Sebelumnya: A Way to Find You (Part 1)
***
BAB 2
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bima tidur bagaikan orang mati seharian ini.
Giska duduk di tepi tempat tidur, sedikit ragu untuk membangunkan Bima. Melihat wajah damai sang suami membuatnya tidak tega untuk mengusik. Tapi masalahnya, Bima sudah tidur dari pagi tadi sehabis mandi. Sampai kini hampir pukul dua siang, lelaki itu belum bangun juga. Giska khawatir karena Bima belum makan apa pun sejak tiba di rumah sepulang pendakian.
Akhirnya, dengan halus, Giska mengusap rambut suaminya. “Mas, bangun. Udah siang.”
Bima menunjukkan sedikit reaksi, tapi kelopak matanya masih tertutup rapat. Terdengar gumaman tidak jelas dari mulutnya.
“Mas, ayo makan dulu. Kamu belum sarapan, lho, dari pagi.” Giska beralih mengguncang tubuh suaminya.
Akhirnya, Bima mulai terbangun. Giska diam-diam tersenyum lega. “Pasti kamu capek banget, ya? Yuk, makan dulu. Entar aku pijitin.”
Begitu Bima bangkit duduk sambil mengucek mata, Giska beranjak dari tempat tidur, berniat untuk menurunkan suhu AC karena siang ini terasa panas sekali. “Aku udah bongkar carrier kamu tadi. Udah aku simpen lagi semua barang di tempat bia–”
“Gis?”
Lengan Giska tertahan, begitu juga dengan sisa kalimatnya. Tangannya belum sempat meraih remote AC yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Detik berikutnya, tubuh perempuan itu tertarik mundur hingga jatuh ke pangkuan sang suami.
“Mas!” pekik Giska, tidak siap menerima tindakan Bima yang begitu tiba-tiba.
Tanpa menghiraukan kekagetan Giska, Bima mengurung sang istri dalam pelukan. Napasnya mendadak memburu tak beraturan. Ia menyurukkan wajah ke lekukan antara bahu dan leher Giska.
“Mas Bima kenapa?” Giska berusaha tidak melawan meski pelukan Bima terlalu erat di tubuhnya. Ia juga tidak bisa balas merengkuh suaminya karena kedua tangannya tertahan di samping.
“Sumbing indah banget, Gis.”
“Hah?”
“Sumbing indah banget,” bisik Bima, mengulang perkataannya.
Sejenak, Giska membisu. Otaknya tidak mampu mencerna sikap dan perkataan Bima yang di luar nalar. ‘Mas Bima lagi ngigau atau gimana, sih?’
“Aku mau ke sana lagi,” ujar Bima setelah keheningan mengisi ruang di antara mereka selama beberapa detik. “Aku harus kembali ke sana.”
Baiklah, bisa dipastikan lelaki ini belum sepenuhnya sadar dari tidurnya. Giska mengangguk memaklumi. Mungkin, Gunung Sumbing memberi kesan yang begitu dalam bagi Bima, hingga ia masih dihantui oleh keindahannya bahkan sampai ke alam mimpi. Lihat saja. Tadi pagi, lelaki itu mengeluh kelelahan, sampai-sampai tertidur lelap seperti orang pingsan. Namun sekarang, ia bilang ingin mendaki lagi ke sana.
“Next time, kita ke Sumbing berdua,” janji Giska. “Sekarang, kamu bisa cerita ke aku tentang pendakian kemarin sambil makan. Yuk!”
Barulah lengan Bima perlahan terurai dari tubuh Giska. Giska bisa melihat tatapan mata lelaki itu masih setengah kosong.
“Mending kamu cuci muka dulu, deh, Mas. Aku siapin nasinya.”
Sepeninggal sang istri, Bima duduk merenung tanpa bergeser dari posisi awalnya di atas tempat tidur. Tanpa sadar, tangan kanannya terangkat ke dada. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, jauh di dalam dirinya. Ia juga menyadari ada setitik perasaan asing kepada Giska, perempuan yang ia cintai sepenuh hati.
