Sebelumnya: A Way to Find You (Part 10)
***
BAB 11
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bima kontan membisu, tidak menyangka Giska menyadari hal tak terungkap itu. Kobaran amarah di dalam kepalanya mendadak padam begitu saja seperti api yang tersiram air.
Sementara itu, keterdiaman sang suami seakan menjadi pembenaran yang absolut bagi Giska. Ia memang berniat untuk meminta maaf dan meluruskan semua kesalahpahaman antara dirinya dan Bima dari kemarin. Namun, karena telanjur emosi, Giska justru beralih membela diri. “Harusnya kamu sadar, Mas. Aku berubah kayak gini demi kamu, demi kita juga. Semua yang aku lakukan sampai saat ini selalu buat kita berdua.”
“Tapi … aku nggak mau kamu berubah, Gis,” ujar Bima lirih. Pengakuan terbesar yang telah ia pendam selama ini akhirnya terucap juga. “Aku nggak butuh kamu untuk berubah.”
“Sekarang aku punya prioritas dan tanggung jawab baru, Mas,” tukas Giska, kembali menatap sang suami. “Aku bukan Giska yang dulu, yang bisa main sepuasnya dan sebebas-bebasnya. Kamu pikir, aku bisa secantik dan sesukses ini kalau kerjaanku cuma nongkrong aja di gunung? Terus, kamu pikir, kita bisa ambil cicilan rumah ini kurang dari lima tahun kalau aku nggak rajin jadi content creator?”
“Aku nggak minta waktu kamu setiap hari, kok, Gis. Emang sesusah itu, ya, main sama aku empat sampai lima hari aja?”
Giska menggeleng. “Aku takut keterusan, Mas.” Perempuan itu membalikkan badan, menatap kosong ke arah jendela kamar mereka yang tertutup oleh gorden tebal warna cokelat. Sorot matanya sedikit meredup. “Naik gunung selalu jadi passion aku dari dulu, apalagi bareng kamu. Sekalinya aku turutin, aku takut nggak bisa berhenti. Dulu, pas awal-awal jadi influencer, aku sempat keteteran gara-gara keseringan main sama kamu. Aku nggak mau itu terjadi lagi.”
Bima tidak menjawab. Giska menarik napas panjang untuk sedikit melegakan dada. Percakapan ini terasa begitu membebani hatinya, seolah ada bongkahan batu besar yang menindihnya. “Inget, Mas. Kita sepakat ngelunasin rumah ini setengah-setengah. Uang muka pun aku yang bayar biar rumah ini jadi aset pribadi aku, sesuai perjanjian kita dulu. Dari mana aku dapetin semua uang itu kalau aku nggak ngonten? Sementara untuk bisa ngonten, aku harus selalu jaga badan aku, kulit aku, rambut aku, semuanya. Dan itu nggak gampang, Mas.”
Bima ikut menarik napas panjang. Ia kembali menjatuhkan diri di kursi kerjanya, tempat di mana ia bercumbu dengan Giska hanya beberapa menit yang lalu. Siapa yang menyangka bahwa mereka justru akan terjebak dalam pusaran emosi yang menyakitkan ini, alih-alih melanjutkan jalinan cinta mereka di tempat tidur? Bima menundukkan badan dan kepala. Keningnya berkerut seolah tengah memikirkan sesuatu dengan amat dalam. Selama beberapa saat, keheningan melingkupi atmosfer dingin di antara keduanya.
“Oke. Kalau itu yang kamu mau, aku ngerti,” kata Bima setelah satu menit penuh terlewat. Lelaki itu pun berdiri dan menatap sang istri yang masih bergeming di depan jendela. Sepertinya, percakapan mereka menemui jalan buntu malam ini. Tidak ada yang bisa diperdebatkan lagi. “Aku akan tidur di bawah,” ujarnya pelan.
Giska tidak memberi reaksi. Ia hanya mengikuti gerakan sang suami melalui pendengarannya. Begitu lelaki itu keluar dan menutup pintu kamar, Giska kembali menangis dalam keputusasaan.
***
Perlu perjuangan keras bagi Giska untuk bangun dari tempat tidur pagi ini. Kepalanya terasa pusing dan berat, sementara kedua matanya bengkak parah. Semua itu gara-gara ia tidak bisa berhenti menangis semalam dan baru bisa tidur pukul empat pagi.
Giska duduk di atas kasur sambil memegangi kepala. Setelah sakitnya agak mereda, perempuan itu melirik ke kiri. Sisi tempat tidur di sebelahnya, yang biasanya digunakan oleh sang suami, kini kosong tak berpenghuni. Pemandangan itu membuat kepalanya kembali berdenyut sakit, begitu juga dengan hatinya.
