“Tenanglah Maya, hampir saja kau berakhir di media dengan foto kepalamu yang pecah” gumam Maya sambil mencoba mengatur nafasnya dengan normal.
Cukup lama Maya mengatur nafasnya sekaligus menenangkan dirinya kembali. Setelah ia kembali tenang, Maya pun mencoba memikirkan apa yang hendak ia lakukan dengan penyakit serta masalah pernikahannya tersebut. Saat Maya sedang berpikir, ia kembali diingatkan dengan kenangan yang baru saja terlintas di benaknya saat ia hendak mengakhiri hidupnya tersebut. Kenangan itu kini membuatnya kesal, ia benar-benar muak dengan kata-kata manis yang memang selalu terngiang dalam benaknya tersebut.
“Cih, pembohong. Kamu bilang mau menemaniku mewujudkan cita-citaku, sekarang kau malah asyik dengan wanita lain? Siapa dia? Akan kupastikan dia menderita karena telah mengganggu kehidupanku!!”gumam Maya menggerutu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di tengah kekesalannya tersebut, Maya mulai terpikirkan sebuah ide yang ia rasa cukup bagus untuk ia lakukan. Setelah mendapat ide tersebut, Maya lantas mulai menghapus air mata yang ada di pipinya dan kembali bangkit lalu pergi meninggalkan atap kantornya tersebut. Ia turun ke lantai dasar dan kembali ke jalan raya untuk memesan taksi. Tujuannya kini hanya satu, rumah tempat ia tinggal. Tempat sang suami yang kini ia benci itu tengah berada.
***
Maya menekan kode pada kenop pintu depan yang dirancang dengan sebuah kata sandi untuk membukanya. Ia berjalan masuk ke dalam rumahnya yang cukup luas untuk dihuni oleh dua orang. Bagian dalam rumahnya itu terlihat gelap dengan lampu yang telah padam hampir di seluruh ruangan. Hanya ada cahaya lampu dari bagian luar yang menembus masuk melalui kaca jendela yang tertutup tirai. Ia masuk tanpa menyalakan satu pun lampu yang ada di ruang tamu. Sudah menjadi kebiasaanya untuk tidak menyalakan lampu saat pulang larut malam agar tidak mengganggu suaminya yang biasanya lebih dahulu terlelap.
Maya hanya berdiri didepan pintu kamar suaminya yang entah sejak kapan lebih sering tidur di kamar tamu dibandingkan tidur bersamanya di kamar mereka berdua. Ia ragu untuk mengetuk pintu kamar tersebut, Maya masih mempertimbangkan apakah ia harus membicarakan masalah yang ia alami kepada suaminya malam ini atau esok hari. Di tengah keraguan Maya, pintu yang hendak ia buka rupanya terbuka dan menampilkan sosok suami Maya yang keluar sambil menguap.
Arman Pratama, ia adalah suami dari Maya yang menikahi Maya sejak lima tahun lalu. Arman dan Maya pertama kali bertemu saat mereka masih duduk di bangku kuliah. Saat itu, mereka berdua sama-sama mengambil fakultas ekonomi dan bisnis di perguruan tinggi yang sama. Di tahun keempat mereka berkuliah, Arman pun menyatakan perasaannya kepada Maya. Setelah melalui beberapa kali penolakan, Maya pun akhirnya menerima pernyataan cinta Arman dan mereka mulai berpacaran. Lima tahun kemudian, Arman memberanikan diri untuk melamar Maya sehingga kini, mereka sudah menjalin hubungan asmara selama sepuluh tahun.
Tidak seperti Maya, karir Arman tidak begitu cemerlang. Di usianya yang sudah mencapai kepala tiga itu, Arman masih berkutat sebagai Team Leader dan hampir tidak mendapat kesempatan naik jabatan. Hal ini yang membuat Maya lebih dominan dibandingkan Arman dalam urusan rumah tangga mereka berdua. Berbagai hal telah terjadi dalam kehidupan rumah tangga mereka, hingga pada malam ini, sang istri berdiri didepan suaminya yang baru saja terbangun dari kamar yang terpisah darinya.
“kenapa kamu berdiri didepan pintu?” tanya Arman yang masih menguap.
“A-aku hanya sedang melamun” balas Maya.
“Lalu, kenapa kamu pakai pakaian rumah sakit seperti itu? Atau itu baju tidur barumu?”
“bukan, aku memang baru keluar dari rumah sakit”
“Ohh begitu”
Arman lantas berjalan melewati istirnya begitu saja. Maya pun merasa geram, suaminya itu bahkan tak peduli saat ia mengatakan bahwa ia baru saja keluar dari rumah sakit. Maya mengepalkan tangannya dengan amat kencang, ia berusaha menahan emosinya agar tidak meledak begitu saja.
“Apa kau tidak penasaran dengan kondisiku setelah pulang dari rumah sakit?” tanya Maya sambil menghampiri Arman yang sedang meneguk air putih di dapur.
“Hmm memangnya kau kenapa? kelelahan? Sudah kubilang untuk tidak terlalu memaksakan diri saat bekerja bukan?” balas Arman.
“Kau benar-benar tidak khawatir dengan kondisiku?”
“Ada apa denganmu? biasanya kau tidak suka diperhatikan berlebihan seperti ini bukan?”
“Memang benar, tapi setidaknya kau harus lebih peduli dengan menanyakan kondisiku bukan? bagaimana bila ternyata aku sakit parah?” Maya semakin meninggikan nada bicaranya.
“Aku tidak mengerti, kenapa kau bersikap aneh seperti ini?” Arman masih tidak peduli dan tak mengerti maksud dari perkataan istrinya tersebut.
“Aku tidak bersikap aneh, kau yang bersikap aneh! kau benar-benar tidak peduli dengan apapun yang terjadi padaku? Aku benar-benar mengalami hari yang berat. Sementara kau bahkan tidak peduli saat melihatku pulang dengan pakaian rumah sakit ini”
Arman hanya menghela nafas panjang. Ia benar-benar tak mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya tersebut. Selama ini, istrinya itu sangat tidak menyukai perhatian berlebihan darinya. Itu sebabnya, Arman merasa tak perlu lagi untuk banyak bertanya kepada istrinya. Namun, malam ini istrinya benar-benar bersikap aneh dan menuntut perhatian darinya. Arman merasa istrinya itu hanya mencari-acri kesalahan dari dirinya tersebut.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya