Sebelumnya: A Way to Find You (Part 9)
***
BAB 10
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pergolakan batin yang biasanya dirasakan oleh Bima entah kenapa tidak muncul saat ini. Mungkin, pelukan tulus dan bisikan pilu dari sang istri telah berhasil mengambil alih kesadarannya. Ia pun menguraikan lengan Giska, memutar kursi kerjanya yang beroda, kemudian ganti menarik perempuan itu ke pangkuannya. Ia peluk tubuh Giska dengan erat seolah takut kehilangan separuh jiwanya tersebut. Tak bisa Bima pungkiri, ia merindukan sosok perempuan yang selama beberapa minggu terakhir ini berada dalam daftar hitam di hatinya.
Giska balas memeluk Bima, meski awalnya tidak menyangka suaminya itu akan memberi reaksi positif. Kegembiraan membuncah dalam dadanya. Setelah sekian lama, ia akhirnya bisa kembali ke pelukan lelaki ini. Kehangatan yang dipancarkan oleh sang suami membuat tubuhnya seakan meleleh bagaikan lilin. Ia berharap waktu berhenti agar bisa menikmati momen kebersamaan ini sepuasnya.
Giska sebenarnya ingin bicara. Ada banyak hal yang ingin ia diskusikan bersama Bima terkait pertengkaran mereka. Namun, ia menyadari ada sesuatu yang lebih mendesak. Berada di atas pangkuan sang suami serta terkurung dalam pelukannya membuat Giska tidak ingin melewatkan kesempatan ini.
Giska sedikit menarik mundur tubuhnya dari pelukan Bima. Kedua tangannya mendarat di pipi lelaki itu, mengusapnya dengan lembut. Sepasang mata mereka saling beradu. Melalui keheningan tanpa kata, Giska berusaha menyampaikan permintaan hatinya. Kemudian, dengan gerakan hati-hati, ia bergerak maju mencium bibir sang suami. Jantung di rongga dadanya makin berdebar liar. Ada bendungan gairah yang menuntut untuk dibebaskan, tapi ada juga rasa takut akan datangnya penolakan.
Selama beberapa detik pertama, Bima hanya diam, tidak membalas inisiatif dari sang istri. Binar harapan di hati Giska seketika memudar. Ia pun menghentikan usahanya dengan putus asa. Pandangannya sedikit kabur oleh bayang air mata yang mulai tercipta. Ternyata benar, penolakanlah yang ia dapat. Akan tetapi, saat Giska baru akan mundur, tiba-tiba satu tangan Bima meraih belakang kepalanya dan kembali menyatukan bibir mereka.
Giska terkesiap. Ciuman Bima terasa begitu agresif, hampir sama seperti tadi malam. Giska tidak punya waktu untuk berpikir. Disambutnya api gairah yang dipantik oleh sang suami. Ia membuka kedua bibirnya, mengizinkan Bima menjelajah lebih dalam. Jemarinya berlari di rambut suaminya yang masih lembab.
Kedua mata Giska perlahan terpejam. Ia biarkan indra-indra lain di tubuhnya bekerja dengan lebih sensitif. Aroma lemon segar dari shampo favorit sang suami menggelitik hidungnya. Deru napas lelaki itu terdengar jelas di gendang telinganya, mengalahkan gemuruh hujan di luar sana. Lidahnya mencecap manisnya rindu dari mulut mereka yang menyatu. Giska lalu meremas rambut Bima, tahu betul bahwa suaminya menyukai tindakan tersebut.
Bima juga tidak tinggal diam. Sementara satu tangannya masih menahan kepala Giska, tangan yang lain bergerilya di tubuh perempuan itu. Ia menyingkap baju piyama sang istri dan membelai punggungnya beberapa kali. Sentuhan langsung di kulit mereka seolah menimbulkan percikan listrik yang menambah daya rangsangan antarkeduanya. Kemudian, tangan tersebut turun ke aset belakang Giska dan memberinya remasan agak keras.
Giska mengerang. Kepalanya seakan melayang. Embusan napasnya mulai terasa berat. Bibir sang suami berpindah ke rahang dan lehernya, memberinya kecupan-kecupan basah serta beberapa gigitan halus. Satu tangan lelaki itu naik dan mulai membuka dua kancing teratas baju piyamanya.
“Mas, ke kasur aja,” bisik Giska manja.
Alih-alih mengabulkan permintaan sang istri, Bima justru berhenti bergerak. Deru napasnya bahkan tidak terdengar lagi. Lelaki itu tiba-tiba saja mematung di tempat. Giska otomatis menatap suaminya dengan bingung.
“Mas?”
