Sebelumnya: A Way to Find You (Part 14)
***
Novel: A Way to Find You (Part 15)
BAB 15
Gunung Sumbing merupakan gunung berapi yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Gunung ini tercatat menjadi yang tertinggi nomor tiga di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru dan Gunung Slamet. Puncak tertingginya mencapai 3.371 mdpl, yang dikenal dengan nama Puncak Rajawali. Meski tergolong sebagai gunung api aktif, sudah ratusan tahun lamanya Gunung Sumbing tidak meletus. Oleh karena itu, gunung ini kerap dijadikan destinasi oleh para pendaki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terdapat beberapa jalur pendakian di Gunung Sumbing. Untuk aktivitas kali ini, Bima dan Giska memilih jalur pendakian via Gajah Mungkur. Perjalanan dari Terminal Mendolo ke basecamp Gajah Mungkur membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam. Menggunakan bantuan peta online, akhirnya Bima dan Giska tiba di sana.
Basecamp tersebut berada di tengah pedesaan. Areanya tidak terlalu luas. Bentuknya berupa sebuah rumah sederhana dengan dinding kayu dan bata, sementara bagian atapnya tertutup oleh seng yang tampak usang. Spanduk besar bertuliskan nama basecamp terpasang di halaman depan. Tepat di sebelah bangunan, terdapat tempat ibadah yang memudahkan para pengunjung untuk menunaikan kewajiban.
Hari masih gelap karena baru pukul empat subuh. Setelah memarkirkan mobil, Bima dan sang istri berjalan memasuki bangunan basecamp. Pintu depan tidak terkunci, tetapi tidak ada orang di dalamnya. Mungkin karena momen tahun baru sudah lewat dan hari ini belum akhir pekan, basecamp tersebut tampak sepi. Dari info yang mereka dapat, pendaftaran baru akan dibuka pukul tujuh pagi.
“Kita lanjut tidur dulu aja buat ngumpulin tenaga,” saran Bima. Ia berjalan ke salah satu sudut ruangan yang beralaskan tikar. “Sini, Gis,” panggilnya pada sang istri yang masih berjalan mengamati area sekitar.
Giska sedang hanyut oleh gelombang nostalgia. Setelah berdiri langsung di tempat ini, ia baru menyadari bahwa ia begitu rindu mendaki. Basecamp pendakian selalu menimbulkan kenyamanan tersendiri baginya, nyaris seperti rumah. Hawa dingin yang sejak tadi terasa mengganggu kini seolah memeluknya lembut bagai sahabat lama. Giska tersenyum. Baru sampai di basecamp saja ia sudah merasa bahagia, bagaimana dengan nanti saat sudah mulai mendaki? Tidak bisa dipungkiri, gunung memang tempat yang begitu istimewa baginya. Setelah puas melihat-lihat bagian dalam basecamp, perempuan itu pun berjalan menyusul sang suami.
Bima sudah menggelar kantong tidur dan merebahkan diri di atasnya. Ia meregangkan tubuh yang terasa sedikit pegal setelah menempuh perjalanan jauh. “Sini, tiduran sini,” ujar lelaki itu sembari menepuk tempat kosong di sebelahnya.
Giska dengan patuh mengambil kantong tidurnya sendiri, kemudian menelusupkan tubuh ke dalamnya. Kehangatan langsung menyelimuti, tapi ia tidak merasa mengantuk. Jantungnya terpacu oleh rasa tidak sabar. Ia ingin segera bangun dan menaklukkan puncak Gunung Sumbing. Ia ingin segera menyatu dengan alam terbuka dan menikmati segala keindahannya.
Giska hanya mampu memejamkan mata selama beberapa menit, sementara sang suami lelap tertidur di sebelahnya. Saat semburat cahaya matahari mulai tampak di ufuk timur, perempuan itu keluar dari kantong tidurnya. Ia mengambil alat-alat kebersihan pribadinya dan berjalan ke kamar mandi yang ada di basecamp tersebut.
