Sebelumnya: A Way to Find You (Part 22)
***
Novel: A Way to Find You (Part 23)
BAB 23
Giska merapatkan diri ke sang suami dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia biarkan ketukan itu terus berbunyi tanpa berminat untuk memeriksa siapa pelakunya. Tangannya menggenggam ponsel dan siap untuk menghubungi Pak Tanto kalau-kalau gangguan tersebut semakin parah. Meski peluangnya kecil, tidak menutup kemungkinan bahwa yang ada di luar sana adalah pencuri, kan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah beberapa menit, bunyi ketukan itu akhirnya berhenti juga. Giska menarik napas lega. Kebetulan, ia sudah mulai mengantuk. Ia pun memejamkan mata karena merasa keadaan sudah aman. Beruntung, teror misterius itu tidak datang lagi hingga pagi tiba.
“Mas, aku anterin pake mobil aja, ya, hari ini? Daripada kenapa-napa di jalan,” kata Giska setelah suaminya bangun. Saat ia mengecek kondisi lelaki itu subuh tadi, tubuhnya masih demam.
“Aku naik ojek mobil aja, Gis. Kamu pasti sibuk, kan?”
“Nggak, Mas. Sekalian, aku mau belanja di supermarket.”
Akhirnya, Bima mengangguk setuju. Keduanya berangkat lebih awal agar Bima tidak terlambat sampai di kantor. Perjalanan menggunakan mobil membutuhkan waktu lebih lama di pagi hari yang padat seperti ini.
“Nggak usah jemput, kasian kamu. Entar aku pulangnya naik ojek aja,” kata Bima begitu mobil berhenti di depan kantornya.
“Oke. Jangan kecapekan, ya, Mas. Kalau pusing, izin istirahat aja. Aku udah bawain obat di ransel kamu.”
Bima mengangguk dan mencium kening sang istri sebelum turun dari mobil. Giska pun melanjutkan perjalanannya menuju supermarket besar yang ada di tengah kota. Persediaan makanan di rumah makin menipis. Meski ia jarang memasak, setidaknya mereka harus tetap punya bahan makanan kalau sewaktu-waktu ibu mertuanya mampir ke sana.
Giska tidak berlama-lama di supermarket karena masih harus menyelesaikan pekerjaan. Setibanya di rumah, ia langsung menuju dapur untuk menata beberapa bahan makanan yang ia beli. Baru saja Giska membuka pintu kulkas, perempuan itu menjerit kencang.
Pemandangan di depannya sungguh mengerikan, membuat Giska refleks meloncat mundur. Semua makanan sisa yang ada di dalam lemari pendingin telah dipenuhi oleh belatung, mulai dari buah, sayuran, hingga makanan dan minuman kemasan. Belatung-belatung itu beberapa ada yang jatuh ke lantai, menggeliat ke sana kemari tanpa henti. Giska menutup hidung. Aroma busuk mulai tercium dari lemari pendinginnya yang selama ini selalu bersih tanpa noda.
Dengan tangan gemetar, perempuan itu meraih ponsel di dalam tasnya. “Halo, Bi Tami? Bisa ke sini sekarang? Saya butuh bantuan,” kata Giska di telepon. “Saya pesankan ojek sekarang, ya. Tolong, Bi Tami langsung siap-siap.”
Sembari menunggu bala bantuan, Giska mencari sarung tangan karet yang biasanya tersimpan di lemari perkakas. Setelah menemukan benda tersebut, ia mengambil plastik sampah besar berwarna gelap dan juga masker. Ia terpaksa menahan rasa jijik dan mual saat harus mengambil satu per satu bahan makanan yang tersimpan di dalam kulkas. Beberapa kali, perempuan itu juga menjerit saat ada belatung yang merayap ke kulitnya.
“Nggak! Nggak bisa!” Giska menyerah. Ia melepas peralatan tempurnya, lalu berlari ke wastafel dan muntah habis-habisan. Perempuan itu tidak sanggup mencium aroma busuk yang menguar dari semua bahan-bahan makanan itu.
