada perlu sama istri,” jawab Fa’al sembari tersenyum.
Uma Aminah dan Kiai Muflih tidak banyak bertanya. Mereka hanya mengangguk sembari tersenyum. Fa’al dan Shima segera keluar setelah pamit dengan orang tua dan kakak-kakaknya. Ia tidak pernah menyangka kalau dirinya akan sepanik itu karena harus ketahuan oleh sang kakak. Bukan tidak mau terbuka dengan keluarga yang lainnya hanya saja, ia belum siap dengan reaksi keluarganya.
Fa’al dan Shima berjalan menuju mobil. Setelah masuk dan Fa’al menyalakan mesin, mobil itu melaju keluar area pondok pesantren. Selama di perjalanan tidak ada yang bersuara, Fa’al sibuk dengan pikirannya sendiri.
Shima memainkan ujung jilbabnya. Ia pun tidak berani bertanya ketika mimik wajah suaminya mode serius. Pria itu fokus menatap jalan. Sesekali terdengar mendesis ketika ada motor yang menyalipnya tanpa memerhatikan sekitar atau ada angkot yang tiba-tiba menepi dengan bebas di pinggir jalan untuk menaikan atau menurunkan penumpang.
Setelah 30 menit perjalanan, mobil menepi di area parkir yang luas. Fa’al tidak mengambil jalur umum ia mengambil jalur khusus sehingga padatnya area parkir tidak ia rasakan. Seorang tukang parkir membantunya memarkirkan mobil lalu memberi Fa’al kartu parkir. “Terima kasih,” ucap Fa’al ketika menerima kartu itu.
Shima dan Fa’al berjalan ke area loby rumah sakit. Saat masuk, mereka merasakan ruang resepsionis yang rapi dan nyaman. Mereka disambut resepsionis dengan ramah. “Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?” tanyanya dengan ramah.
“Selamat pagi. Saya mau betemu dengan dokter Maryam. Kami sudah membuat janji,” jawab Fa’al sembari menggenggam tangan istrinya.
“Baik, boleh saya tahu nama dan waktu janji temunya?”
“Saya, Fa’al Hasam Ismam. Janji temu saya pukul 10.40 pagi hari ini,”
“Terima kasih, Pak. Saya cek dulu sebentar, ya.” Setelah mengatakan itu, ia langsung melihat komputer untuk memeriksa jadwal dokter Maryam.
“Betul, Pak. Anda sudah memiliki janji dengan dokter Maryam, tapi ini masih Pukul 10 kurang. Apa tidak akan terlalu lama Anda menunggu, Pak? Soalnya dokter Maryam sedang ada pasien,” resepsionis itu berkata dengan raut khawatir.
“Tidak apa-apa, Mbak. Boleh kami menunggu di ruangan dokter Maryam?” tanya Fa’al.
“Mas, kenapa kita nggak jalan-jalan dulu? Di luar banyak yang menjual makanan,” ujar Shima yang pasti bosan menunggu selama itu. Padahal siomay, batagor dan dimsum sudah terbayang di depan mata.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya