Kakiku terantuk pot bunga berbahan batu alam dengan model persegi di sisi kanan pintu lobby apartemen Ghani. Bapak satpam yang sedang berdiri tegak di dekat meja kecil di sisi kiri menatapku ragu mendengarku mengaduh, antara ingin menolong ataukah tetap bertahan di pijaknnya karena acungan jempolku yang menandakan aku baik-baik saja. Memang tidak ada luka jika kakiku dilihat sepintas, namun entah bagaimana kondisi kelingkingku ketika sneakersku kulepas.
Berusaha agar tetap berjalan senyaman biasa, demi menahan rasa malu yang menghampiriku ketika beberapa pasang mata menatapku dari arah lift. Untung saja aku memakai masker, hingga mereka tidak akan melihat ekspresi bodohku sekarang.
Aku memilih lift di sisi kiri. Secara spontan saja, karena menghindari beberapa orang yang sedang mengantre di lift sisi kanan. Sialnya, pintu di depanku tidak terbuka juga, sementara di sisi kanan sudah berdenting.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mbak? Ke atas kan?” tanya salah satu orang yang belum memasuki lift. Laki-laki berusia separuh abad memakai kemeja polos berwarna biru itu menungguku.
Karena tidak enak membiarkan yang lain ikut menunggu, dan tidak mungkin juga aku beralasan mau ke lantai bawah sedangkan lantai ini sudah paling dasar, kuseret kakiku yang nyerinya sudah sedikit berkurang ke arah kanan, ikut masuk ke lift yang akan membawa kami ke lantai atas.
Untungnya orang-orang di dalam lift tampak tidak peduli denganku. Tepatnya kakiku. Ya, memang aku saja yang selalu khawatir akan reaksi orang-orang padaku. Kegeeran kalau kata Ghani.
Tiba di lantai lima, aku segera keluar lift dan mengarah ke arah kiri, menghentikan langkahku di pintu bernomor 505, memencet bel dan menunggu beberapa saat sampai sosok tegap tinggi itu terlihat di depanku, dilengkapi dengan senyum indah walau sinar mata yang jelas terlihat lelah.
***
“Baru bangun?” tanyaku melangkah masuk setelah membuka sepatu, menyimpan bahan makanan yang kubawa ke kulkas yang ada di pantry sisi kanan begitu kita memasuki hunian ini.
Apartmen milik Ghani adalah apartemen bertipe loft dengan satu ruang tidur yang terletak di lantai dua. Minimalis, namun terasa nyaman karena desainnya yang unik. Dinding didominasi dengan menggunakan material bata, sesuai dengan lantai kayu yang ditutupi sebagian oleh karpet berwarna abu-abu, senada dengan warna sofa yang menghadap TV gantung di dinding. Ada meja mini bar yang menghubungkan dengan pantry, serta empat kursi putar yang memiliki sandaran. Kamar mandi berada di lantai atas dengan hanya ditutupi tirai dan kaca. Bagian paling aku suka di apartemen ini adalah lampu gantung fitting berbagai bentuk, memberikan sensasi hangat jika dinyalakan.
“Kakimu kenapa?” Ghani yang tadinya mengarah ke tangga menghentikan langkahnya untuk memperhatikan kakiku.
“Hm? Oh, ini. Tadi kesandung pot bunga di lobby.” Aku memberikan cengiran. “Tapi nggak apa-apa. Udah nggak sesakit tadi.”
Namun Ghani tidak peduli dengan sikapku yang seolah baik-baik saja. Laki-laki itu memutar tubuh lalu melangkah ke arahku. Tangan kananya membuka pintu kulkas dan mengambil sebuah ice pack di freezer, membungkusnya dengan kain yang dia ambil di laci bawah pantry, lalu memegang siku kiriku memakai tangannya yang bebas, menarikku ke arah sofa dan mendudukkanku, membawa sekalian kedua kakiku hingga kini posisiku selonjoran di atas sofa.
“Beneran kakiku nggak apa-apa.”
Ghani menatapku sejenak, lalu membungkus punggung kaki kananku dengan es yang sudah diselimuti kain. “Sekarang nggak apa-apa. Kalau kamu biarkan, nanti akan bengkak.”
Aku menggaruk ubun-ubunku yang tidak gatal. Percuma melawan Ghani, laki-laki yang selalu merasa memiliki tanggung jawab untuk melindungiku.
“Yaudah. Biar aku sendiri. Kamu belum mandi kan?”
Laki-laki itu kembali menatapku, kedua alisnya terangkat, matanya bergerak-gerak lucu. Dia pun mencium sebagian sisi tubuhnya. “Bau ya?”
Aku tertawa kecil, mengusap rambut ikalnya yang sudah sebahu. “Rambutmu yang bau! Buruan mandi sana!”
Ghani ikut tertawa, lalu berdiri bangkit. “Semalam di panggung panas banget, padahal outdoor.”
