Novel: A Way to Find You (Part 16)

- Penulis

Jumat, 29 November 2024 - 22:35 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Novel: A Way to Find You (Part 22)

Novel: A Way to Find You (Part 22)

Sebelumnya: A Way to Find You (Part 15)

***

Novel: A Way to Find You (Part 16)
BAB 16

Anak-anak tangga yang terbuat dari tanah dan kayu langsung menyambut kedatangan pasutri itu. Giska menarik napas dalam-dalam. Anak tangga seperti ini memang lebih aman karena mengurangi resiko licin, tapi juga terasa lebih melelahkan daripada tanah miring biasa. Ia melangkah naik lebih dulu. Bima mengikuti di belakangnya agar bisa menyesuaikan kecepatan sang istri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Nggak usah buru-buru, pendakian kali ini santai aja. Kita punya banyak waktu, kok.” Bima mengingatkan berulang kali seolah Giska adalah pendaki pemula. Saking lamanya tidak mendaki bersama, ia sampai lupa bahwa istrinya ini adalah partner tektoknya di masa lalu. Ia dan Giska bahkan pernah mencoba trail running alias lari lintas gunung. Stamina perempuan itu patut diacungi jempol.

Sesuai perkiraan orang-orang di basecamp, langit hari ini tampak cerah. Mereka memasuki Gapura Rahayu pukul delapan lebih dua puluh menit. Masih cukup pagi, tapi matahari sudah terasa menyengat di ketinggian gunung seperti ini. Terlebih, jalur pendakian yang mereka lewati cukup terbuka. Tidak banyak pepohonan tinggi di kanan-kiri jalan setapak. Vegetasi didominasi oleh semak-semak dan pepohonan kecil.

“Pak Pram bilang, kemarin siang ujan deres. Untunglah, tanah jadi nggak berdebu,” ujar Bima setelah lima menit mereka berjalan. “Kalau berdebu, kita terpaksa jaga jarak.”

Giska mengangguk setuju. Tanah yang mereka pijak lumayan lembab. Tidak kering berdebu, tapi juga tidak basah berlumpur dan licin. Suatu keuntungan yang patut disyukuri oleh para pendaki.

Di lima menit pertama ini, Giska mulai merasa napasnya berat. Anak-anak tangga tadi benar-benar menguras tenaga meski tidak terlalu curam. Ia dan sang suami berusaha mengatur kerja paru-paru mereka di setiap langkah. Tidak banyak percakapan yang terjadi. Masing-masing fokus pada setiap pijakan dan tarikan napas.

“Huruf-huruf ini maksudnya apa, Mas? Penanda jalur, ya?” tanya Giska sambil menunjuk sebuah patok kayu di tepi jalur. Di atas tonggak yang tertancap di tanah itu, terpasang papan bertulisan “Blok B”. Beberapa meter sebelumnya, Giska juga melihat ada “Blok A”.

“Kayaknya iya, buat tanda jalur biar pendaki nggak tersesat,” jawab Bima. Di tempat yang agak teduh, keduanya berhenti sejenak untuk mengatur napas. “Gimana? Kuat?”

“Kuat, dong.” Giska menyatukan telunjuk dan jempol kanannya sebagai tanda ‘oke’. Sejak rencana naik gunung ini pertama kali disepakati, Giska sudah berolahraga secara intens. Ia rajin melatih kekuatan tubuhnya, terutama otot kaki. Jarak tempuh segini masih terbilang mudah baginya.

Keduanya pun lanjut berjalan. Semakin tinggi, pemandangan di sekeliling mereka semakin memanjakan mata. Gunung Sindoro dan Gunung Kembang terlihat jelas di kejauhan. Semilir angin sejuk menyapu kulit mereka yang terbuka. Tidak ada suara bising yang memekakkan telinga. Tidak ada udara berpolusi yang menyesakkan dada. Suasana begitu damai dan tenang. Giska tidak kuasa menahan rasa bahagia. Pengalaman ini selalu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Apa yang ia dapat saat ini benar-benar sepadan dengan pengorbanannya melawan terik matahari.

