Sebelumnya: A Way to Find You (Part 24)
***
Novel: A Way to Find You (Part 25)
BAB 25
Tami terkejut mendengar Bima masuk rumah sakit. Hatinya mengatakan bahwa majikannya itu bukan sakit medis biasa, mengingat hal-hal ganjil yang terjadi di rumah ini sejak kemarin. Ia pun berjanji akan segera menghubungi para kenalannya dan mencari informasi tentang orang pintar. Secepatnya, ia akan membawa orang tersebut ke rumah Giska.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Makasih, ya, Bi. Saya istirahat sebentar di atas. Nanti Bi Tami saya anter sekalian pas berangkat ke rumah sakit.”
“Ya, Mbak.”
Giska melangkah menaiki tangga dengan langkah gontai. Rumah yang selama ini menjadi tempat ternyamannya, sekarang terasa begitu asing dan menyesakkan. Kehadiran gangguan-gangguan gaib serta ketiadaan Bima di sini membuat Giska kehilangan arti kata ‘pulang’. Kalau disuruh memilih, ia rela meninggalkan tempat yang susah payah ia beli ini asalkan bisa selalu berada di samping suaminya.
Giska mengambil tas pakaian, lalu mulai mengemas baju-baju dan perlengkapan miliknya serta sang suami. Ia belum tahu sampai kapan Bima akan dirawat di rumah sakit. Untuk sekarang, ia membawa baju ganti yang cukup untuk tiga hari ke depan.
Usai beberes, Giska berhasil tidur selama hampir satu jam. Ia terbangun saat mendengar ponselnya berbunyi. Nama sang mertua yang muncul di layar membuatnya langsung terduduk.
“Gimana, Mah?” tanya Giska panik. Pikiran-pikiran buruk langsung menyerang otaknya. Sisa kantuknya hilang seketika.
“Halo? Neng masih di rumah?”
“Masih, Mah. Mas Bima gimana?”
“Barusan, perawat udah ambil sampel darah Bima dan mau diperiksa di lab. Untuk hasilnya baru keluar nanti siang, sekalian sama jadwal kunjungan dokter katanya,” jelas Kinar. “Suhu tubuhnya udah mulai normal, tensinya juga bagus.”
“Oh, gitu. Syukurlah. Terus, Mas Bima sendiri gimana sekarang? Udah bangun?”
Kinar terdiam beberapa detik. “Tadi cuma melek bentar, habis itu tidur lagi,” ucapnya dengan nada prihatin.
Hati Giska seolah tertusuk saat mendengar jawaban Kinar. Kenapa suaminya itu belum sadar juga? Padahal, demamnya sudah turun. Giska buru-buru bangun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. “Aku siap-siap dulu, ya, Mah. Abis ini aku berangkat ke rumah sakit. Mamah mau nitip apa?”
“Beliin minum aja, Neng. Sama tisu buat di kamar.”
Setelah mengiakan permintaan sang mertua, Giska menutup telepon dan segera mandi. Ia ingin cepat-cepat melihat Bima lagi. Tidak lupa, ia harus segera meminta surat keterangan dokter untuk mengurus izin di kantor sang suami.
Di bawah, Tami baru saja selesai mengepel lantai. Ia langsung menghampiri Giska yang turun sambil menenteng tas pakaian. “Mbak, saya udah hubungi beberapa kenalan. Nanti, kalau udah dapet kontak orang pinternya, saya segera telepon Mbak Giska,” kata perempuan itu.
Giska mengangguk. “Makasih banyak, Bi. Yuk, berangkat.”
Perjalanan dari rumahnya ke rumah Tami hanya membutuhkan waktu sepuluh menit. Setelah mengantar asistennya itu sampai di depan gang, Giska mampir ke minimarket untuk membeli beberapa barang. Teleponnya kembali berdering tepat saat ia selesai membayar.
“Halo, Bun? Maaf, tadi lupa mau telepon lagi,” kata Giska sambil berjalan ke mobil. “Tadi aku ketiduran di rumah.”
“Iya, nggak pa-pa,” jawab Hesti memahami. “Bunda udah telepon Mamah Kinar barusan, tanya kondisi Mas Bima. Bunda sama Ayah terbang ke sana, ya, besok.”
Giska membelalak. “Bunda mau jenguk ke sini? Emangnya udah pesen tiket?”
“Udah, tadi udah minta tolong Mas Fajar pesenin tiket pesawat. Bunda dapet penerbangan agak siang, jadi kemungkinan sampe sana sore.”
Mas Fajar adalah kakak lelaki sekaligus satu-satunya saudara kandung Giska. Fajar saat ini tinggal di Bali bersama keluarga kecilnya karena mendapat pekerjaan di sana.
