Sebelumnya: A Way to Find You (Part 23)
***
Novel: A Way to Find You (Part 24)
BAB 24
Sekujur tubuh Bima terasa panas, tapi ujung jemarinya dingin bagai es. Giska tidak berhasil membangunkan lelaki itu. Air mata mendesak ingin keluar akibat rasa panik, tapi ia tahu sekarang bukan saatnya untuk menangis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perempuan itu berdiri dari tempat tidur, menyalakan lampu kamar, lalu memakai jaketnya. Ia tidak punya waktu untuk berdandan atau berganti pakaian. Untungnya, malam ini ia mengenakan setelan baby doll panjang. Setelah mengikat rambut seadanya, Giska berjalan mendekati Bima.
“Mas, kita ke rumah sakit sekarang. Plis, bangun sebentar. Aku bantu kamu jalan.” Dengan sedikit paksa, ia menarik tubuh Bima hingga bangkit duduk. Lelaki itu hanya mampu membuka sedikit matanya. Tubuhnya lemah seolah tak bertulang. Giska memakaikan jaket tebal warna cokelat ke tubuh sang suami agar tetap hangat.
“Sandaran ke punggungku, Mas.” Giska memosisikan diri di depan Bima. Dikalungkannya lengan lelaki itu di pundaknya. Ia pun berjalan sedikit membungkuk seolah tengah menggendong sebuah carrier. Hasil kerja kerasnya di gym selama bertahun-tahun akhirnya diuji malam ini.
Giska mengerahkan seluruh tenaganya untuk menopang tubuh sang suami agar tidak terjatuh. Langkah demi langkah, anak tangga demi anak tangga mereka lalui secara perlahan. Ia jadi mengerti kesulitan Rizki dan Gilang saat menggendong Bima turun dari Sumbing kemarin. Sungguh perjuangan yang luar biasa. Ia pun mengembuskan napas lega saat mereka tiba di lantai satu dengan selamat.
Akan tetapi, rasa lega itu tidak bertahan lama. Apa yang ia lihat di depan matanya membuat Giska sejenak lupa caranya bernapas. Pintu rumahnya kini dalam posisi terbuka lebar, persis seperti dalam mimpinya tadi. Ratusan kuntum melati tersebar dari ruang tamu menuju ke teras seolah membentuk sebuah jalur. Wangi dari bunga-bunga berkelopak putih itu menguar memenuhi udara.
Selama beberapa detik, Giska terpana di tempat. Tubuhnya gemetar ketakutan. Tidak mungkin ada yang bisa membobol pintu rumahnya dengan mudah. Toh kalau ada, seharusnya alarm otomatis yang terpasang di sana akan berbunyi nyaring. Dari penampakan melati-melati itu saja Giska sudah bisa menyimpulkan bahwa ini bukan ulah manusia.
‘Pikirin itu nanti, Gis! Sekarang fokus ke Mas Bima!’ Giska berusaha mengendalikan diri dan menguatkan lagi pegangannya pada sang suami. Ia terpaksa menginjak bunga-bunga melati itu saat melintasi ruang tamu hingga keluar rumah.
“Duduk sini, Mas. Pelan-pelan. Awas kepalanya.” Giska bersusah payah mendudukkan sang suami di kursi penumpang depan, lalu memasangkan sabuk pengaman di tubuh lelaki itu. “Tunggu bentar. Aku kunci pintu dulu.”
Giska buru-buru menutup pintu rumahnya yang terbuka lebar. Anehnya, pintu itu bisa terkunci lagi secara otomatis, yang menandakan bahwa pintu tersebut tidak rusak atau dibobol secara paksa. Ia mencoba membukanya lagi dengan memasukkan pin. Hasilnya, pintu terbuka dengan mudah.
“Berarti emang nggak rusak,” gumam Giska pada diri sendiri.
Tidak ada waktu untuk memikirkan masalah pintu. Giska cepat-cepat kembali ke mobil untuk membawa suaminya ke rumah sakit.
