Sebelumnya: A Way to Find You (Part 17)
***
Novel: A Way to Find You (Part 18)
BAB 18
“Mas?” Giska langsung bangkit duduk begitu menyadari ia sendirian di dalam tenda. Saat mengecek smartwatch, waktu baru menunjukkan pukul setengah dua malam. “Mas Bima?” panggilnya lagi, berharap sang suami ada di luar tenda. Namun, tidak ada jawaban. Suara gamelan tadi juga mendadak tak terdengar lagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Giska akhirnya memutuskan untuk menunggu. Mungkin, suaminya itu sedang buang air. Sepuluh, dua puluh menit, tidak ada tanda-tanda Bima akan kembali. Giska makin resah. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia pun menyalakan lampu portabel untuk menerangi tenda, kemudian mengambil senter dan memakai topi serta sarung tangannya.
Udara di luar sangat dingin hingga mampu menembus lapisan pakaian yang Giska kenakan. Sejenak, ia harus menyesuaikan matanya dengan kegelapan. Ia melihat ada dua tenda lain selain milik mereka, tapi jaraknya agak jauh. Giska mengarahkan senter ke sekeliling. “Mas?”
Ia mulai berjalan setapak demi setapak untuk mencari keberadaan sang suami. Hatinya cemas setengah mati. Bagaimana bisa Bima tiba-tiba menghilang seperti ini?
‘Ah, nggak! Nggak mungkin!’ Giska mengusir jauh-jauh bayangan suaminya yang tengah tersesat atau terjatuh di suatu tempat. Bima lebih ahli dalam menguasai medan ketimbang dirinya. Lelaki itu memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam menjelajah alam. Meski tidak menutup kemungkinan karena hari sial memang tidak ada di kalender, Giska punya firasat bukan itu yang terjadi.
“Mas!” Ia memanggil lebih keras. Masa bodoh kalau orang-orang di tenda sebelah bisa mendengar teriakannya. Kakinya melangkah makin cepat. Ia menyusuri jalan setapak yang terus menanjak di samping area camp sambil menyorotkan senter ke sana kemari. Saat tiba di perbatasan di mana area camp akan berakhir, langkahnya terhenti. Ia terlalu takut untuk keluar dari area ini sendirian. Giska memutuskan untuk mencari di ruas yang berseberangan dengan jalurnya tadi.
“Mas! Mas Bima!” Giska kembali memanggil-manggil suaminya. Suaranya bergaung di tengah keheningan malam. Bulan dan bintang tidak lagi tampak di atas sana. Langit telah tertutup oleh awan hitam. Tubuh Giska pun mulai gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena takut ia tidak bisa menemukan sang suami.
Giska menahan air mata. Kepanikan telah menguasai pikirannya. Otaknya dipenuhi skenario-skenario buruk yang mungkin terjadi pada Bima.
Gara-gara mendengar teriakan dan suara langkah Giska yang tergesa, seorang lelaki akhirnya keluar dari salah satu tenda. “Kenapa, Mbak?” tanyanya sambil setengah berlari menghampiri Giska.
“Ng, anu … Saya lagi cari suami saya, Mas.” Giska menatap lelaki asing itu dengan tatapan meminta pertolongan. “Tadi, dia tidur sama saya di tenda. Begitu saya bangun, dia udah nggak ada. Udah saya tungguin setengah jam, tapi nggak balik-balik.”
“Oke, Mbak tenang dulu. Tarik napas,” ujar lelaki yang terlihat masih muda itu. Ia tidak tega melihat raut wajah Giska yang kalut setengah mati. “Mbaknya udah cari di mana aja?”
“Saya udah muter di bagian sana tadi,” tunjuk Giska ke arah tendanya sendiri.
“Kita cari bareng bagian sini. Nama suami Mbak siapa?”
“Bima, Mas.”
Berdua dengan pendaki baik hati itu, Giska pun menyusuri bagian timur dan utara area camp. Mereka memanggil-manggil nama Bima berulang kali. Setelah hampir lima menit, mendadak Giska mendengar pendaki tadi memanggilnya.
“Mbak! Mbak!”
Giska spontan berlari mendekat. Si pendaki yang Giska tidak tahu namanya itu mengarahkan senter ke sebuah pohon yang terletak agak di pojok atas. “Itu suami Mbak?”
Giska ikut menyorotkan senternya ke pohon tersebut. Kedua matanya membelalak. Ternyata benar. Ia melihat sosok lelaki yang sangat ia kenal tengah berdiri membelakangi mereka. Posisinya menghadap ke pohon, nyaris menempel pada batangnya yang kurus. Tubuh lelaki itu diam tak bergerak.
“Mas Bima!” jerit Giska, lega sekaligus khawatir. Apa yang sedang dilakukan suaminya itu di sana?
Giska berlari cepat hingga nyaris tersandung. Begitu sampai di dekat Bima, ia meraih kedua lengan lelaki itu dan membalikkan badannya. “Mas Bima ngapain, sih, di sini?” bentak Giska marah.