Lebih dari setengah jam sejak mereka memasuki pintu rimba, pasutri itu tiba di tempat istirahat bernama Pos Bayangan. Ada tempat duduk buatan di tepi jalur yang menghadap langsung ke pemandangan kaki gunung. Giska duduk sejenak di sana bersama sang suami.

“Indah banget, ya, Mas,” kata Giska dengan tatap menerawang. Ia menyandarkan tangan dan dagu di atas trekking pole miliknya. “Nggak bosen-bosen lihatnya.”

“Tunggu sampai kamu lihat sabana di pos tiga nanti. Kata orang-orang, di sana keren banget.”

“Ah, iya, bener!” Giska membelalak penuh semangat. “Yuk, lanjut!”

Setelah menyedot air minum melalui water bladder, mereka mulai berjalan lagi. Kali ini, Bima memimpin di depan. Tapak demi tapak mereka lalui dengan kecepatan stabil. Sampai saat ini, mereka belum bertemu pendaki lain yang lewat. Tidak terdengar juga pantulan suara orang-orang dari atas. Mereka benar-benar hanya berdua di alam seluas itu.

“Awas, ati-ati, ada pohon ambruk.” Mendadak, Bima membalikkan badan. Mereka tengah melewati jalur yang agak landai, tapi ternyata ada sebatang pohon kecil yang tumbang. Posisinya melintang menghalangi jalan. Bima mengulurkan tangan ke arah istrinya. “Sini, pegangan.”

Giska mengulum senyum. Sebenarnya, ia lebih dari mampu untuk melewati pohon itu sendiri, tinggal melangkah saja ke seberang. Namun, perhatian kecil dari sang suami benar-benar membuatnya senang. Ia seolah tengah menaiki mesin waktu dan mengulang lagi kenangan-kenangan indah pendakiannya bersama Bima. Sosok Bima yang ia lihat saat ini persis sama dengan sosok Bima di masa lalu, hangat dan penuh perhatian.

Dengan berpegangan pada tangan suaminya, Giska pun melewati pohon tumbang tersebut. Tidak lama kemudian, mereka tiba di pos pertama.

“Masih kuat, kan, ya? Istirahat bentar aja di sini,” kata Bima, yang disetujui oleh sang istri.

Area pos satu tidak terlalu luas, tapi lumayan teduh oleh pepohonan. Tidak ada orang lain di sana selain mereka. Pasutri itu duduk sebentar melepas penat sambil makan camilan. Tidak terasa, sudah satu setengah jam mereka mendaki. Setelah keringat di tubuh agak mengering, keduanya melanjutkan perjalanan.

Jalur menuju pos dua kurang lebih masih sama seperti tadi. Tidak banyak hutan dan pepohonan. Udara memang semakin dingin, tapi tetap saja matahari terasa menyengat kulit. Giska mulai menyesal tidak mengikuti saran Bima untuk memakai kaus berlengan panjang.

“Gis, ada potong jalur, nih. Mau coba, nggak?” Bima tiba-tiba menunjuk ke jalur kecil yang menanjak curam di sebelah kiri mereka.

Giska menggeleng. “Kamu aja, Mas. Aku tetep lewat sini, deh,” tolaknya. Ia tidak ingin mengambil resiko kehabisan tenaga dengan memotong jalur. Lebih baik ia berjalan sedikit memutar, tapi tetap di medan yang landai.

“Oke. Aku tunggu di atas, ya! Kamu ati-ati!” Dengan semangat, Bima pun membelokkan langkah keluar dari jalur utama dan mulai naik ke atas. Giska yang melihat tingkah suaminya hanya bisa tersenyum. Lelaki itu benar-benar dilahirkan untuk menaklukan gunung. Gerakan tubuhnya begitu lincah seolah ia tidak membawa beban puluhan kilo di punggungnya.

Baca Juga:  Novel : Bertahan di Atas Luka Part 23

Giska melanjutkan perjalanan seorang diri. Langkahnya mantap dan stabil. Trekking pole yang ia beli kemarin benar-benar membantu. Tidak sia-sia ia merogoh kocek agak dalam demi membeli tongkat ini.

