Novel: A Way to Find You (Part 1)
BAB 1
Giska berjalan masuk ke kamar dengan handuk melilit di kepala, menutupi rambutnya yang masih basah. Di sana, ia mendapati suaminya tengah sibuk mencatat barang-barang yang berserakan di atas tempat tidur mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Udah lengkap semua?” tanya Giska sambil memeluk pinggang Bima dari belakang. Kepalanya menjulur ke samping, berusaha mengintip ke arah tempat tidur dari balik tubuh besar sang suami. Di antara banyak barang, mata Giska menangkap headlamp, sleeping bag, jaket, kotak P3K, serta jas hujan. Giska amat familier dengan segala perlengkapan itu. Ah, sudah berapa lama sejak terakhir kali ia menggunakan mereka semua?
“Udah, sisanya ada di bawah. Tinggal masukkin ke carrier aja,” jawab Bima, membubuhkan tanda centang pada daftar terakhir barang yang hendak ia bawa.
“Belum-belum, aku udah ngerasa kesepian,” rajuk Giska, mempererat pelukannya.
Bima melempar notebook kecil serta pena miliknya ke kasur, kemudian membalikkan badan. “Makanya, ayo ikut,” bujuknya sembari mengusap lembut kedua pipi istrinya. “Masih ada waktu buat persiapan, kok. Emangnya kamu nggak kangen naik gunung?”
Ini sudah kesekian kalinya Bima mengajukan ajakan tersebut, bahkan sejak rencana-rencana pendakian sebelumnya. Namun, untuk kesekian kalinya juga Giska memberi jawaban yang sama, “Nggak, deh. Lain kali aja.” Perempuan itu menghapus cemberut main-main di bibirnya, menggantinya dengan cengiran. “Aku beneran harus kejar setoran. Lembur ngedit juga.”
Giska bisa menangkap sekilas sorot kekecewaan di mata Bima. Akan tetapi, suaminya itu tidak pernah menyuarakan rasa berat hati atau protes sedikit pun.
“Ya udah, harus tahan kangen kalau gitu,” ujar Bima dengan senyum tipis. “Yuk, sarapan.”
Keduanya menghabiskan waktu bersama sepanjang pagi dan siang. Meski ini bukan pertama kali Giska akan ditinggal sang suami melakukan pendakian, selalu saja hatinya terasa sendu. Membayangkan ia harus tidur seorang diri di kamar mereka selama beberapa hari ke depan membuatnya ingin merengek di pangkuan Bima, memohonnya untuk tidak pergi.
Tak terasa, waktu keberangkatan Bima telah tiba. Giska membuntuti sang suami yang sudah menggendong carrier di punggungnya sampai ke pintu depan. “Jangan lupa telepon kalau udah sampai sana, Mas. Kabarin aku. Terus, kalau capek jangan dipaksain. Ini pertama kali kamu ke Sumbing, kan? Belum tahu medannya kayak apa.”
“Siap, Komandan!” Bima tertawa kecil mendengar kecerewetan Giska. Ia memakai kaus kaki dan sepatunya, masih sambil mendengarkan celoteh dari sang istri.
“Jangan makan yang pedes-pedes, perut kamu nggak kuat. Udah bawa sekop?”
“Udah.”
“Tiketnya udah, kan?”
“Udah.”
“Dompet? HP?”
“Udah semua, kok. Aman.”
Tepat saat sepatu selesai terpasang, mobil yang dipesan Bima via aplikasi ojek online tiba di depan rumah mereka. Bima menarik sang istri ke dalam pelukan dan memberinya ciuman di bibir. Singkat, tapi penuh sayang.
“Aku berangkat dulu. Kamu baik-baik, ya, di rumah.”
Giska hanya mengangguk tanpa suara. Entah kenapa, perasaannya sedikit tidak enak ketika harus melepas kepergian Bima sore itu. Satu usapan terakhir mendarat di pipi kirinya sebelum sang suami menghilang masuk ke dalam mobil.
***
Selepas maghrib, Giska menyalakan komputer di ruang kerja. Masih ada beberapa video yang harus ia sunting sebelum diunggah ke akun-akun pribadinya. Perempuan itu membuka buku catatan di samping keyboard untuk melihat kembali kerangka konsep yang telah ia siapkan beberapa hari lalu.
“Yang ini dulu, deh,” gumamnya, memilih satu footage di folder berjudul ‘Skincare-Desember (unedited)’ dan memasukkannya ke aplikasi video editor. Tangannya lihai mengatur tampilan isi video, menempel tulisan di sana-sini, juga menambahkan latar musik.