Pandangannya kemudian melayang ke penjuru kamar. Ruangan bernuansa putih gading dengan lantai vinyl kayu ini sudah menjadi tempat ternyamannya selama setahun belakangan. Ia dan Giska memang baru pindah ke rumah ini sekitar satu tahun yang lalu. Lokasinya berada di kawasan perumahan cluster daerah Tangerang Selatan. Meski tidak terlalu besar, rumah ini sudah menjadi surga pribadinya, setelah sebelumnya ia dan Giska hidup di kontrakan.
Namun kini, Bima tidak menemukan kenyamanan yang sama di kamar tempatnya berbagi cinta dengan sang istri. Tembok-tembok kamar ini seolah menyudutkannya, mengurung jiwanya yang ingin bebas, lepas. Ia ingin berlari sekencang mungkin, jauh dari tempat hatinya bersemayam selama ini.
Kemudian, wajah seorang wanita tiba-tiba tergambar dalam benaknya. Bukan Giska, melainkan seorang wanita berparas ayu nan anggun, dengan latar Gunung Sumbing yang megah di belakangnya. Senyumnya yang menawan serta tutur katanya yang lemah lembut begitu menyejukkan hati. Kepada wanita itulah, Bima ingin kembali.
***
Giska mengatur posisi ponsel agar kamera menyorot tepat pada wajahnya. Tidak lupa, ia menyalakan ring light untuk menyempurnakan pencahayaan selama proses rekaman. Lampu ruangan ini sudah terang-benderang, tapi Giska tetap memerlukan cahaya tambahan agar tampilan wajahnya di kamera terlihat lebih halus dan cerah.
Satu kali dalam sebulan, Giska rutin melakukan siaran langsung di akun Instagram pribadinya. Ia akan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para penggemar, sembari mengaplikasikan produk-produk perawatan wajah miliknya. Sesi tanya-jawab inilah yang membuat ia makin terkenal di kalangan pengikutnya. Mereka merasa bisa mengenal Giska secara lebih dekat.
Sebelum menutup pintu ruang kerja yang merangkap sebagai studio rekaman, Giska melihat Bima keluar dari dapur dengan membawa secangkir teh di tangan. Kebetulan sekali.
“Mas, aku live IG dulu, ya,” pamit Giska seperti biasa. “Tidur dulu aja kalau ngantuk.”
Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut Bima. Lelaki itu hanya mengangguk satu kali, kemudian meneruskan langkah ke arah tangga menuju kamar mereka di lantai dua.
Giska kontan melotot dengan mulut ternganga. “Apa, sih? Jutek banget,” dengusnya kesal. Di hari-hari yang lalu, Bima pasti akan memberinya pelukan atau ciuman, atau paling tidak memberinya jawaban yang terdengar manis di telinga. Kenapa sekarang lelaki itu tampak begitu cuek?
Sayang, Giska tidak punya waktu untuk memperdebatkan tindakan suaminya. Ia harus segera memulai siaran langsung sebelum malam terlalu larut. Begitu duduk di depan kamera, Giska menarik napas panjang-panjang. Senyum ramah secara otomatis muncul di bibirnya. Tidak terlihat sedikit pun tanda-tanda bahwa hatinya sedang gundah gara-gara kelakuan sang suami.
“Halo! Halo! Yuk, ngumpul dulu! Kita mulai acara ‘Nongkrong Manis’ sebentar lagi.”
Siaran langsung telah dimulai. Sembari mempersiapkan produk-produk skincare yang hendak ia pakai, Giska memberi waktu tambahan bagi para penonton untuk berkumpul terlebih dahulu. Angka di layar ponselnya terus naik secara drastis. Tidak butuh waktu lebih dari satu menit, Giska berhasil mengumpulkan hampir lima ribu penonton.