Giska buru-buru menyibakkan selimut yang menutupi kakinya, kemudian bangkit berdiri. Ia tidak mau bergelung di atas tempat tidur dan menangis lagi. Energinya sudah terkuras habis. Dengan langkah gontai, perempuan itu berjalan masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar mereka.
Giska berdecak tak percaya saat melihat pantulan dirinya di cermin. Penampilannya benar-benar mengerikan. Rambut acak-acakan, mata sembab dan bengkak, serta pipi dan hidung yang merah bagai tomat. Ia yakin para penggemarnya akan langsung kabur andai mereka melihat kondisinya saat ini.
Mungkin, seharusnya ia mencoba untuk tidur lagi. Lingkaran gelap yang mulai terlihat di bawah mata tidak akan mendukung penampilannya untuk acara nanti malam. Bertahun-tahun bergelut di dunia kecantikan membuat Giska mengerti bahwa kunci dari make-up yang sempurna adalah kondisi kulit yang sempurna juga. Gaun burgundy pesanannya yang mencapai harga jutaan akan terasa sia-sia kalau tidak dipadukan dengan tampilan wajah yang memesona.
Giska membasuh muka di wastafel. Dinginnya air keran lumayan berhasil menyejukkan hati dan pikirannya. Setelah menggosok gigi dan mengaplikasikan pelembab di wajahnya, perempuan itu turun ke lantai bawah.
‘Apa Mas Bima masih tidur?’ batin Giska seraya meminum segelas air mineral di dapur. Tidak terdengar suara apa pun di lantai satu, jadi ia menyimpulkan suaminya itu masih mengurung diri di kamar tamu. Giska mengunyah selembar roti gandum, lalu menelan satu pil pereda nyeri untuk mengurangi sakit di kepalanya. Ia berharap kandungan obat tidur di dalam pil tersebut bisa membantunya memejamkan mata barang sejenak.
Saat akan kembali naik ke kamar, mendadak pintu depan terbuka. Giska otomatis menghentikan kakinya yang sudah akan menginjak anak tangga terbawah. Kepalanya menoleh ke arah pintu utama yang memang terlihat dari tempatnya berdiri.
Dari pintu tersebut, Bima muncul. Lelaki itu berjalan masuk dengan mengenakan setelan olahraga lengkap. Setengah rambutnya diikat ke belakang, menampilkan keningnya yang dibanjiri keringat. Napasnya sedikit terengah.
Tatapan mereka pun bertemu. Selama lima detik penuh, keduanya hanya berdiam diri. Sampai akhirnya, Bima yang bergerak terlebih dahulu. Ia melepas airpods yang terpasang di telinga kanannya, kemudian menutup pintu depan. Giska sudah akan melanjutkan langkah, tapi suara berat sang suami menghentikannya, “Gis, tunggu.”
Mau tak mau, Giska menurut. Ia kembali memijakkan kaki ke lantai dan berbalik menghadap Bima. Sorot matanya seolah melemparkan pertanyaan ketus, ‘Apa?’
Sebagai jawaban, Bima melangkah mendekat. Begitu tiba di hadapan sang istri, ia meraih tangan kanan perempuan itu dan mengamati pergelangannya. “Masih sakit?” tanyanya, merujuk pada bekas kebiruan yang sudah tampak memudar.
Giska sedikit tersentuh oleh perhatian yang ditunjukkan oleh suaminya. Matanya kembali memanas. Betapa ia merindukan kehangatan ini, yang dulu selalu Bima limpahkan padanya dalam bentuk sikap maupun kata-kata. Sebenarnya, apa mau lelaki itu? Di satu waktu, ia berubah menjadi lelaki dingin dan pendiam, bahkan berani bersikap kasar. Namun di waktu lain, ia akan kembali menjadi lelaki yang lembut dan perhatian.
Giska menarik tangannya dan menjawab pelan, “Nggak.”
Karena tidak mau menangis lagi di depan Bima, Giska buru-buru memutar badan. Ia hanya berharap bisa beristirahat dengan tenang pagi ini. Berinteraksi dengan sang suami tentu akan menguras energi fisik dan mentalnya. Nanti, setelah tenaganya pulih, mungkin mereka bisa mencoba bicara lagi.
“Jangan lupa acara ke undangan entar malem,” kata Giska sebelum mulai menaiki tangga.
Meski sedang bertengkar, mereka harus tetap menjaga nama baik di hadapan publik. Tidak mungkin Giska muncul di acara undangan sepenting ini seorang diri. Orang-orang pasti akan menanyakan keberadaan suaminya karena selama ini, pasutri itu sudah terkenal bagaikan amplop dan perangko. Giska kerap menggandeng Bima ke acara-acara undangan, baik urusan pribadi maupun pekerjaan. Jadi, untuk malam ini, ia terpaksa harus tetap hadir bersama suaminya itu.