Sepasang mata Bima bertemu dengan tatap penuh tanya dari sang istri. Sekilas, kedua mata hitam itu membelalak. Di detik berikutnya, Giska merasakan tubuhnya terdorong kuat hingga terjatuh dari pangkuan sang suami. Suara berdebam terdengar cukup keras saat badannya beradu dengan lantai. Suasana berubah begitu cepat hingga pikiran Giska tidak sanggup mengikuti apa yang terjadi. Perempuan itu bahkan tidak sempat menjerit atau memekik.
Untuk sesaat, waktu seakan membeku, menghentikan segala pergerakan dan suara yang ada. Hingga kemudian, Giska yang lebih dulu tersadar. Otaknya perlahan kembali bekerja. Hal pertama yang ia rasakan adalah sakit yang amat sangat. Bukan dari tubuhnya yang baru saja terlempar ke atas lantai, tapi dari sayatan lebar yang baru saja tertoreh di dalam hatinya. Ia berusaha untuk bangkit duduk dengan menggunakan kedua tangan sebagai tumpuan, lalu menatap wajah Bima dengan tak percaya.
“Apa-apaan kamu?” desis Giska. Air mata jatuh begitu saja di kedua pipinya yang memerah.
Bima beranjak dari duduknya dengan wajah kalut. Badai itu mendadak datang lagi, memporak-porandakan hati dan akal sehatnya. “Gis, aku–”
“Jangan sentuh aku!” Giska menepis tangan Bima yang terulur. Perempuan itu mengangkat tubuhnya hingga kembali berdiri. Dengan tangan gemetar, ia mengancingkan lagi piyamanya yang sedikit terbuka.
“Gis, maaf, aku benar-benar nggak bermaksud–”
“Nggak bermaksud dorong aku? Nggak bermaksud nolak aku, gitu?” potong Giska lagi dengan sengit. Ia menguatkan diri agar tidak terisak meski hati dan harga dirinya hancur berkeping-keping. Kedua tangannya terkepal keras sampai-sampai ada rasa perih kala kukunya yang panjang menggores telapaknya. Namun, sakit itu tidak sebanding dengan apa yang ada di dalam dadanya. Ia menatap sang suami dengan penuh luka. “Keterlaluan kamu, Mas.”
Bima menelan ludah. Ia menyadari kesalahan fatal yang telah ia perbuat, dan ia tidak tahu dengan cara apa bisa menarik kembali tindakan tersebut. Api amarah di mata sang istri tampak begitu nyata hingga Bima tidak yakin bisa memadamkannya. Seribu kata maaf darinya juga tidak akan mampu membalut luka yang telah terbuka.
Akan tetapi, Bima tidak berbohong. Ia benar-benar tidak bermaksud untuk mendorong tubuh istrinya sampai terjatuh. Tadi, saat Giska meminta mereka pindah ke tempat tidur, hidungnya tiba-tiba mencium wangi melati yang amat kuat. Begitu ia membuka mata, apa yang ia lihat di depannya bukanlah wajah sang istri, melainkan wajah wanita misterius itu. Bagaimana mungkin Bima tidak kaget?
“Aku nggak nyangka kamu sebenci ini sama aku,” ucap Giska, menyeret kembali kesadaran Bima. Suara perempuan itu pecah tatkala rahang bawahnya bergetar tak terkendali. “Kalau kamu emang nggak mau, seharusnya tolak aja dari awal! Nggak perlu pakai cara kasar kayak tadi!”
“Gis, aku nggak sengaja, oke?” sahut Bima, sarat akan permohonan agar sang istri mau mengerti. “Dan aku nggak benci kamu. Tolong, jangan ngomong gitu.”
“Bohong!” Giska kembali menepis tangan Bima yang sudah akan menyentuh bahunya. Ia pun memeluk tubuhnya sendiri dan mundur satu langkah menjauhi sang suami. “Selama berminggu-minggu aku nahan diri, Mas. Aku nahan sakit atas perlakuan kamu, kamu tahu?” Air mata tanpa henti membanjiri wajah cantik perempuan itu. “Kalau aku emang ada salah sama kamu, kamu bisa ngomong langsung ke aku. Kita bicarain semuanya baik-baik. Kamu nggak berhak nyakitin aku kayak gini!”
Giska menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu terisak kencang. Benteng pertahanannya jebol. Angan-angannya untuk menghabiskan malam romantis bersama sang suami hancur sudah, begitu juga dengan harapannya untuk bisa memperbaiki hubungan mereka. Rumah tangganya kini benar-benar berada di ujung keretakan.