Ghani adalah personel band bernama Mangata. Band indie yang belakangan ini semakin melejit dengan single-nya berjudul Bumi. Posisinya sebagai gitaris nyaris mengalahkan pamor vokalisnya. Untungnya dia tidak begitu suka menjadi pusat perhatian. Meski memiliki suara yang menarik, dia lebih memilih sibuk bermesraan dengan gitarnya dibandingkan sebuah mikrofon. Hal lain yang membuat Ghani unggul di antara personel lain adalah sebagian besar lagu-lagu band mereka diciptakan dan diaransemen olehnya. Faktor lainnya tentu saja ada pada wajahnya.
Visual Ghani bukan tipe yang akan disukai dalam sekali lihat, namun pesonanya yang natural dan gestur yang apa adanya membuat perempuan ingin melihatnya sekali lagi, sekali lagi dan begitu seterusnya hingga mereka sadar bahwa Ghani tipe laki-laki yang sulit ditolak. Pembawaannya di panggung sama persis dengan kehidupan sehari-harinya, tidak begitu ramah seperti Rama sang vokalis atau dingin seperti Nabas, si drummer.
Hal paling mencolok dari laki-laki itu adalah rambut ikalnya yang dibiarkan panjang sebahu, yang selalu diikat gulung ketika di panggung, selaras dengan bantuk wajahnya yang triangle face, dengan ditumbuhi cambang halus.
Jika hanya berupa foto, mungkin orang-orang akan mengira Ghani tipe laki-laki yang berkuasa, suka mengontrol dan memiliki pride tinggi. Jauh berbeda jika berinteraksi dengannya. Dia sangat menghargai, benar-benar menyimak obrolan lawan bicaranya. Hal itu lah yang membuatku nyaman bersamanya hingga sekarang, tentu saja ditambah dengan alasan lain.
Kami bertemu di awal-awal aku merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikanku. Aku kuliah di salah satu kampus swasta yang memiliki program studi seni terbaik di Indonesia. Beda denganku yang berada di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Ghani adalah senior dua tingkat di atasku dan memilih Fakultas Seni Pertunjukan.
Awal kami berinteraksi pun karena aku menjadi panitia ulang tahun kampus, dan ditunjuk sebagai kordinator Humas dan Publikasi, sementara Ghani dan band lamanya dulu (belum menjadi Mangata) tampil sebagai pembuka acara. Aku dan Ghani bertemu di backstage saat dia selesai manggung.
“Nayanika Ilyana?”
“Ya?” Aku menjawab tanpa tahu siapa yang memanggilku. Aku hanya mengikuti arah suara si pemanggil dan berakhir menatap sepasang mata yang atraktif, wajah yang dihiasi buliran keringat di dahi dan pipi.
“Ini name tag kamu? Jatuh.”
“Ah?” aku yang kebingungan melihat sebuah kertas berbungkus plastik dangan kalungan berlogo kampus dan tema acara.
“Kalau namamu Nayanika Ilyana, berarti ini punyamu. Kecuali ada Nayanika Ilyana lainnya.”
Aku yang masih kebingungan karena seperti terhipnotis oleh tatapan Ghani cepat-cepat mengakhiri kebodohanku. Waktu itu aku bertaruh Ghani pasti langsung sadar jika aku terpesona padanya, entah karena memang dia percaya diri ataukah memang wajah bodohku sudah seperti itik buruk rupa yang bertemu dengan seekor angsa berbulu cantik.
“Iya. Itu sepertinya punyaku.” Aku sedikit melangkah ke arah Ghani lalu mengangkat tangan untuk menjangkau name tag yang berada di genggaman tangannya.
“Sebantar.” Ghani menurunkan lengannya, name tag-ku masih dipegangnya. “Kamu dari fakultas mana? Kok nggak pernah tahu?”
Saat itu aku berpikir Ghani pasti sosok playboy yang senang mencari kesempatan alias modus pada cewek-cewek lugu, tapi dipikir-pikir aku bukanlah lugu, hanya sedikit bodoh dan ceroboh. Jadi dia bisa berpikir puluhan kali jika ingin mempermainkanku.
Hanya saja pikiranku salah. Dari kejadian itu aku dan Ghani menjadi akrab. Entah bagaimana caranya sejak itu aku dan dia selalu bertemu di suatu acara atau hanya papasan di kampus, dan dia selalu menegurku lebih dulu. Hubungan kami perlahan dekat, bersahabat hingga menjadi sepasang kekasih sampai sekarang.
Ghani adalah laki-laki yang hangat. Melindungi dan selalu memastikan keadaanku aman. Dia bukan tipe laki-laki yang over protective, namun tidak akan diam selama dia belum memastikan bahwa aku baik-baik saja. Untuk itu aku betah berada dekatnya. Dia seperti sosok saudara bagiku, seorang kakak yang sangat bisa kuandalkan di tengah kondisiku yang jauh dari keluarga, di keadaanku yang sudah lama ditinggal pelindung bernama ayah.