Giska menyeret tubuhnya ke sofa di ruang depan. Ia berharap para belatung itu tidak menyebar ke mana-mana sampai Bi Tami datang. Ia tidak mampu mengurus semuanya sendirian. Saat ia membaringkan diri di sofa, perutnya terasa agak baikan. Giska menutup matanya sejenak untuk melupakan pemandangan mengerikan di dalam kulkasnya tadi.
Suara sepeda motor yang berhenti di depan rumahnya membuat Giska melompat berdiri. Ia cepat-cepat membukakan pintu untuk menyambut pahlawan penolongnya. “Bi Tami, tolong!” rengeknya begitu Tami melangkah memasuki beranda rumahnya.
“Ada apa, Mbak?” tanya Tami khawatir. Tidak biasanya majikan mudanya itu sampai meminta tolong seperti ini.
“Sini, Bi Tami lihat sendiri.” Giska langsung menggandeng si asisten menuju dapur.
“Astaghfirullahalazim!” seru Tami, kaget luar biasa. Matanya membelalak lebar melihat kondisi dapur yang selama ini ia bersihkan dengan segenap jiwa dan raga telah berubah mengerikan. Belatung-belatung serta makanan busuk berceceran dari dalam kulkas dan kantong sampah. Belum lagi bau tidak sedap yang memenuhi area tersebut. “Ini kenapa, Mbak? Kok, bisa banyak belatung gini?”
“Saya nggak tahu, Bi,” jawab Giska setengah menangis. “Tadi pagi belum kayak gini. Saya bikinin sarapan buat Mas Bima juga masih aman semuanya. Begitu saya balik abis belanja, tiba-tiba kulkas udah penuh belatung gitu.”
Bi Tami mengusap punggung majikannya berulang kali untuk menenangkan, meski ia sendiri belum sembuh dari kekagetannya. Ia masih tidak percaya pada mimpi buruk yang tersaji di hadapannya. Firasatnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang menimpa kedua majikannya.
“Saya bersih-bersih dulu. Mbak Giska minggir aja kalau nggak kuat.”
Giska mengangguk sambil mengusap air matanya. “Pakai sarung tangan, Bi. Tuh, yang warna kuning, udah saya ambil dari lemari tadi. Sama pakai masker juga.”
Dengan cekatan dan tanpa rasa jijik sedikit pun, perempuan paruh baya itu mulai membereskan kekacauan di dapur Giska. Ia berulang kali memanjatkan doa dalam hati sembari membersihkan belatung-belatung tadi. Ia yakin makhluk-makhluk ini datang dalam maksud yang tidak baik.
Di sisi lain, Giska kembali membaringkan tubuh di sofa untuk meredakan rasa pusing dan mual. Namun, karena bau busuk itu terus membayanginya, ia memutuskan untuk masuk ke ruang kerja, sekalian menyelesaikan tugas-tugasnya.
“Bi, saya di studio, ya! Kalau ada apa-apa, langsung bilang aja,” pamitnya pada Tami.
“Ya, Mbak!” sahut Tami dari balik maskernya.
Butuh waktu setengah jam lebih bagi Tami sampai akhirnya semua sampah busuk dan belatung itu berhasil ia bersihkan. Ia kemudian memanggil Giska untuk bertanya apa yang harus ia lakukan pada si lemari pendingin. “Udah saya bersihin berkali-kali, tapi masih bau, Mbak,” ujarnya.
Tanpa pikir panjang, Giska langsung membuat keputusan, “Kosongin aja, Bi. Biar saya loakin kulkas ini. Saya nggak mau pakai lagi.”
Bi Tami segera menuruti perintah Giska tanpa banyak bertanya. Setelah mengeluarkan semua sisa barang, ia mencabut colokan listrik kulkas tersebut. “Terus, ini sisa-sisa makanannya gimana, Mbak?” tanyanya sambil menunjuk bahan makanan yang masih bagus. Ada beberapa makanan beku seperti nugget, sosis, dan kentang goreng, lalu ada pula makanan dan minuman kaleng yang masih utuh.