Namun, sang suami bergeming di tempat. Tatapannya tampak tidak fokus. Giska sampai harus mengguncang tubuh lelaki itu untuk menyadarkannya. “Hei, Mas? Mas Bima!”
Belum sempat mendapat jawaban, Giska tiba-tiba mendengar suara gemerisik dedaunan tidak jauh dari mereka. Refleks ia menoleh. Di tengah kegelapan, matanya menangkap sesosok bayangan berjalan keluar dari jalur dan menghilang di tengah semak belukar. Giska menyorotkan senter ke semak tersebut, tapi bayangan tadi sudah menghilang.
‘Kok, kayak ada cewek, ya, barusan?’ batin Giska. Ia sempat melihat sosok berambut hitam panjang yang dikepang rapi. Postur tubuhnya normal layaknya seorang manusia biasa. Namun, karena gelap, ia tidak meyakini penglihatannya sendiri.
Giska memutuskan untuk tidak berlarut memikirkan hal yang tidak pasti. Ada urusan yang lebih gawat saat ini. Perhatiannya pun kembali beralih pada sang suami.
“Mas Bima kenapa?” tanyanya khawatir. Di depannya, Bima masih berdiri seperti orang linglung.
“Gimana, Mbak? Suaminya nggak pa-pa?” tanya pendaki yang tadi membantu Giska. Rupanya, ia sudah tiba di dekat mereka.
“Nggak pa-pa, Mas. Cuma ngelindur paling, terus nggak sadar jalan sampai sini. Makasih banyak, udah bantuin saya.”
Mereka pun sempat berkenalan. Pendaki tadi rupanya bernama Rizki, asal Solo. Ia sedang dalam perjalanan turun dari puncak dan sengaja bermalam di sini bersama dua orang temannya.
“Kalau butuh bantuan, jangan sungkan bilang ke saya, Mbak. Tenda saya yang oranye itu, tuh,” tunjuk Rizki pada tendanya.
Giska tersenyum. Inilah alasan lain kenapa ia suka mendaki. Orang-orang yang ditemuinya di gunung selalu baik dan ramah. Para pendaki tidak pernah ragu untuk menolong satu sama lain. Meski tidak saling mengenal, rasa kekeluargaan mereka begitu tinggi pada sesama pecinta alam. “Oke, Mas. Saya balik dulu ke tenda. Sekali lagi, makasih banyak, ya.”
Giska menuntun sang suami kembali ke tenda mereka. Bima masih juga tak bersuara. Giska mendudukkan Bima di dalam tenda, lalu memakaikannya jaket tebal. Sekujur badan lelaki itu terasa dingin. Kedua pipinya membeku seperti es. Entah sudah berapa lama suaminya itu berdiri di luar sana.
Giska melepas sarung tangan dan menempelkan telapak tangannya ke pipi Bima. Ia berharap bisa menyalurkan sedikit saja kehangatan tubuhnya pada sang suami. “Masuk ke sleeping bag aja, ya, Mas. Aku buatin cokelat panas.”
Giska menahan diri untuk tidak mengomeli sang suami. Melihat tubuh lelaki itu menggigil pelan membuat rasa khawatir kembali menyelimuti hati. Biarlah ia mendengar alasan Bima nanti. Giska buru-buru merebus air. Ia menyeduh secangkir cokelat panas dan menuangkan sisa air rebusan ke dalam kantung kompres.
“Minum dulu, Mas.” Giska membantu Bima duduk. Sembari satu tangannya membantu memegangi cangkir, tangan yang lain ia gunakan untuk menempelkan kantung kompres di dada dan leher Bima. Giska takut setengah mati karena suaminya itu mulai menunjukkan tanda-tanda hipotermia. Ia berusaha memberi pertolongan pertama sesuai pengetahuannya.
“Abisin, biar perut sama badan kamu anget.”
Giska menunggu hingga Bima menghabiskan minumannya. Setelah itu, ia membungkus kepala hingga telinga Bima dengan beanie, serta melilitkan syal rajut tebal di lehernya. Kantung kompres ia letakkan di atas dada lelaki itu sembari Bima berbaring di dalam sleeping bag.
Di jam-jam berikutnya, Giska tidak tidur lagi. Ia hanya duduk mengawasi sang suami sepanjang malam. Rasa kantuk terkalahkan oleh rasa cemas. Ia tidak mau lengah. Ia khawatir kalau tiba-tiba kondisi Bima semakin memburuk.
‘Kenapa semuanya jadi begini? Perasaan, semuanya baik-baik aja sampe sore tadi,’ pikir Giska berulang kali. Ia mulai mempertanyakan keputusannya lagi. Kalau tahu jadinya akan seperti ini, lebih baik ia tidak pernah mengusulkan pendakian ini pada sang suami.
“Gis?” panggil Bima tiba-tiba.
Giska tersentak. Ia segera mendekati lelaki itu. “Ya, Mas?”