Getaran ponsel membuyarkan konsentrasi Giska yang sudah setengah jalan menyelesaikan suntingannya. Dengan tergesa, ia meraih benda yang kini menyanyikan nada dering itu, berharap nama sang suami muncul di sana. Bahunya melunglai ketika melihat siapa yang menelepon. Ternyata Naura, sahabat sekaligus manajernya.
“Halo, Ra?”
Tanpa menjawab sapaan Giska, Naura langsung mengutarakan tujuan utamanya menelepon, “Gue udah kirim rekap skincare sama make-up buat konten Monthly Love dari kemarin. Belum lo edit?”
“Belum. Gue lagi kelarin konten sunscreen dari brand Rosentine buat shorts Youtube sama TikTok. Hari ini full nongkrong ama suami soalnya.”
“Oh, udah berangkat dia?”
“Udah, tadi sore.” Giska meregangkan tubuhnya yang sedikit pegal setelah berkutat dengan komputer selama hampir satu jam. “Sendirian deh, gue di rumah,” keluhnya.
“Lagian, lo diajakin nggak pernah mau,” sahut Naura, tahu betul sudah berapa kali Giska menolak ajakan Bima naik gunung. “Lo nggak khawatir dia ketemu cewek lain di gunung? Ketemu bidadari, gitu?”
“Sembarangan,” gerutu Giska. “Mas Bima nggak mungkin ngelirik cewek lain biar kata bidadari gunung sekali pun. Tetep gue yang paling cantik di matanya. Lagipula, emang tu bidadari lebih jago goyang dari gue?”
Naura dan Giska sama-sama tertawa mendengar ucapan super pede itu. “Iya, deh. Ampun, Suhu,” canda Naura.
“Eh, Mas Bima telepon, nih. Gue tutup dulu, ya,” kata Giska, mendadak semangat.
“Oke. Jangan lupa selesaiin Monthly Love-nya. Udah ditunggu followers dari kemarin.”
“Iyaa, bawel.”
Giska memutus sambungan dari sang manajer, lalu ganti mengangkat panggilan suaminya. “Halo, Mas? Udah berangkat? Kok nggak ngabarin dari tadi?” cecarnya.
“Maaf, ada telepon mendadak dari kantor. Katanya ada file yang nggak sengaja kehapus sama anak magang. Aku sibuk cariin back-up file-nya dari tadi. Untung ketemu.”
Giska mengembuskan napas lega. Sejujurnya, ia sudah khawatir setengah mati karena tidak ada kabar dari suaminya sejak tadi. Rupanya ada masalah pekerjaan.
“Aku udah mau nyampe Karawang. Kamu lagi apa?” tanya Bima.
“Lagi edit video. Udah ditagih mulu ama Naura,” jawab Giska. “Busnya rame nggak?”
“Lumayan, tapi bangku sebelah aku masih kosong.”
Obrolan santai dengan Bima berhasil menenangkan hati Giska. Ia tahu Naura hanya bercanda, tapi tak urung, perkataan temannya tadi sempat mengganggu pikiran Giska. Meski suaminya ini boleh diadu kesetiaannya, bukan berarti tidak akan ada gadis di luar sana yang getol menggoda Bima, kan?
Rasa penyesalan mulai merayap di hatinya karena telah menolak ajakan Bima berkali-kali. Dalam benaknya, Giska diam-diam berjanji. Ia akan mengiakan kalau Bima mengajaknya di pendakian gunung selanjutnya.
***
“Halo, Kak Giska? Boleh minta foto?”
“Oh?” Giska, yang sedang duduk seorang diri sambil meminum air dari botolnya, menoleh ke samping. Ia melihat dua remaja berjilbab berdiri menatapnya penuh ketertarikan. Giska memberi mereka senyum ramah. “Boleh, boleh,” jawabnya, menyeka sisa keringat di wajah dan leher dengan handuk kecil yang ia bawa.
“Sendirian aja, Kak, ke gym?” tanya salah satu dari mereka, sementara temannya mengeluarkan ponsel dan menyiapkan fitur kamera.
“Iya, nih. Suami lagi ke luar kota. Baru pulang besok pagi.”
Itulah alasan suasana hati Giska cukup cerah sore ini. Setelah hampir empat hari berpisah, besok pagi ia akan kembali bertemu dengan suami tercinta. Senyum lebar terkembang di bibirnya yang terpoles liptint merah muda.
“Selfie dulu, ya, Kak,” pinta gadis yang membawa ponsel.