“Bungkusin, Bi. Bawa pulang Bi Tami aja daripada nggak kemakan di sini.”
Bi Tami mengangguk senang. Anak cucunya di rumah pasti akan suka dengan makanan pemberian Giska. “Makasih, Mbak.”
“Saya yang harusnya bilang makasih. Kalau nggak ada Bi Tami, saya udah nggak tahu harus ngapain tadi,” ucap Giska tulus sambil menggenggam tangan asistennya.
Bi Tami balas mengusap satu pundak Giska. Di detik berikutnya, wajah perempuan keturunan Jawa itu berubah serius. “Tapi, kejadian ini terlalu aneh, Mbak. Nggak masuk akal. Apa nggak lebih baik kita cari orang pinter aja?”
Ini sudah kesekian kalinya Giska mendapat saran seperti itu. Ia pun mengajak Tami duduk di sofa untuk berdiskusi. “Akhir-akhir ini, saya emang ngerasa ada yang ganggu di rumah ini,” kata Giska jujur. Ia tidak perlu menjelaskan definisi kata ‘ganggu’ karena ia yakin Tami pasti mengerti. “Tapi, saya nggak ngerti apa penyebabnya dan gimana cara ngatasinnya. Apa menurut Bi Tami, orang pinter itu bisa bener-bener bantu?”
Tanpa ragu, Tami mengangguk. “Saya beberapa kali lihat sendiri, Mbak. Beberapa saudara sama tetangga saya juga pernah dapet gangguan gaib. Alhamdulillah, setelah dibantu sama orang pinter, gangguannya berhenti.”
“Terus, biasanya kita harus cari orang pinter ini di mana, Bi?”
“Cari lewat kenalan, Mbak. Mbak Giska mau saya cariin? Saya bisa tanya-tanya ke saudara saya nanti.”
Setelah menimbang-nimbang sejenak, Giska akhirnya menggeleng. “Kayaknya, saya harus diskusi dulu sama Mas Bima. Saya nggak bisa ambil keputusan sendiri, takutnya suami saya nggak setuju.”
Tami menghela napas. Ia mengenal betul watak pasangan muda itu yang dari dulu tidak menaruh kepercayaan pada hal-hal gaib atau mistis. Namun, ia tidak bisa memaksa. “Baik, Mbak. Diskusiin dulu aja sama Mas Bima. Nanti, kabarin saya kalau jadi cari bantuan.”
Giska awalnya berniat untuk membicarakan masalah ini pada Bima. Namun, ia langsung melupakan niat tersebut saat melihat kondisi lelaki itu sore harinya. Bima pulang dalam keadaan lemah tak bertenaga. Wajahnya agak pucat. Giska buru-buru menghampiri dan menuntun sang suami ke sofa.
“Mas, kok makin parah gini demamnya?” ujar Giska cemas. “Kamu udah makan?”
Bima menggeleng. “Nggak laper,” sahutnya singkat.
“Harus makan dulu kalau mau minum obat. Aku beliin nasi goreng depan kompleks, ya. Kamu mandi dulu.”
Giska pun segera berangkat menggunakan sepeda motor. Akan terlalu lama kalau ia harus memasak atau pesan makanan via online. Setelah membungkus seporsi nasi goreng babat kesukaan Bima, ia langsung pulang. Ia tidak mau berlama-lama meninggalkan suaminya sendirian.
Setibanya di rumah, Giska baru teringat akan kondisi dapur mereka yang tanpa kulkas. Mungkin, ia bisa membicarakan hal itu saat suaminya sudah agak baikan.
“Loh, kok udah?” protes Giska saat Bima hanya mau makan sesuap. “Tambah lagi, dong, abis itu minum obat. Sini, aku suapin.”
Bima menggeleng tanpa suara untuk menunjukkan penolakannya.
“Kenapa? Perut kamu mual?” tanya Giska sambil mengusap perut Bima.
Lagi-lagi, Bima menggeleng. “Nggak tahu, rasanya nggak mau makan aja.”