Di tengah perjalanan, telinganya mendadak mendengar sesuatu. Giska otomatis menghentikan langkah dan menoleh. Ia merasa ada sesuatu di belakangnya, entah apa. Namun, matanya tidak menangkap apa pun. Perempuan itu mengerutkan kening.

‘Aneh. Kayak ada suara tadi.’

Giska menyimpulkan suara itu hanya semak yang tertiup angin atau binatang yang lewat. Baru beberapa meter berjalan, lagi-lagi ia mendengar suara di belakangnya. Kali ini seperti langkah kaki. Giska yakin ia tidak salah dengar. Ia tidak mungkin salah mengenali suara sepatu yang beradu dengan tanah.

“Mas?” Secara refleks, Giska memanggil sang suami. Ia mengira suaminya itu batal memotong jalur dan menyusulnya. Akan tetapi, tidak terdengar jawaban apa pun.

“Mas!” panggil Giska lebih keras.

“Ya, Gis? Aku udah mau sampe, nih!” Bima balas berseru di kejauhan. Suaranya terdengar dari arah atas, menandakan posisi lelaki itu memang lebih tinggi darinya. Lalu, suara langkah siapa tadi di belakangnya?

Hawa dingin tiba-tiba membelai tengkuk Giska. Perempuan itu bergidik. Ia pun mempercepat langkah agar segera bertemu kembali dengan sang suami. Beruntung, jaraknya tidak terlalu jauh. Ia mendengar Bima kembali memanggilnya. Suaranya sudah lebih dekat. Tak lama kemudian, ia melihat lelaki itu berdiri menunggunya di depan.

“Kok, cepet banget?” tanya Bima sedikit heran. Ia tidak tahu kalau Giska nyaris berlari setelah mendengar langkah kaki tanpa wujud itu.

Giska hanya menyeringai. “Deket, kok,” kilahnya.

Mereka pun kembali berjalan bersama. Giska memilih untuk memimpin di depan. Setelah melewati patok bertuliskan “Blok G”, keduanya memasuki sebuah hutan kecil. Giska mengembuskan napas lega ketika akhirnya melewati area yang teduh. Meski jaraknya tidak terlalu panjang, setidaknya bisa membuat kulitnya terasa sedikit sejuk.

Jalur pendakian kebanyakan dibuat dalam bentuk zigzag sehingga tidak terlalu curam. Para pendaki tidak harus melewati tanjakan ekstrem yang menguras tenaga meski perjalanan jadi lebih panjang. Pohon-pohon pakis tumbuh dengan subur di tepi jalur. Semak dedaunan tampak menghijau oleh guyuran air hujan. Pemandangan di sekitar mereka benar-benar menyejukkan.

Pasutri itu akhirnya tiba di pos kedua sekitar pukul setengah dua belas siang.

“Kita mau istirahat makan di sini atau di depan aja nanti?” tawar Bima.

“Istirahat di sini aja, deh, Mas. Enak, nih, tempatnya. Pemandangannya juga bagus.”

Begitu melepas carrier, Giska mengerang merasakan tubuhnya terbebas dari beban berat itu. Ia meregangkan otot, sementara Bima duduk dan mengeluarkan bekal makan siang mereka. Di pos dua ini, terdapat permukaan tanah yang rata dan bisa digunakan untuk camping. Namun, saat itu sepi tidak ada pengunjung. Mereka hanya sempat berpapasan dengan dua orang pendaki yang baru saja turun.

Bima dan Giska menghabiskan waktu hingga lewat tengah hari di pos dua yang dikenal dengan nama Kazu Sawa. Puas beristirahat, keduanya membereskan sampah-sampah sisa makanan dan minuman, kemudian meninggalkan pos tersebut. Kabut sudah mulai turun, menambah sejuk hawa di sekitar mereka. Matahari tidak lagi terlihat karena tertutup awan. Perjalanan pun semakin menyenangkan dengan tidak adanya anak-anak tangga yang membuat lutut sakit.