“Oh, maaf!”
Tepat di depan pintu, Giska tanpa sengaja bersenggolan dengan seorang perempuan yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dilihat dari penampilannya, sepertinya perempuan itu juga seorang pendaki. Ia mengenakan atasan turtleneck lengan panjang dan celana cargo warna cokelat. Rambut hitamnya dikepang samping. Giska sedikit heran karena sejak awal, ia tidak melihat ada orang lain yang masuk ke basecamp selain ia dan sang suami.
‘Mungkin, cewek itu dateng pas aku ketiduran sebentar tadi,’ pikirnya. ‘Tapi, kok, aku kayak pernah lihat wajahnya, ya?’
Perempuan yang bersenggolan dengan Giska hanya tersenyum sopan dan mengangguk tanpa suara. Saat ia melangkah pergi, Giska kembali memanggilnya, “Mbak! Ini punya Mbak? Jatuh, nih.”
Giska memungut seuntai gelang di lantai depan pintu kamar mandi. Ia tanpa sadar berdecak kagum. Batu-batu merah delima berbentuk bulat melingkari gelang tersebut. Warnanya berkilau cantik, menarik perhatian siapa saja yang melihatnya. Saat diangkat, gelang tersebut juga terasa berat, seolah bebatuan yang menghiasinya merupakan batu mulia asli. Dilihat sekilas saja, benda tersebut tampak begitu berharga seperti harta karun.
Perempuan tadi menerima gelang dari Giska, lagi-lagi dengan seulas senyum sopan. Tanpa berkata apa pun selain ucapan terima kasih, ia pun berjalan pergi. Giska masuk ke kamar mandi tanpa memikirkan lagi kejadian barusan.
Sekitar pukul setengah delapan pagi, area basecamp sudah tidak terlalu sepi. Para pendaki mulai berdatangan, baik yang akan naik ataupun yang baru turun. Orang-orang pengurus basecamp juga sudah hadir sejak tadi. Bima dan Giska baru saja selesai sarapan di kantin kecil yang terletak di ruang belakang. Tidak lupa, mereka memesan nasi bungkus lengkap dengan lauknya untuk menu makan siang di tengah pendakian nanti.
‘Cewek tadi kok nggak keliatan, ya?’ batin Giska sambil celingukan. Perempuan pemilik gelang merah yang ia temui subuh tadi tidak tampak di mana pun. ‘Mungkin udah pulang’.
“Kata mas-mas di depan, kemungkinan hari ini bakal cerah. Kamu nggak pakai lengan panjang aja?” tanya Bima pada sang istri yang tengah mengaplikasikan tabir surya di wajahnya.
Giska menggeleng. Ia sudah cukup nyaman dengan kaus pendek yang ia kenakan saat ini.
“Nggak takut kulit kamu gosong?” tanya Bima lagi. Ia ingin memastikan istrinya benar-benar menikmati pendakian kali ini tanpa mengkhawatirkan apa pun.
“Nggak pa-pa, Mas. Entar pakai jaket aja kalau panas banget,” ujar Giska santai. Sejujurnya, ia sudah tidak begitu memedulikan nasib kulitnya yang ia jaga setengah mati selama ini. Biarlah ia pikirkan masalah itu besok sepulangnya dari pendakian. Untuk sekarang, ia ingin menyatukan diri sepenuhnya dengan alam.
Selesai bersiap-siap, keduanya menuju tempat registrasi. Mereka harus mengurus SIMAKSI alias Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi sehingga pendakian mereka terdaftar secara legal. Mereka juga harus menyerahkan daftar barang-barang yang akan mereka bawa dalam pendakian.
“Bawa kendaraan pribadi, Mas?” tanya lelaki muda yang duduk di belakang meja pendaftaran.
“Iya, saya bawa mobil,” jawab Bima.
“Ada tambahan biaya parkir dua puluh lima ribu rupiah, ya, Mas.” Si penjaga pun menjumlahkan total biaya yang harus dibayar oleh pasutri tersebut. Selanjutnya, mereka akan diberi arahan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama pendakian.