“Halo, kembali lagi sama aku, Anggiska Putri Bethari! Udah pada ngumpul, kan? Waah, rame juga. Oke, seperti biasa, malam ini, kalian akan nemenin aku skincare-an, sambil kita ngobrol-ngobrol cantik. Silakan tanya di kolom live-chat, entar aku pilih pertanyaan acak dari kalian.”
Layar ponsel sang beauty influencer langsung dibanjiri ratusan hingga ribuan pertanyaan. Pusing, memang. Tapi Giska sudah terbiasa dengan antusiasme para penggemarnya. Di antara banyak pertanyaan, terselip juga pujian-pujian kepada perempuan berusia 29 tahun itu.
“‘Kak Giska pakai produk perawatan apa buat rambutnya?’” Giska membacakan satu pertanyaan terpilih dari kolom komentar. “Sebelum keramas, aku selalu pakai hair oil dengan kandungan rosemary atau minyak kelapa. Dipakai ke kulit kepala sama batang rambut, terus diemin minimal satu jam. Dijamin, rambut kalian badai, anti rontok,” jawab Giska sambil mengaplikasikan toner pada wajahnya. Tidak lupa, ia menyebutkan merek skincare yang tengah ia pakai.
“Besok aku upload ke story, deh, produknya. Ngomong-ngomong soal rambut, rambut aku kan udah panjang, nih. Aku pingin deh, kasih ombre di bagian ujungnya. Menurut kalian, cocok nggak kalau aku warnain pakai biru metalik?”
Giska berinteraksi dengan penontonnya seperti mengobrol bersama teman sendiri. Usai membahas soal rambut, ada salah satu penonton yang menanyakan hobinya.
“Hobi aku, ya? Mm … untuk sekarang, aku nggak ada hobi spesifik, sih. Paling olahraga sama belanja. Kalau dulu, aku suka banget naik gunung,” kata Giska. Membahas soal pendakian membuat perempuan itu teringat lagi pada suaminya. “Aku pernah cerita ke kalian, kan? Aku sama suami pertama kali ketemu pas kita naik Gunung Semeru, zaman kuliah semester tiga atau empat, gitu. Karena kebetulan hobi kita sama, ngobrol juga nyambung, akhirnya pacaran, deh.”
Giska tertawa kecil mengingat memori indah antara ia dan Bima, ditambah komentar-komentar lucu dari penggemarnya. “Tapi semenjak nikah, aku udah jarang banget naik gunung. Hampir nggak pernah, malah. Kalau suami masih tetep, sih. Biasanya lima atau enam bulan sekali dia pasti hiking.”
-Kenapa, Kak?
-Kenapa?
-Kok nggak pernah lagi? Padahal keren, cewek suka naik gunung.
Komentar-komentar penuh tanya langsung berhamburan. Giska mengerucutkan bibir, seolah berpikir sejenak. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengungkapkan alasan terpendamnya, yang bahkan belum pernah ia utarakan di depan sang suami. Ia yakin para penggemarnya akan memahami perasaannya.
“Sebenernya, bukan karena aku udah nggak suka atau males. Aku juga kangen naik gunung,” ujarnya memulai, kali ini sambil memakai serum khusus untuk memudarkan kantung mata. “Tapi, karena sekarang aku udah jadi istri orang, aku pingin selalu tampil maksimal di depan suami. Kalau kalian ngikutin aku dari awal, pasti kalian tahu dulu aku dekil banget. Iya, kan? Nah, aku nggak mau kayak dulu lagi. Item, kucel, jerawatan. Apalagi setelah tahu kulit aku sensitif, nggak bisa kena matahari kelamaan. Jadi, aku benar-benar ngebatasin aktivitas outdoor, terutama naik gunung.”
Berbagai tanggapan ditulis oleh penonton usai Giska selesai berkata. Karena sebagian besar penggemarnya berjenis kelamin perempuan, banyak dari mereka yang mendukung keputusan Giska, walau ada juga yang menyayangkan.