“Gis! Giska!” Rupanya, Bima masih belum tersadar. Kedua matanya terpejam rapat, tapi bibirnya meneriakkan nama sang istri. Keningnya berkerut seolah tengah menahan rasa tidak nyaman.
Giska menepuk pipi Bima untuk membangunkannya. “Mas, sadar, Mas!”
Kali ini, Bima justru mengerang kesakitan. Lelaki itu tidak kunjung siuman. Air mata meluncur di pipi Giska. Ia panik, tidak tahu harus berbuat apa selain berdoa dalam hati. Dipeluknya tubuh Bima dari luar kantung tidur dan diusapnya berulang kali.
“Aku di sini, Mas. Aku di sini,” bisiknya dalam isakan. Usahanya ternyata membuahkan hasil. Perlahan, Bima kembali tenang dan berhenti meracau.
Giska berusaha meredakan isak tangisnya. Ia memeriksa suhu badan Bima. Masih dingin, tapi tidak separah tadi. Napasnya juga sudah mulai teratur. Perempuan itu mengembuskan napas lega.
Giska merebus air lagi untuk mengganti isi kantung kompres supaya tetap hangat. Sambil menunggu air mendidih, ia mulai membereskan barang-barangnya. Ia tidak peduli pada puncak Sumbing yang tinggal selangkah lagi. Ia harus membawa Bima turun secepatnya sebelum situasi semakin parah.
Saat itu sudah hampir pukul lima pagi. Hari memang masih gelap, tapi paling tidak matahari akan muncul sebentar lagi. Giska sudah selesai berkemas. Tinggal melipat tenda dan kantung tidur yang masih digunakan oleh Bima. Ia pun memantapkan diri sebelum melangkah menuju tenda oranye milik pendaki yang menolongnya semalam.
“Oh, Mbak Giska? Gimana, Mbak?” Kebetulan, Rizki yang keluar dari tenda. Wajahnya yang semula masih mengantuk langsung berubah siaga begitu melihat Giska.
“Mas, tolongin saya,” pinta perempuan itu mengiba.
***
Rizki, Gilang, dan Malik merupakan tiga orang mahasiswa tingkat akhir yang bersahabat sejak dulu. Ketiganya tergabung dalam organisasi pecinta alam di kampus, dan ini sudah kedua kalinya mereka mendaki di Sumbing. Rencananya, mereka baru akan turun sekitar pukul tujuh nanti. Namun, karena tiba-tiba ada seorang perempuan yang meminta bantuan, ketiganya pun segera berdiskusi.
“Kalau menurutku, dua dari kita turun, terus panggil bantuan. Sementara yang satu nemenin Mbak Giska di sini,” usul Gilang.
“Ah, kelamaan. Harus bolak-balik. Mending kita lihat kondisi suaminya dulu. Kalau memungkinkan, kita turun bareng-bareng aja sambil bantuin mereka,” sahut Malik. “Gimana menurutmu, Ndol?”
Rizki, yang sering dipanggil ‘Cendol’ oleh kawan-kawannya gara-gara kecintaannya pada minuman itu, lebih menyetujui usul Malik. “Kita ke tenda Mbak Giska sekarang.”
Mereka berbondong-bondong menyusul Giska dan meminta izin untuk melihat kondisi Bima. Giska pun mempersilakan. Malik, yang memiliki pengetahuan lebih tentang kesehatan, segera memeriksa Bima. Ia mengecek suhu tubuh dan juga tingkat kesadaran lelaki itu. Setelah menimbang-nimbang sejenak, ia mendongak menatap teman-temannya.
“Aman,” ujarnya sambil mengacungkan jempol. “Mbak, kita turun bareng-bareng sekarang, ya? Kalau kelamaan diem di sini juga nggak baik buat Mas Bima.”
Giska mengangguk. Ia menurut saja pada keputusan para penolongnya.
Malik pun mulai memberi arahan. “Ndol, karena badanmu paling kuat dan gede, tugasmu gendong Mas Bima. Aku sama Gilang yang bakal double carrier nanti. Mbak Giska fokus bawa barang-barang punya Mbak aja. Sebelum itu, kita kosongin dulu botol-botol air yang sekiranya nggak perlu, biar nggak terlalu berat.”
Mereka semua mulai bergerak. Sementara ketiga lelaki tadi membereskan tenda mereka, Giska membantu Bima bangun dari kantung tidurnya. Tubuh lelaki itu sudah menghangat, tapi masih tampak tak berdaya. Wajahnya kuyu. Kesadarannya juga belum sepenuhnya pulih.
“Kita turun sekarang, Mas. Kamu harus kuat, ya,” pinta Giska sambil merapatkan syal di leher sang suami. Ia berusaha terlihat tegar meski perasaannya porak-poranda. Baru pertama kali ia melihat Bima selemah ini.
Giska sama sekali tidak menyangka bahwa pendakian mereka waktu itu akan berakhir dalam petaka.
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 19)
Halaman : 1 2 Selanjutnya