“Oke, Bun. Besok perlu aku jemput di bandara, nggak?” tanya Giska.
“Nggak usah. Bunda naik taksi aja ke rumah sakit. Daripada kamu bolak-balik, kasian.”
Giska merasa hatinya sedikit ringan saat mengetahui ibunda tercinta akan datang ke sini. Kehadiran wanita terkasih itu akan menjadi penguat dalam situasi yang menyesakkan dada ini. Apalagi, ia sudah cukup lama tidak bertemu dengan sang ibu. Selama ini, mereka hanya saling berkontak lewat pesan singkat atau telepon. “Bunda tinggal di sini sampai Mas Bima sembuh, ya,” pinta Giska setengah merengek.
Hesti mengiakan permintaan sang anak. Ia betul-betul paham bagaimana perasaan anak perempuannya itu. Pasti tidak mudah bagi Giska saat harus melihat kekasih hatinya terbaring sakit. Untuk itulah, ia ingin mendampingi anak tersayangnya melewati cobaan ini.
“Makasih, ya, Bun,” kata Giska dengan menahan air mata. “Maaf, aku harus nyetir lagi. Otewe ke rumah sakit.”
“Iya, hati-hati, Sayang. Kamu jangan lupa makan. Jaga kesehatan.”
“Iya, Bun.”
Giska pun menutup telepon dan kembali melanjutkan perjalanan. Selama hampir lima belas menit menyetir, Giska mengalami dilema. Apakah ia harus menceritakan gangguan-gangguan yang ia alami kepada orang tua dan mertuanya? Apakah mereka akan percaya? Apakah gangguan ini memang ada hubungannya dengan kondisi kesehatan Bima?
Di tengah kemelut pikirannya itu, tak terasa, Giska sampai di rumah sakit. Setibanya di kamar, hatinya seolah diremas melihat Bima masih tergolek lemah di atas tempat tidur. Kedua mata lelaki itu terpejam rapat. Kulit wajahnya tampak pucat, nyaris berwarna abu-abu.
“Neng, Mamah sama Papah beli makan dulu, ya, di kantin bawah. Kamu udah makan?” tanya Kinar.
Giska menggeleng. Kinar mengusap sebelah bahu menantunya itu. “Mamah beliin makanan, ya. Kamu harus jaga kesehatan, biar pas Bima sembuh nanti, kamu nggak gantian sakit.”
Sepeninggal mertuanya, Giska menyeret kursi dan duduk di sebelah tempat tidur sang suami. Ia menggenggam erat tangan lelaki itu sambil terus memanjatkan doa. Ketulusan hati seorang istri yang putus asa rupanya terdengar oleh Sang Maha Kuasa. Ia yang memberi hidup atas semua makhluk di bumi ini akhirnya menjawab doa-doa Giska. Ia memberi kesempatan bagi pasangan itu untuk kembali bertemu walau hanya sesaat.
Beberapa menit kemudian, Bima mulai membuka mata. Giska langsung bangkit berdiri. “Mas?”
Bima melirik ke arah sang istri. “ … G … is?” panggilnya lemah.
“Iya, ini aku, Mas. Aku di sini. Aku di sini.” Giska memeluk kepala sang suami dan menciuminya. Air matanya jatuh bercucuran. “Mas Bima bangun, yuk. Jangan tidur terus kayak gini,” isaknya pelan.
Bima berusaha membuka kedua matanya lebih lebar. Lelaki itu berjuang menahan kesadarannya agar tidak hilang. “Mi … num,” pintanya serak.
“Ah, bener! Minum! Kamu harus minum!” Giska bergegas menyiapkan segelas air untuk sang suami. “Minum pelan-pelan, Mas.”
Giska menopang tubuh Bima dengan satu tangannya sehingga posisi lelaki itu setengah duduk. Tangan yang lain ia gunakan untuk memegang gelas dan menyodorkannya ke mulut Bima. Lelaki itu minum bagai orang kehausan setengah mati. Satu gelas penuh langsung ia habiskan dalam beberapa teguk. Giska menuang gelas kedua, yang dengan cepat kembali dihabiskan oleh Bima.
Giska diam-diam tersenyum lega. “Mas, mau makan? Aku beli roti, tadi.”
Bima tidak menjawab. Kesadarannya mulai timbul-tenggelam. Pandangannya berubah-ubah antara kamar rumah sakit yang terang-benderang dengan sebuah kamar yang gelap nan suram. Ia ingin meminta tolong, tapi mulutnya tidak sanggup berkata. Tubuhnya seolah terikat hingga ia tidak bisa bergerak. “Gis,” panggilnya pada sang istri. Meski ia sudah mengerahkan seluruh tenaga, suara yang keluar hanya berupa bisikan lirih.