Sedangkan menurut Ghani, aku adalah sosok support system di kesehariannya maupun saat dia merintis karir hingga sekarang. Aku adalah manusia yang mengingatkannya bahwa dia masih berada di bumi. Yang terakhir ini aku pun tidak mengerti maksudnya. Ketika kutanyakan apakah aku adalah bagian buruk dari kehidupannya yang sempurna hingga dia masih bisa merasa berada di bumi bukannya di surga, Ghani tertawa kencang hingga bahunya berguncang. Semenjak itu aku tidak pernah menanyakannya lagi.
Mungkin sudah sekitar dua puluh menit sejak aku memakai kompres dingin untuk kakiku, maka aku bangkit berdiri dan membawa ice pack kembali ke dalam freezer, sekalian mengambil bahan makanan yang simpan tadi dan meletakkannya di atas telenan yang kuambil dari gantungannya.
Ketika aku membersihkan sayuran di bak cuci, sepasang lengan yang terasa dingin melingkari tubuhku. Aroma teh putih yang kukenali sebagai wangi sabun Ghani seolah menguar dari tubuhnya dan kemudian terendus di hidungku. Dagu yang dia letakkan ke pundak kananku menyebabkan titik-titik air dari rambutnya ikut jatuh dan membasahi bajuku.
“Ngapain?” Bisiknya.
“Mau masak buat makan malam.” Aku mematikan kran air setelah sayurannya kurasa cukup bersih.
“Kenapa nggak pesan online aja? Atau kita makan di luar?”
Aku menggeleng, lalu berbalik menatap wajahnya serta rambut ikal yang sebenarnya berwarna cokelat gelap namun menjadi hitam karena basah. Aku menyentuh ujung-ujung rambutnya, menyebabkan jariku ikut basah. Selama aku melakukan gerakan itu, Ghani hanya melonggarkan pelukannya tanpa berniat melepaskanku.
“Kalau pesan online, kamu pasti memesan makanan cepat saji. Aku cuma bisa masakin kamu kalau hari libur gini, dan cuma saat seperti ini aku bisa mastiin kamu makan sehat.”
Ghani menghela napas yang mengena wajahku, kepalanya mengangguk-angguk pasrah. “Kakimu gimana?” Laki-laki itu melepaskan pelukannya, sepasang matanya kini beralih ke kaki kananku.
“Sepertinya membaik. Semoga nggak bengkak.” Aku kembali berbalik lalu memotong sayuran.
“Aku bisa bantu apa?” tanyanya lagi.
“Nggak usah. Mending keringkan dulu rambutmu.”
Kudengar Ghani tertawa renyah. “Rasanya sudah lama tidak mendengarmu cerewet seperti ini.”
“Siapa suruh sibuk mulu?”
“Maaf. Menjelang akhir tahun jadwalku agak padat. Semalam aku baru bisa sampai jam tiga pagi. Melelahkan.”
“Tapi kamu suka kan?” tanyaku sambil menoleh melihatnya.
Ghani mengangguk. “Kamu nggak kesepian kan?”
Gantian aku tertawa mendengar godaannya. “Dikit. Tapi aku jadi happy lihat kamu kayak gini.”
“Ouch. Padahal aku berharap kamu frustasi karena waktuku jauh lebih sedikit untukmu.”
“Kamu pengen banget ya aku tergantung sama kamu?”
Laki-laki itu menyandarkan pinggulnya di meja mini bar, melipat kedua lengannya, dan memandangku lekat. “Aku khawatir cerobohmu kumat dan mendatangkan masalah, sementara aku tidak dalam posisi bisa setiap saat membantumu.”
Sudah terdengar manis, belum? Ya, seperti ini lah seorang Ghani. Selalu ingin memastikan keadaanku baik-baik saja. Saat kutanyakan kenapa seperti itu, dia hanya menjawab bahwa aku selalu menarik bentuk kepeduliannya lebih besar dibandingkan hal lainnya.
“Aku baik-baik saja. Selama kamu sibuk manggung, aku janji akan berhati-hati dan kamu bisa tenang tanpa rasa khawatir.”
Ghani tersenyum, mendekat lalu begitu berada tepat depan wajahku, laki-laki itu mengecup dahiku lembut. “Selamat masak. Aku ingin membereskan Ily dulu, persiapan untuk manggung besok malam.”
“Astaga, Ghani! Manggungnya masih lama. Keringkan dulu rambutmu.”
Ily adalah gitar berwarna putih yang namanya terinspirasi dari nama belakangku. Ilyana. Katanya dia begitu menyukai namaku, hingga mencaplok dan menyamakan nama gitar kesayangannya.
Seandainya saja. Seandainya Ghani bisa memberikan apa yang aku harapkan darinya, mungkin aku akan menjadi wanita paling beruntung di muka bumi ini. Tapi sampai sekarang tidak ada sedikit pun tanda keinginanku akan dikabulkan. Entah sampai kapan.
-Bersambung-
Halaman : 1 2 Selanjutnya