“Ayo, harus dipaksa. Sesuap lagi aja, plis.” Giska menyodorkan sesendok nasi goreng ke arah Bima. Akhirnya, sang suami mau membuka mulut dan menghabiskan satu sendok nasi goreng tersebut.
“Udah,” tolak Bima saat Giska menyodorkan sesuap lagi.
Giska pun menyerah. Ia beranjak menyiapkan obat penurun demam. Saat Bima sudah berbaring dan memejamkan mata, Giska mengambil sebaskom air serta handuk kecil. Dengan telaten, ia mengompres kening sang suami sambil memijat lengan dan kaki lelaki itu. Keadaan ini kurang lebih mengingatkannya pada kondisi mereka di gunung malam itu.
Pukul sepuluh malam, usai menyunting sebuah video lewat ponselnya, Giska segera berangkat tidur. Malam selalu menjadi momok menakutkan baginya akhir-akhir ini. Ia tidak pernah bisa menebak gangguan apa yang akan datang menghantuinya. Giska menggenggam tangan sang suami sebelum tidur. Kehadiran lelaki itu selalu berhasil mendamaikan pikirannya.
Malam itu, mimpi yang sama hadir dalam tidurnya. Giska lagi-lagi melihat sang wanita berkebaya di dalam rumahnya. Mereka kembali berhadap-hadapan di ruang tamu. Bukannya takut, Giska kali ini justru merasa amat marah. Habis sudah kesabarannya menghadapi gangguan dari wanita misterius itu.
“Sudah kubilang, pergi dari rumahku!” bentak Giska emosi. “Berani-beraninya kamu datang dan mengganggu kami!”
Si wanita tersenyum dengan mata melotot tajam. Giska merasa sekujur tubuhnya merinding melihat raut wajah wanita itu. Namun, ia mencoba untuk tidak gentar. “Siapa kamu? Apa maumu?” tanya Giska dengan nada menantang.
Si wanita tidak menjawab. Alih-alih, ia menunjuk dengan dagunya ke arah belakang Giska. Giska otomatis menoleh dan terkesiap. “Mas Bima!”
Tampak Bima yang tengah berjalan menuruni tangga dan melangkah lurus ke arah mereka. Tatapannya kosong. Ia juga tidak mendengar panggilan sang istri.
“Mas, ngapain ke sini?” Giska buru-buru menghampiri dan menahan tangan Bima, tapi suaminya itu tidak menggubris. “Mas! Berhenti!” Dengan putus asa, Giska menarik Bima agar berhenti berjalan menuju wanita mengerikan itu.
Giska kalah tenaga. Ia tidak kuasa menghentikan suaminya. Di detik berikutnya, tubuhnya justru terdorong mundur dan terlepas dari lelaki itu. “Mas, jangan, Mas,” rintihnya pilu saat melihat tangan Bima akhirnya berada di genggaman si wanita pengganggu.
Wanita itu tertawa penuh kemenangan. Suaranya melengking dan bergema mengerikan di kepala Giska. Satu tangannya yang berhias gelang emas mengusap wajah Bima. “Akhirnya, kamu milikku,” bisiknya, terdengar jelas oleh Giska.
Wanita itu menggandeng Bima keluar rumah. Giska melihat di depan rumahnya ada kereta kencana berwarna keemasan yang telah menunggu mereka. Empat ekor kuda warna putih meringkik menyambut kedatangan sang permaisuri. Lonceng-lonceng yang terikat di pergelangan kaki mereka bergemerincing nyaring saat mereka menggoyangkan kaki penuh semangat. Pintu kereta secara otomatis terbuka saat Bima dan wanita itu hendak naik.
Giska berteriak, memohon agar Bima tidak pergi. Namun, percuma saja. Lelaki itu tidak menoleh sama sekali. Kereta kuda itu pun pergi dan menghilang bersama sang suami yang ia cintai.
Saat itulah, Giska tersentak bangun. Ia mendengar suaminya mengerang dalam tidurnya. Keringat dingin mengucur dari kening lelaki itu. Giska menggoyangkan tubuh sang suami. “Mas, bangun, Mas!”
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 24)
Halaman : 1 2 Selanjutnya