“Mbak Giska? Mau ke mana tengah malam gini, Mbak?” sapa Heru saat Giska tiba di portal depan pos penjaga.
“Suami saya sakit, Mas. Mau ke rumah sakit. Bisa tolong cepet bukain?”
“Oh, iya, Mbak! Siap!” Tanpa bertanya-tanya lagi, satpam tersebut segera membukakan portal perumahan sehingga mobil Giska bisa lewat. “Hati-hati di jalan, Mbak!”
“Makasih, Mas!”
Giska memacu mobilnya ke rumah sakit terdekat dan langsung menuju IGD. Satpam dan perawat jaga menyambut kedatangannya dengan sikap siaga.
“Sus, tolong, suami saya demam tinggi.”
Para perawat memberi penanganan pertama dengan mengukur suhu tubuh Bima. Layar kecil di termometer menampilkan angka 39,5 derajat celcius. Giska panik bukan main.
“Ada gejala lain dari pasien?” tanya seorang dokter wanita yang sepertinya berusia empat puluhan. “Batuk? Pilek? Sesak napas?”
“Nggak ada, Dok. Tapi, dari pagi tadi nggak mau makan sama minum. Cuma mau dikit-dikit aja.”
Dokter pun menyuruh perawat untuk memasangkan infus di tangan Bima dan mengecek reaksi alergi obat di tubuh lelaki itu. Ia juga bertanya obat apa saja yang sudah dikonsumsi Bima di rumah.
“Saya menyarankan pasien untuk rawat inap dulu malam ini. Sementara, saya hanya bisa kasih obat penurun demam. Besok pagi, kita lakukan cek laboratorium untuk mengetahui penyakitnya secara lengkap. Bagaimana?”
Giska mengangguk saja. Apa pun itu, asal suaminya bisa mendapat penanganan terbaik. Ia pun diminta untuk mengurus administrasi terlebih dahulu. Untungnya, mereka bisa langsung mendapat kamar setelah Giska memesan fasilitas VVIP.
Saat kembali ke tempat Bima terbaring, Giska melihat lelaki itu sudah membuka separuh matanya. “Mas!”
Bima tidak menunjukkan reaksi apa pun meski sang istri berdiri tepat di sebelahnya. Panggilan dari perempuan terkasih itu juga seperti tidak masuk ke telinganya. Bibirnya tampak begitu pucat, matanya menerawang kosong.
“Mas, kita di rumah sakit sekarang. Kamu harus rawat inap malam ini,” kata Giska sambil menggenggam satu tangan Bima. “Besok, aku mintain surat dokter buat izin ke kantor. Jangan pikirin apa pun. Kamu harus istirahat pokoknya.”
Bima masih juga tidak menjawab. Tepat saat itu, dua orang perawat datang. Salah satunya memberitahu bahwa kamar sudah siap digunakan. Mereka pun membantu Bima pindah ke kamar rawat inapnya.
“Kalau butuh apa-apa, silakan pencet tombol ini, ya, Bu. Nanti perawat akan datang,” kata salah seorang perawat setelah proses pemindahan pasien selesai. “Lalu, karena Bapak mengalami demam tinggi, diusahakan untuk minum yang cukup. Nanti sambil dikasih minum pelan-pelan.”
“Baik, Sus. Terima kasih.”
“Sama-sama, Ibu. Selamat beristirahat.”
Dua orang perawat berjenis kelamin laki-laki dan perempuan itu pun keluar meninggalkan kamar. Giska langsung beralih pada suaminya lagi. Tapi, Bima sudah kembali memejamkan mata. Giska lalu mengambil ponselnya. Orang pertama yang ia hubungi adalah Kinar, sang mertua. Untungnya, panggilan langsung diangkat pada dering ketiga.