“Suamiku? Aku rasa dia nggak keberatan, kok,” jawab Giska pada salah satu pertanyaan penonton. “Toh aku ngelakuin ini demi dia. Kalau kalian mau tahu, semua perawatan ini awalnya aku lakuin buat dia juga. Sebelum nikah, aku secuek itu sama penampilan. Boro-boro pakai skincare. Cuci muka aja jarang-jarang. Terus, abis lamaran, aku mulai coba pakai produk-produk perawatan, biar pas nikahan tampil agak cakep, gitu. Eh, sampai sekarang malah ketagihan.”
Giska sedikit bergidik membayangkan dirinya di masa lalu. Ia masih tidak habis pikir, bagaimana bisa Bima tertarik padanya? Seorang perempuan yang jauh dari kata anggun, lebih suka nongkrong di puncak gunung ketimbang mal, dan lebih sering bau matahari daripada wangi parfum. Kalau melihat foto-fotonya semasa kuliah, Giska rasanya ingin menjambak dirinya sendiri waktu itu, lalu menyiram mukanya dengan skincare.
“‘Apa ada rencana naik gunung lagi?’” Giska kembali membaca salah satu pertanyaan. “Pastinya ada, dong. Tapi belum tahu kapan. Suami baru aja balik dari Sumbing kemarin.”
Ingatan Giska tiba-tiba kembali pada sikap Bima yang tak acuh padanya tadi. Sejujurnya, keanehan sang suami sudah terlihat sejak lelaki itu pulang dari pendakian beberapa hari lalu. Karena Bima masih mendapat jatah work from home sampai akhir pekan besok, Giska berkesempatan untuk menyaksikan langsung perubahan sikap suaminya.
Bima jadi lebih pendiam. Di beberapa kesempatan, Giska bahkan melihat lelaki itu tengah melamun sendirian, entah di depan jendela, di meja makan, atau di teras rumah. Setiap kali mereka bicara, Bima jarang menatap langsung ke matanya. Pikirannya seolah tidak fokus, hingga Giska kerap kali harus mengulang apa yang baru saja ia katakan.
Giska menggelengkan kepala. ‘Fokus, Gis!’ omelnya pada diri sendiri. Ia tidak boleh diam terlalu lama ketika para penggemarnya masih ramai menonton seperti ini.
Giska pun melanjutkan sesi siaran langsungnya. Ia kembali menanggapi beberapa pertanyaan di kolom komentar, sembari menyelesaikan tahapan perawatan wajah. Tepat pukul setengah sepuluh malam, si beauty influencer menyudahi pekerjaannya. Ia bergegas membereskan studio rekaman, lalu naik ke lantai dua.
“Mas? Udah tidur?” Giska membuka pintu kamar perlahan, takut kalau ternyata Bima sudah tidur.
“Belum,” sahut Bima, yang ternyata masih dalam posisi duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Tangannya memegang iPad dan apple pencil. Lelaki itu tidak menoleh sama sekali saat sang istri masuk ke dalam kamar.
“Oh, lagi ada kerjaan?” tanya Giska seraya menutup pintu di belakangnya.
Bima bekerja sebagai seorang ilustrator di sebuah perusahaan penerbitan besar di Tangerang. Selain itu, ia terkadang mengambil pekerjaan lepas dengan memanfaatkan keahliannya menggambar serta mendesain. Kalau sedang memegang beberapa proyek sekaligus, Bima hampir tidak pernah lepas dari iPad miliknya.
Karena sang suami tidak menjawab, Giska melangkah mendekat ke arah tempat tidur. Satu tangannya melepas jedai di kepala, hingga rambut hitamnya yang sedikit mengombak jatuh dengan lembut di punggung.
Perempuan itu naik ke kasur, kemudian merangkak mendekati suaminya. “Mana? Aku mau liat, do–”
Seluruh gerakan Giska terhenti, begitu juga dengan kalimatnya. Matanya terpaku pada layar iPad sang suami, yang kini menampilkan gambar seorang wanita.
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 3)