Ponsel miliknya berdering tepat saat Giska tiba di kamar. Ada panggilan masuk dari Naura. Ia melempar tubuhnya ke atas tempat tidur, lalu mengangkat panggilan tersebut. “Ya, Ra?”
“Jangan lupa, hari ini Kak Kevin ke rumah lo jam empat sore.” Seperti biasa, Naura langsung bicara tanpa basa-basi. Ia mengingatkan Giska soal janji temunya dengan hair stylist kondang tersebut. “Terus, produk endors yang kemarin rusak di perjalanan bakal dikirim ulang siang nanti.”
Giska menutup matanya menggunakan satu lengan, kemudian bergumam singkat sebagai jawaban. “Lo bisa ke sini nggak?” tanyanya kemudian.
“Kapan? Sekarang?”
“Entar siang aja, jam sebelas atau dua belas, gitu. Gue mau molor dulu bentar. Semalem nggak bisa tidur.”
“Oh, pantes suara lo lemes banget,” kata Naura. “Ada problem apa?”
Giska menghela napas pelan. “Gue ceritain nanti.”
“Oke, deh.” Naura mengangguk mengerti.
Setelah sambungan terputus, Giska melempar ponselnya ke samping. Rasa kantuk mulai menyerang, dan tak lama kemudian, kesadarannya mulai melayang.
***
Bima membuka pintu kamar, berniat untuk mengambil satu setel baju bersih dari dalam lemari dan berangkat mandi. Keringat di tubuhnya sudah mulai kering setelah ia mendinginkan diri. Namun, ia segera melambatkan seluruh gerakan tubuhnya saat melihat sang istri tengah tertidur lelap. Tidak biasanya Giska tidur lagi di pagi hari. Perempuan itu selalu mempunyai jadwal dan rutinitas yang padat meski hanya bekerja di dalam rumah.
Bima berjalan tanpa suara mendekati Giska. Ia tahu istrinya itu cukup terpukul dengan apa yang terjadi tadi malam. Ia sendiri juga merasakan hal yang sama. Emosinya masih campur-aduk bahkan sampai pagi ini. Perlahan, Bima duduk di tepi tempat tidur, tepat di samping sang istri. Giska sama sekali tidak terbangun atau menunjukkan tanda-tanda bahwa tidurnya terganggu.
“Capek, ya?” gumam Bima seraya tersenyum sedih. Ia mengusap helai-helai rambut yang jatuh di kening sang istri. Kemudian, tatapannya berpindah ke pergelangan tangan kanan Giska. Ia ganti membelai bekas kebiruan di kulit perempuan itu dengan gerakan hati-hati. “Maafin aku,” gumamnya lagi.
Sungguh, Bima tidak pernah berniat untuk menyakiti kekasih hatinya tersebut. Ia juga tidak menyangka rumah tangganya akan diterpa badai seperti ini. Namun, semua itu terjadi di luar kuasanya. Kehadiran entitas yang tak ia kenal terus-menerus menempeli kesadarannya, membuat Bima tidak bisa mengendalikan diri. Ia sadar dirinya bertingkah tidak wajar akhir-akhir ini, tapi ia tidak mampu melawan. Pikirannya sudah teracuni oleh sosok wanita misterius yang selalu ingin memisahkannya dari Giska.
Bima mengerutkan kening. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Kepada siapa ia harus meminta pertolongan? Lalu, siapa sebenarnya wanita misterius itu? Ia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi dan apa yang tengah menimpa dirinya. Semua misteri ini mengusik pikirannya tanpa henti. Satu hal yang Bima tahu pasti adalah ia selalu ingin kembali ke Sumbing.
Lelaki itu terbelalak. Mungkin, memang itulah jawabannya, dan mungkin, memang itulah yang harus ia lakukan. Segala keanehan yang ia rasakan bermula sejak dirinya pulang dari Sumbing. Sosok wanita misterius itu juga pertama kali hadir dalam benaknya dengan posisi tengah berdiri di kaki gunung Sumbing. Kemudian, dorongan untuk kembali mendaki di sana semakin kuat dari hari ke hari, seakan ada sesuatu yang menantinya. Bima memejamkan kedua mata. Kenapa ia baru menyadari hal itu sekarang?
Begitu matanya kembali terbuka, sosok yang sedang tertidur di hadapannya seketika memberi Bima jawaban. Otaknya terlalu berkabut selama ini, hingga kehadiran sang istri beserta segala luka dan air matanya semalam berhasil membuatnya kembali berpikir jernih. Terlebih setelah melihat memar di tangan perempuan itu. Akal sehat Bima bagai dilempar kembali ke kepalanya.
Bima meraih tangan kanan Giska dan mencium punggung tangannya cukup lama. “Aku janji, Gis,” ucapnya setelah melepas tangan sang istri, “Aku akan selesaiin semua ini.”
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 12)