Kinar kaget bukan main mendengar anak bungsunya masuk rumah sakit. Seumur-umur, anak lelakinya yang amat lincah itu belum pernah tersentuh oleh jarum infus. Ia berjanji untuk segera ke rumah sakit besok subuh. Selanjutnya, Giska mengirim pesan untuk Naura. Ia meminta sang manajer mengatur ulang jadwalnya dan membatalkan beberapa janji temu selama beberapa hari ke depan. Ia juga mengirim pesan pada Bi Tami dan memintanya datang ke rumah besok pagi-pagi sekali.
Giska mengempaskan tubuh di sofa bed, lelah dengan segala huru-hara ini. Ia bersyukur ada fasilitas air mineral di dalam kamar, jadi ia tidak perlu keluar lagi untuk membeli. Di jam-jam berikutnya, perempuan itu hanya bisa tidur setiap beberapa menit sekali. Selebihnya, ia selalu mengecek keadaan sang suami.
“Mas, udah bangun?” Giska beranjak mendekati Bima begitu melihat suaminya itu membuka mata. Keadaan di luar masih gelap karena masih pukul empat pagi. “Minum dulu, yuk. Kata perawat, kamu harus minum yang banyak.”
Giska menyiapkan segelas air mineral. Karena tidak ada sedotan, ia terpaksa meminta Bima minum langsung dari gelas tersebut. Sandaran tempat tidur ia naikkan hingga Bima berada dalam posisi setengah duduk. Namun, lelaki itu sama sekali tidak mau membuka mulutnya saat Giska menyodorkan gelas.
“Loh, ini, minum dulu.” Giska sampai menempelkan bibir gelas ke bibir sang suami, tapi sia-sia. Bima hanya melamun dengan mulut tertutup rapat. Pandangannya terpaku di satu titik kosong yang ada di sudut kamar.
“Mas, kamu denger aku? Hei!” Giska sedikit mengguncang tubuh Bima karena lelaki itu tidak memberi respon sejak tadi. Bukannya menjawab, Bima malah kembali memejamkan mata.
Giska mendesah frustrasi. Kondisi suaminya benar-benar mengkhawatirkan. Demamnya memang sudah agak turun berkat obat dari dokter tadi, tapi lelaki itu seolah kehilangan kesadarannya. Berkali-kali Bima membuka mata, tapi tidak bisa diajak berinteraksi dan akhirnya tertidur lagi.
Giska tidak memejamkan mata lagi sampai subuh tiba. Tepat pukul setengah enam pagi, Kinar dan suaminya datang. Giska langsung memeluk sang ibu mertua dan menangis sesenggukan. Semua rasa lelah, panik, dan khawatir akhirnya tumpah keluar di saat ada orang yang bisa menjadi tempatnya bersandar. Dengan terbata-bata, ia menceritakan keadaan sang suami sejak semalam. Kinar ikut menitikkan air mata melihat kondisi anak dan menantunya.
“Kita jangan putus doa buat Bima, ya, Neng.” Kinar mengelus kepala Giska dengan lembut, sementara Wahyu, suaminya, menepuk-nepuk pundak Giska untuk menenangkan.
Giska mengangguk. Ia pun melepaskan pelukan mereka dan mengusap air matanya. “Aku pulang dulu, ya, Mah. Ambil baju sama perlengkapan buat Mas Bima. Semalem bener-bener nggak ada persiapan apa-apa.”
“Iya. Kamu sambil istirahat dulu, Neng. Jangan khawatir, ada Mamah sama Papah yang jagain Bima di sini.”
“Kata perawat, Mas Bima harus banyak minum, tapi dia nggak mau minum sama sekali dari semalem. Tolong, nanti kalau bangun suruh minum, ya, Mah. Aku beliin air mineral lagi nanti.”
Giska pun berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah memakai jaketnya, ia kembali mendekati Bima dan mencium kening lelaki itu. “Aku tinggal bentar, ya, Mas. Ada Mamah sama Papah di sini. Nanti, pas aku balik, Mas Bima harus udah bangun, oke?” bisiknya lirih. Setetes air matanya jatuh lagi, tapi buru-buru ia hapus.