Untungnya, Giska dengan peka segera mendekatkan telinganya ke bibir Bima. “Ya, Mas?”
“Sum … bing.”
“Apa?”
“Sumbing.” Bima membuka mulut, ingin menjelaskan lebih jauh. Namun, mendadak matanya melirik ke satu titik.
“Mas, kenapa?” tanya Giska yang melihat raut wajah Bima berubah tegang.
“Dia,” bisik lelaki itu. Kelopak matanya bergetar ketakutan. “Dia … datang.”
Di detik berikutnya, Bima tidak sadarkan diri. Lelaki itu kembali tenggelam dalam kegelapan yang tak bertepi. Giska mengguncang bahu sang suami, tapi tidak mendapat sedikit pun reaksi.
“Mas, kok, tidur lagi, sih?” rengek Giska. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan memohon suaminya untuk bangun.
Setelah tangisnya agak mereda, Giska mulai berpikir. Ia tidak memahami sedikit pun perkataan Bima barusan. Sumbing? Ada apa dengan Sumbing? Lalu, siapa ‘dia’ yang dimaksud oleh lelaki itu? Giska berusaha memutar otak, tapi kepingan puzzle itu tetap tidak bisa bersatu di kepalanya.
Dering ponsel membuyarkan lamunan Giska. Ia meraih telepon genggamnya, berharap ada kabar dari Tami mengenai orang pintar yang bisa membantu mereka. Namun, panggilan masuk tadi ternyata dari Naura.
“Halo, Ra?” sapa Giska lesu.
“Gimana keadaan Mas Bima?” tanya Naura tanpa basa-basi.
Giska menarik napas panjang untuk meredakan nyeri di dadanya. Ia menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca. “Demamnya udah turun, tapi kondisinya masih lemah banget.”
“Astaga, ya, Tuhan. Yang kuat, ya, Gis. Banyak-banyak berdoa,” kata Naura prihatin. “Gue ama suami jenguk ke situ entar sore. Sekalian ada urusan kerjaan yang harus kita bahas.”
“Oke. Thanks, Ra.”
Menjelang tengah hari, seorang dokter dan dua perawat datang ke ruangan Bima. Hanya ada Giska dan Kinar di sana, sementara Wahyu pulang dulu ke rumah. Dokter membaca hasil pemeriksaan laboratorium dan menjelaskan bahwa kondisi Bima baik-baik saja. Tidak ditemukan penyakit apa pun dalam tubuhnya. Hal itu tentu membuat semua orang yang ada di sana mengerutkan kening dengan bingung.
“Tapi, kenapa suami saya nggak bangun-bangun, Dok?” tanya Giska. “Tadi cuma bangun sebentar, abis itu tidur lagi.”
“Karena dari pemeriksaan darah ini hasilnya bagus, kami jadwalkan CT scan secepatnya. Siapa tahu, ada bagian kepala yang cedera yang menyebabkan pasien kesulitan untuk bangun,” kata dokter lelaki yang tampak masih muda itu. “Untuk sementara, kita pantau dulu kondisi pasien. Kalau sampai besok pasien masih belum bangun, terpaksa kami pasang selang nasogastrik untuk alat bantu makan.”
Giska menutup mulutnya. Air matanya merebak saat ia membayangkan tubuh sang suami harus dipasangi selang-selang tertentu demi menopang hidupnya. Dokter kemudian meminta perawat untuk memeriksa saturasi oksigen di tubuh Bima. Ia segera memerintahkan mereka memasang selang oksigen saat melihat angka di oximeter turun hingga 92.
Setelah dokter dan para perawat itu pergi, Giska terduduk lemah di kursi yang ia letakkan di samping ranjang Bima. Hatinya terus memanggil nama sang suami, berharap lelaki itu bisa mendengar jeritan batinnya dan segera bangun. Di mana pun Bima berada saat ini, ia memohon agar lelaki itu segera pulang kepadanya.
“Neng, istirahat dulu kalau capek.” Kinar menepuk pundak Giska. Ia begitu prihatin melihat kondisi menantunya. Perempuan yang biasanya riang dan penuh energi itu kini tampak kuyu. “Biar Mamah yang jaga Bima.”
Giska mengangguk. Sepertinya, ia memang butuh istirahat. Semua beban pikiran ini membuatnya kelelahan. Baru saja ia membaringkan tubuh di atas sofa bed, ponselnya menyanyikan nada dering. Ada panggilan masuk dari Tami!
Giska buru-buru bangkit berdiri sambil membawa ponselnya. Ia pun melangkah keluar menuju balkon kamar. “Halo, Bi? Gimana?”
“Mbak, saya udah dapet kontak orang pinternya.”
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 26)
Halaman : 1 2 Selanjutnya