Novel: A Way to Find You (Part 28)

- Penulis

Senin, 2 Desember 2024 - 09:41 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Novel: A Way to Find You (Part 22)

Novel: A Way to Find You (Part 22)

Sebelumnya: A Way to Find You (Part 27)

***

Novel: A Way to Find You (Part 28)

BAB 28

“Oi, Gis!”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Edo melambaikan tangan pada Giska yang tampak berjalan keluar dari pintu kedatangan. Suasana stasiun Yogyakarta sore itu cukup ramai karena menjelang akhir pekan. Ia dan istrinya sengaja izin pulang lebih awal dari kantor untuk menjemput teman mereka yang jauh-jauh datang dari Tangerang itu.

Giska balas melambaikan tangan. Seulas senyum tulus terkembang di wajahnya yang tampak kuyu. Perempuan itu berjalan sambil menggendong carrier di punggungnya. “Halo, Mas Edo, Mbak Sekar. Maaf ngerepotin. Lama, ya, nunggunya?”

“Ah, nggak. Baru aja nyampe.”

Pasangan suami-istri itu bergantian memeluk Giska sambil saling menanyakan kabar. Mereka juga mengutarakan rasa prihatin atas kondisi Bima saat ini.

Wis, sing kuat, yo, Gis (Udah, yang kuat, ya, Gis). Pokoknya, kamu harus tetep semangat. Aku sama Sekar bakal bantu sebisa kami,” ujar Edo. Ia sampai kini masih belum percaya bahwa sahabatnya itu terkena gangguan gaib di gunung. Selama bertahun-tahun menjalani aktivitas di gunung bersama Bima, belum pernah mereka diganggu sampai seperti ini.

“Yuk, ke mobil. Kita langsung pulang dulu aja, kasian kamu capek,” kata Sekar sambil menggandeng tangan Giska. Sebagai sesama perempuan, ia begitu memahami perasaan Giska. Semuanya tergambar jelas di wajah perempuan itu. Sang beauty influencer yang selama ini selalu tampil energik dan on point, kini terlihat begitu nelangsa. Wajahnya polos tanpa make up, rambut hanya diikat seadanya, serta lingkaran gelap mengelilingi matanya. Sekar yakin tidak akan ada orang yang menyangka bahwa perempuan di sampingnya ini adalah Anggiska.

“Kita berangkat ke Wonosobo besok subuh, abis itu langsung naik. Barangmu udah lengkap semua, to, Gis? Atau mau beli sesuatu dulu?” tanya Edo begitu mereka masuk di mobil.

“Kurang air sama logistik aja, Mas. Kemarin bener-bener mendadak persiapannya,” jawab Giska. Ia menyandarkan punggung ke jok mobil, merasa kelelahan.

Kemarin sore, setelah Asih memberi tahu apa yang harus ia lakukan demi menyelamatkan Bima, Giska langsung berencana untuk berangkat ke Sumbing saat itu juga. Namun, orang tua dan mertuanya melarang. Mereka tidak mau Giska mendaki sendirian. Akhirnya, setelah berembug bersama-sama, mereka memutuskan untuk minta bantuan pada Edo. Jadi, di sinilah Giska sekarang, di Yogyakarta, tempat Edo dan istrinya tinggal.

Edo dan Sekar akan menemani Giska mendaki di Sumbing besok. Setelah Giska menelepon dan menceritakan kondisi Bima kemarin sore, pasutri itu tanpa pikir panjang langsung menyanggupi permintaan tolong sahabat mereka.

“Ya udah, sekalian aja kita belanja sekarang. Yang, nanti kamu ungkep ayam, tahu, sama tempe buat bekal, ya. Biar gampang di sana tinggal goreng,” kata Edo pada istrinya.

Mereka mampir ke supermarket untuk belanja. Karena pendakian kali ini bukan dalam rangka bersenang-senang, mereka membeli bahan-bahan seadanya yang sekiranya praktis untuk dimakan. Mereka tidak punya banyak waktu. Keselamatan Bima bergantung pada perjuangan mereka, terutama Giska.

“Terus, itu nanti gimana caranya kamu cari Bima di sana Gis?” tanya Sekar usai berbelanja. Mobil mulai melaju meninggalkan parkiran supermarket menuju rumah mereka.

“Aku sendiri nggak yakin, Mbak. Tapi, Jeng Asih kemarin kasih aku ini.” Giska menyodorkan seuntai tali goni yang berbentuk kalung dengan secarik kertas sebagai bandulnya. Kertas lusuh itu dalam keadaan terlipat. Di atasnya, tertulis bait-bait dalam huruf Arab gundul yang Giska tidak mengerti apa maksudnya. “Aku disuruh pakai kalung ini, terus konsentrasi. Nanti, di alam lain, ada gurunya Jeng Asih yang bakal bantuin aku, namanya Ki Suko.”