Sepanjang perjalanan pulang, Giska tak henti memanjatkan doa untuk kesembuhan sang suami. Hingga tak terasa, ia sudah sampai di rumahnya.
“Halo, Bun?” Sambil turun dari mobil, Giska mengangkat telepon dari ibunda tercinta. Semalam, ia juga sudah mengabari ayah bundanya yang ada di Semarang soal keadaan Bima. Namun, sang ibunda sepertinya baru saja membuka pesan darinya pagi ini. “Iya. Aku lagi pulang, Bun. Mamah Kinar barusan udah ke rumah sakit,” jawab Giska dengan nada lelah. Ia mengunci mobilnya, lalu berjalan menuju teras rumah. Baru selangkah menginjak lantai teras, Giska melompat mundur lagi. Pertanyaan sang bunda di telepon sampai tidak terdengar olehnya.
“B-bun, aku telepon lagi, ya, nanti.”
“Kenapa, Gis?” tanya Hesti, sang ibu, dengan heran.
“Nanti aku kabarin.”
Tanpa menunggu jawaban ibunya, Giska mematikan telepon. Matanya terpaku pada kelopak-kelopak melati yang tersebar di teras rumahnya. Bunga yang tadi malam ia tinggal masih dalam keadaan segar, kini sudah layu dan busuk. Belatung-belatung menjijikkan itu datang lagi, menggeliat di antara kelopak-kelopak bunga berwarna putih kecokelatan. Wangi melati yang seharusnya harum menenangkan kini berubah menjadi bau amis yang membuat asam lambung bergejolak.
Beruntung, tadi malam, Giska sudah meminta Tami datang pagi-pagi ke rumahnya. Di saat ia masih mematung di tempat, asistennya itu datang diantar oleh sang anak dengan sepeda motor.
“Mbak Giska, ada apa?” tanya Tami yang bergegas menghampiri majikannya.
Firasat Tami yang tidak enak sejak tadi malam langsung terjawab oleh pemandangan di depan matanya. Ia lagi-lagi berseru kaget, persis seperti kemarin, “Astaghfirullahalazim! Apa lagi ini, Mbak?” Matanya membelalak menatap ratusan, atau bahkan ribuan belatung yang tersebar di serambi rumah.
Giska terhuyung mundur. Kepalanya mendadak pusing. Tami dengan sigap menangkap tubuh sang majikan sehingga tidak ambruk ke tanah. “Mbak, istirahat di mobil dulu, ya. Saya bersihin secepatnya.”
Sekarang bukan waktunya untuk banyak bertanya. Tami memapah Giska kembali ke mobil. Setelah sang majikan duduk manis di sana, Tami langsung masuk ke dalam rumah. Keadaan ruang tamu sama mengerikannya dengan teras, tapi Tami sudah tidak terpengaruh. Dengan masih memakai sandalnya, ia menginjak belatung-belatung itu dan secepatnya mengambil peralatan kebersihan.
Giska menahan mual di perut. Ia menyalakan mesin mobil supaya parfum di depan semburan AC bisa menggantikan bau busuk yang terus membayang dalam pikirannya. Perempuan itu benar-benar tidak habis pikir. Kenapa cobaan ini datang bertubi-tubi padanya? Sebenarnya, apa salah dan dosanya hingga ia harus mengalami semua gangguan ini?
Karena terlalu lelah, ditambah suasana mobil yang cukup membuatnya nyaman, tanpa sadar Giska jatuh tertidur. Ia baru bangun lagi saat Tami mengetuk pelan jendela mobilnya. “Mbak, udah saya beresin semuanya. Mbak Giska bisa pindah ke kamar kalau mau tidur.”
Giska beranjak keluar dari mobil. Hal pertama yang ia lakukan adalah menggenggam tangan Tami dan berbicara penuh permohonan, “Bi, tolong cariin orang pinter secepatnya.”
***
Selanjutnya: A Way to Find You (part 25)
Halaman : 1 2 Selanjutnya