Tangisan Giska terdengar pilu membelah derasnya rinai hujan. Bima sudah akan meraih istrinya ke dalam pelukan, tapi tiba-tiba matanya menangkap semburat biru di pergelangan tangan kanan Giska. Lelaki itu sedikit tersentak. Refleks, ia menarik tangan Giska untuk melihat dengan lebih dekat. “Ini … gara-gara aku tadi malem?” tanyanya lirih.
Giska mengangguk, masih sambil terisak-isak. Bima kontan membelalak. Dilepasnya tangan sang istri begitu saja. Sorot matanya memancarkan kekagetan dan juga ketakutan. Mendadak, suara-suara wanita yang selalu hadir di alam mimpinya bergema di dalam kepala, “Jangan sentuh perempuan itu lagi. Jangan dekati dia. Aku tidak suka.”
Apa ini salah satu peringatan dari wanita itu untuk tidak menyentuh Giska lagi? Tadi malam, ia memang bertindak nyaris di luar kesadaran. Bima tidak begitu ingat sekuat apa tangannya mencekal tangan Giska, tapi ia yakin tidak sampai melukai istrinya tersebut. Di dalam maupun di luar kesadaran, Bima tidak mungkin sanggup menyakiti fisik perempuan yang ia cintai. Itu berarti, ada kekuatan lain yang menguasai dirinya, sampai-sampai meninggalkan cetakan memar di tangan sang istri.
‘Jangan-jangan, tadi juga–’
Belum sempat Bima selesai berpikir, tiba-tiba perhatiannya kembali tersedot oleh satu ucapan dari Giska, “Ada cewek lain, ya?”
Bima menarik napas kaget mendengar tuduhan istrinya. “Apa kamu bilang?”
Dengan sekuat tenaga, Giska berusaha menghentikan isakannya. Ia tidak paham lagi. Bima bahkan tidak berusaha menenangkannya meski ia sudah menangis sehancur ini. Rasanya percuma saja ia menumpahkan air mata di depan lelaki yang hatinya telah berubah itu. Jadi, dengan gerakan kasar, ia mengusap jejak-jejak air mata di wajahnya.
“Jujur aja sama aku. Kamu punya cewek lain, kan?” Satu tuduhan kembali melayang dari mulut Giska. Hatinya terlalu hancur hingga ia tidak memedulikan lagi percakapannya dengan Edo tempo hari. Menurutnya, tidak ada jalan untuk mendapat kebenaran selain dengan mengonfrontasi langsung orang yang bersangkutan. Perempuan itu tanpa takut menentang mata hitam sang suami yang kini menatap tajam ke arahnya. “Kamu pasti selingkuhin aku.”
“Kamu ngomong apa, sih?” desis Bima dengan nada tersinggung. “Jangan konyol, Gis!”
Namun, Giska tidak mau berhenti. Matanya nyalang menghujam lelaki yang berdiri di depannya. Nada bicaranya pun mulai meninggi. “Apa selama ini aku kurang buat kamu, Mas? Kamu udah bosen sama aku? Udah muak sama aku, iya?”
“Anggiska, cukup! Jangan bicara sembarangan!”
“Aku nggak nyangka, padahal baru lima tahun kita menikah. Aku tahu ada cewek-cewek di luar sana yang jauh lebih cantik dari aku. Nggak heran kalau kamu–”
“Giska, aku nggak selingkuh!” tegas Bima dengan penekanan di setiap katanya.
“Terus apa? Apa lagi kalau bukan selingkuh?” Giska balas berseru. “Aku mau tahu alasannya! Kamu nggak mungkin tiba-tiba berubah kayak gini tanpa sebab!”
Bima tertawa sinis. Kepalanya benar-benar terasa panas sekarang, seperti ada yang mengipasi bara api di dalamnya. Memar kebiruan di tangan Giska lenyap begitu saja dari fokus pikirannya. “Berubah? Aku berubah?” ucapnya berang. “Ngaca, Gis! Kamu yang berubah selama ini! Kamu nggak sadar?”
Giska mengatupkan rahang ketika jawaban Bima menampar kesadarannya. Ternyata, apa yang dikatakan Edo benar. Bima memang merasa kecewa akibat penolakannya di hari-hari yang lalu. Namun tetap, tidak seharusnya lelaki itu melampiaskannya dengan cara seperti ini. Tidak seharusnya lelaki itu menodai rumah tangga mereka dengan pertengkaran ini!
“Aku tahu maksud kamu.” Giska membuang muka sambil tersenyum pahit. “Kamu pasti mikir aku istri yang egois, cuma karena aku sering nolak ajakan kamu naik gunung. Iya, kan?”
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 11)