Setelahnya, mereka berfoto bersama Giska secara bergantian. Kedua remaja yang mengaku sebagai pengikut Giska di media sosial itu tak henti memuji kecantikan sang beauty influencer. Dengan perawakan yang tinggi, badan proporsional, serta kulit putih bersih, Giska menjadi salah satu content creator paling diminati saat ini.
“Banyakin konten skincare buat remaja lagi, dong, Kak. Aku selalu keracunan produk-produk yang Kakak review.”
“Oke, siap! Ditunggu, ya. Jangan lupa kasih like!” Giska melambaikan tangan saat mereka berpisah. Kebetulan, sesi work out-nya sudah selesai. Ia pun menyempatkan diri untuk mandi sebelum pulang.
Sesampainya di rumah, Giska menatap ponselnya dengan kening berkerut. Tidak ada kabar dari Bima, entah telepon maupun pesan singkat. Padahal, ia sudah menunggu dari tadi.
“Aneh,” gumamnya. Seharusnya, lelaki itu sudah berada di dalam bus sekarang, menempuh perjalanan pulang dari Kabupaten Wonosobo.
‘Apa dia kecapekan terus udah tidur di bus?’
Giska memutuskan untuk mengirim pesan terlebih dahulu. Siapa tahu, saat bangun nanti, Bima segera membalas. Sayangnya, hingga pagi tiba, hasilnya tetap nihil. Lelaki itu masih juga tak berkabar. Saat ditelepon, panggilannya tidak dijawab. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Biasanya, Bima sudah sampai di rumah jam segini.
“Kamu ke mana, sih, Mas?” ucap Giska cemas, tidak tahu lagi bagaimana harus menghubungi sang suami. Orang boleh berkata Giska adalah sosok perempuan yang mandiri, dominan, serta pemberani. Akan tetapi, kalau sudah menyangkut soal suami, Giska sama saja seperti gadis lain. Manja dan cerewet. Apalagi saat ditinggal ke luar kota seperti ini.
Tiba-tiba, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Giska langsung meloncat berdiri dari tempat tidur. Kakinya melangkah cepat menuruni anak-anak tangga, nyaris berlari ke ruang depan.
“Mas Bima!” serunya begitu pintu tersentak membuka.
Bima, yang baru saja menutup pintu penumpang mobil, otomatis menoleh. Dua, tiga detik, lelaki itu tidak memberi reaksi, hanya berdiri diam di sebelah mobil yang mulai melaju pergi. Sampai akhirnya, seolah baru tersadar, ia pun melangkah menghampiri Giska di beranda rumah. “Aku pulang,” ucapnya halus.
Giska menerjang sang suami, menguncinya dalam pelukan. Rasa hangat seketika membanjiri hati dan tubuhnya. “Kok nggak kabarin aku, sih? Aku khawatir, tahu!” protes Giska. Ia mendongak menatap wajah Bima, yang baru ia sadari terlihat agak pucat.
“Sori, aku kecapekan.” Bima balas memeluk Giska. Ia menenggelamkan wajah ke pundak istrinya. “Capek banget,” ujarnya lirih.
“Kan aku udah bilang kemarin, jangan dipaksain,” omel Giska. Sebenarnya, ia merasa sedikit heran. Bima bukan lelaki dengan fisik yang lemah. Hobi naik-turun gunung yang sudah ia jalani sejak masa SMA membuat stamina lelaki itu berada di atas rata-rata. Selama ini, belum pernah sekali pun Giska melihat Bima kelelahan sepulangnya dari pendakian. Paling hanya pegal-pegal ringan, terutama di bagian kaki. Oleh karena itu, sikap Bima saat ini membuatnya sedikit bingung.
“Sumbing separah itu, ya?” tanya Giska prihatin.
Bima tidak menjawab. Lelaki itu hanya menarik napas panjang, masih tanpa mengangkat wajah. Alhasil, Giska mengusap punggung suaminya beberapa kali.
Lewat sepuluh detik, barulah Bima menegakkan badan. Ia pun melepaskan pelukan mereka. “Aku istirahat dulu,” ucapnya datar.
“Eh? Oh, ya, oke.” Giska mematung kebingungan, sementara Bima melangkah masuk ke dalam rumah.
‘Aneh banget. Nggak ada ciuman kayak biasa, nih?’ batin Giska tidak terima. Baru kali ini Bima tidak menyerangnya dengan ‘ganas’ sepulang dari luar kota. Hatinya terus meneriakkan ada yang salah dengan suaminya itu.
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 2)
Halaman : 1 2 Selanjutnya