“Gis, mules, nih,” kata Bima setelah berjalan beberapa menit.

Giska mendengus. “Tadi pagi ngeyel, sih. Dibilang jangan makan sambel terongnya.”

Bima meringis bersalah. “Abisnya enak.”

“Ya udah, sana. Cari tempat. Aku tunggu di sini.”

Sepeninggal sang suami, Giska mulai berjalan-jalan mengamati area sekitar. Kalau tidak salah, ada sumber mata air tidak jauh dari sini. Pak Pram bilang airnya aman untuk dikonsumsi saat musim hujan karena mengalir dari atas. Sementara saat musim kemarau, biasanya air akan berubah keruh dan mengering.

Giska tanpa sadar berjalan agak jauh ke depan. Ia melihat ada sebuah turunan yang lumayan curam. “Itu, ya, mata airnya?” gumamnya seraya melihat ke ceruk bebatuan yang ada tepat di bawah turunan. Giska gatal ingin turun dan melihat langsung sumber air tersebut. Namun, karena nanti toh ia akan melewati jalur itu bersama Bima, ia pun memutuskan untuk menahan rasa penasarannya.

Baru saja Giska membalikkan badan, tiba-tiba ia mendengar suara air berkecipak. Suara itu berasal dari sumber mata air yang tadi ia lihat di kejauhan. Giska kontan menoleh. Namun lagi-lagi, ia mendapati area di sekitarnya kosong. Tidak ada orang atau hewan sama sekali, terutama di dekat mata air.

‘Apa, sih?’ batin Giska kesal sekaligus penasaran. Kenapa dari tadi ia mendengar suara-suara aneh tanpa sumber yang jelas?

Giska pun memutuskan untuk cepat-cepat kembali ke tempat ia berpisah dengan sang suami. Tampak lelaki itu sudah selesai menunaikan hajat dan tengah celingukan mencari sang istri. 

“Dari mana, Gis?” tanya Bima begitu melihat Giska berjalan mendekat.

“Cuma lihat-lihat. Di depan sana ada turunan lumayan tinggi.”

“Oh, ya?”

Apa yang dikatakan sang istri ternyata benar. Bima berjalan lebih dulu menuruni jalur, kemudian menunggu sang istri di bawah. “Pelan-pelan.” Ia tetap mengulurkan tangan meski tahu sang istri sudah berpegangan pada trekking pole.

Keduanya pun sampai di depan sumber mata air. Giska membelalak senang. Benar kata Pak Pram, airnya cukup jernih karena saat ini sedang musim hujan. Ia segera meletakkan carrier-nya, mengambil sebuah botol kosong, lalu berjongkok untuk mengisi air.

“Seger banget!” desahnya puas begitu menyiram wajahnya dengan air pegunungan tersebut. Ia kembali berjongkok, berniat mengambil air lagi untuk sang suami. Namun, tiba-tiba Giska merasa ada seseorang yang mendorong punggungnya.

***

Selanjutnya: A Way to Find You (Part 17)

Follow WhatsApp Channel www.redaksiku.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Novel Hitam Putih Pernikahan (Bab 16)
Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 15)
Novel: Padamu Aku Akan Kembali (Part 7)
Novel : Senja Membawamu Kembali ( Tamat)
Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 30)
Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 29)
Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 28 )
Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 27 )

Berita Terkait

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:41 WIB

Novel Hitam Putih Pernikahan (Bab 16)

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:38 WIB

Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 15)

Jumat, 6 Desember 2024 - 14:25 WIB

Novel: Padamu Aku Akan Kembali (Part 7)

Senin, 2 Desember 2024 - 11:23 WIB

Novel : Senja Membawamu Kembali ( Tamat)

Senin, 2 Desember 2024 - 11:13 WIB

Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 30)

Berita Terbaru

Gempa Vanuatu Merusak Gedung Kedubes AS dan Prancis

Bencana

Gempa Vanuatu Merusak Gedung Kedubes AS dan Prancis

Selasa, 17 Des 2024 - 14:47 WIB