“Nggak bawa kaus warna kuning, kan?” tanya seorang lelaki paruh baya yang bertugas memberi pembekalan pada Bima dan Giska. Lelaki bernama Pak Pram itu menatap pasangan di depannya dengan mata penuh selidik.
“Nggak, Pak. Emangnya, kenapa nggak boleh pakai warna kuning?” tanya Giska penasaran.
Pak Pram tersenyum kecil. “Udah jadi aturan adat masyarakat di gunung sini, Mbak,” jawabnya tanpa menjelaskan lebih detail.
Giska dan sang suami pun mengangguk-angguk. Memang, sudah menjadi kewajiban bagi para pendaki atau siapa pun yang datang ke gunung untuk menghormati kepercayaan yang ada di sana. Alam memiliki kekuatan yang begitu besar dan hebat, jauh melebihi perkiraan manusia. Selayaknya leluhur yang telah ada di muka bumi ini sebelum manusia berdatangan, gunung merupakan tempat yang suci dan keramat. Oleh karena itu, orang tidak boleh sembarangan dalam bersikap ataupun bertutur kata saat berada di sana.
Bima dan Giska kemudian diberi arahan perihal denah jalur pendakian, mulai dari basecamp sampai ke puncak. Pak Pram menunjuk satu titik yang ada di tengah peta. “Di pintu masuk Gajah Mungkur ini, ada beberapa pantangan yang harus kalian ingat. Kalian dilarang meludah, bersiul, buang air, bicara kasar, dan juga nggak boleh bilang kata ‘dingin’.”
Larangan kali ini membuat Giska lebih penasaran lagi ketimbang masalah kaus kuning tadi, tapi ia memutuskan untuk tidak bertanya. Ia akan menuruti saja apa kata sang pemandu. Melanggar aturan yang telah ditetapkan tentu ada konsekuensinya. Giska tidak ingin pendakian yang telah lama ia nantikan ini berakhir dalam bencana.
Tak berselang lama, arahan dari Pak Pram selesai dan ditutup dengan doa bersama. “Wis, sing ati-ati, yo, Mas, Mbak. Saya doakan lancar dan selamat. Sampai ketemu lagi di basecamp ini.” Pak Pram pamit undur diri. Bima dan Giska mengucapkan terima kasih berbarengan.
“Sekarang, kita tinggal tunggu ojek,” kata Bima dengan nada antusias. Semangatnya mulai memuncak, sama seperti sang istri. “Kalau pakai ojek, kita bisa hemat waktu dan tenaga sampai ke pintu rimba.”
“Kalau jalan kaki tadi katanya sampai dua jam lebih, ya?”
“Iya, sementara naik ojek cuma sepuluh menit aja.”
Tepat saat itu, ojek yang mereka tunggu akhirnya datang. Dua lelaki dengan masing-masing motor besarnya berhenti di depan Bima dan Giska. Giska merasakan jantungnya berdebar tidak karuan karena ini pertama kalinya ia akan mencoba naik ojek gunung.
“Taruh sini, Mbak, carrier-nya,” kata si abang ojek. Ia lalu mengatur posisi carrier Giska di depan, sementara perempuan itu naik di boncengan belakang.
“Pegangan yang kenceng, ya, Mbak.”
Permintaan itu bukan tanpa alasan. Begitu motor mulai berjalan, Giska langsung merasa tubuhnya melayang. Perempuan itu nyaris menjerit sepanjang jalan. Bagaimana tidak? Si tukang ojek membawa motornya dengan kecepatan di atas rata-rata! Jalanan yang mereka lewati pun bukan jalan aspal yang mulus, melainkan jalan bebatuan yang licin dan bergelombang.
“Mas, pelan-pelan, dong!” teriak Giska ngeri.
“Nggak bisa, Mbak. Nanjak terus, nih. Kalau pelan takutnya motor saya malah nggak kuat.” Si tukang ojek justru tertawa. Ia sudah terbiasa mendengar jerit ketakutan para penumpangnya. Namun, apa yang ia katakan memang masuk akal. Karena harus membawa beban dua orang ditambah carrier puluhan kilo dalam medan yang menanjak, motor harus terus dipacu dalam kecepatan tertentu. “Santai aja, Mbak. Saya udah jago.”
‘Ya situ enak, pakai helm. Kepalaku, nih! Kalau jatuh wassalam, deh,’ gerutu Giska dalam hati. Ingin rasanya ia merebut helm di kepala si tukang ojek dan memindahkannya ke kepalanya sendiri.
Giska tidak bisa memprotes lagi. Ia hanya bisa pasrah sambil terus memanjatkan doa keselamatan dalam hati. Akan tetapi, lama-kelamaan, ia mulai terbiasa. Pemandangan sawah dan gunung yang tersaji di hadapannya berhasil mengalihkan pikiran perempuan itu. Mana bisa ia mendapat pemandangan seindah ini di kota tempat tinggalnya sekarang? Ia pun perlahan melupakan nasib nyawanya yang sedang dipertaruhkan di atas boncengan ojek.
“Udah sampai.”
Motor yang ditumpangi Giska akhirnya berhenti, disusul oleh ojek yang ditumpangi Bima. Keduanya turun dan menggendong carrier masing-masing.
“Gimana? Seru, kan, naik ojek gunung?” tanya Bima begitu tinggal ia dan Giska berdua di sana. Lelaki itu menyeringai lebar melihat wajah istrinya yang agak pucat.
“Gila! Rasanya kayak mau terbang, Mas!” sahut Giska menggebu, membuat sang suami tertawa. “Tapi, emang seru, sih.”
“Di jalur sebelah malah kita duduk di depan mas-mas ojeknya.”
Mulut Giska kontan menganga. Kedua matanya membulat sempurna. “Serius?” desisnya tak percaya.
Bima mengangguk. “Kemarin, kan, aku naik lewat jalur Garung. Ada ojeknya juga, tuh. Terus, carrier kita yang dibonceng di belakang, kitanya nangkring di depan. Udah pasrah banget rasanya. Jatuh, jatuh, deh.”
Giska ingat Bima pernah bercerita soal pengalaman ojek gunung ini sepulangnya dari Sumbing. Begitu mendengarnya lagi, ia tidak bisa menahan tawa membayangkan suaminya yang bertubuh besar itu dibonceng di depan. “Untung yang di sini masih normal,” ujarnya setelah berhasil meredakan tawa.
Pasutri itu pun berdiri tepat di depan sebuah gapura kecil yang dikenal dengan Gapura Rahayu. Gapura ini merupakan pintu rimba atau tempat dimulainya pendakian Gunung Sumbing. Di bawah nama gapura tersebut, ada tulisan ‘slamet jiwo rogo’ yang memiliki arti ‘selamat jiwa dan raga’.
“Udah siap?” tanya Bima pada sang istri.
Keduanya berpandangan sejenak. Dalam waktu yang bersamaan, mereka pun mengulurkan lengan dan saling berpelukan. Di waktu seperti inilah pasangan suami-istri itu kembali dalam satu frekuensi. Giska memejamkan mata, tenggelam dalam rasa haru. Betapa hebat pengaruh gunung bagi kehidupan mereka. Ia dan Bima telah dipersatukan oleh gunung, kemudian nyaris dipisahkan olehnya, dan kini kembali dipersatukan di depan kemegahannya.
“Semoga, kita bisa selamat sampai di puncak dan seterusnya,” ucap Bima lirih.
“Dan semoga, kita bisa nemu jalan keluar atas permasalahan kita,” kata Giska menimpali.
Bima melepas pelukan mereka dan memberi kecupan singkat di puncak kepala Giska. “Yuk, berangkat!”
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 16)
Halaman : 1 2 Selanjutnya