Sekar mengamati kalung yang mirip jimat tersebut sambil mengangguk-angguk. “Kamu nggak takut, Gis?” tanyanya pelan.

Giska menarik napas panjang. “Kalau harus jujur, tentu aku takut, Mbak. Siapa yang nggak takut kalau harus masuk ke alam gaib? Tapi, karena ini menyangkut suamiku, aku rela lakuin apa aja. Disuruh lompat ke jurang atau laut pun aku mau.”

Edo tersenyum. “Kamu sama Bima, tuh, bener-bener serasi. Kalau posisinya dibalik dan kamu yang sakit sekarang, aku yakin Bima juga bakal ngomong persis kayak gitu.”

Giska ikut tersenyum, tapi hatinya berdenyut sakit oleh rasa rindu. ‘Tunggu aku, Mas. Aku akan bawa Mas Bima pulang secepatnya.’

***

Asih tidak memberi batasan dari jalur mana Giska akan naik, jadi mereka memutuskan untuk kembali ke Gajah Mungkur, tempat terakhir Giska dan Bima mendaki. Perjalanan dari Yogyakarta menuju Wonosobo mereka tempuh hanya dalam waktu dua jam. Ketiganya berangkat saat subuh, sehingga jalanan masih relatif sepi. Rania, anak perempuan Edo dan Sekar, sementara dititipkan pada sang nenek.

Mobil yang membawa Edo, Sekar, dan Giska memasuki area parkir basecamp pukul setengah tujuh pagi. Ketiganya turun sembari menggendong barang bawaan masing-masing. Suasana basecamp tidak terlalu sepi karena saat itu akhir pekan.

“Mas Edo sama Mbak Sekar masuk dulu aja. Aku mau telepon Bunda, ngabarin kalau udah sampai di sini.”

Setelah beristirahat sejenak, mereka sarapan di kantin terlebih dahulu sebelum melakukan registrasi. Ketiganya bersiap-siap secepat mungkin agar bisa langsung naik setelah ini. “Udah, aku aja yang bayar, Mas. Sekalian sama ojeknya.” Giska menahan Edo yang sudah akan mengeluarkan uang di depan meja pendaftaran. Ia langsung melunasi total biaya perjalanan mereka bertiga.

Regulasi yang berlaku masih sama. Setelah mengurus pendaftaran dan SIMAKSI, ketiganya naik ke boncengan ojek yang akan membawa mereka sampai ke pintu rimba. Setibanya di depan Gapura Rahayu, air mata Giska tanpa sadar mulai mengalir. Ia teringat akan suaminya. Minggu lalu, ia masih berdua dengan lelaki itu saat akan mendaki di sini, persis di tempat ini. Ia dan Bima saling berpelukan dan mendoakan keselamatan masing-masing. Namun kini, ia kembali seorang diri, dengan tujuan untuk menyelamatkan sang suami. Betapa cepat waktu mengubah segalanya.

Baca Juga:  Novel: Padamu Aku Akan Kembali (Part 4)

Sekar memeluk bahu Giska dan mengusapnya beberapa kali. “Yuk, kuat, yuk. Jangan lupa berdoa. Ada kami di sini, Gis. Kamu nggak sendiri.”

Giska mengangguk dan buru-buru menghapus air matanya. Sekarang bukan waktunya untuk bersedih. Masih ada harapan yang harus ia wujudkan, dan masih ada kepercayaan yang harus ia jaga. Orang tua dan mertuanya sudah memercayakan nasib Bima di tangannya. Jadi, ia harus benar-benar berjuang.

Bertiga dengan pasutri itu, Giska pun mulai melangkah naik. Anak tangga demi anak tangga ia lalui dengan tekad kuat. Ketiganya tidak banyak bicara untuk menghemat tenaga. Medan yang mereka lalui kali ini lebih licin dari minggu kemarin, sehingga Giska lebih bergantung pada trekking pole-nya.

Baru beberapa menit berjalan, cuaca mendadak berubah. Awan hitam bergulung-gulung menutupi langit yang semula biru cerah. Angin juga mulai bertiup kencang. Dari kejauhan, tampak kabut mulai turun menutupi pemandangan.

Giska baru menyadari sesuatu. Entah kebetulan atau tidak, kedatangannya dengan Bima minggu kemarin seolah disambut dengan baik. Di musim hujan seperti ini, mereka justru disuguhi pemandangan yang indah serta cuaca yang bersahabat. Lain halnya dengan saat ini. Belum apa-apa, hawa di sekeliling mereka sudah terasa tidak enak.

“Wah, kayaknya nanti siang bakal ujan,” kata Edo, menyuarakan pikiran mereka semua. “Kita harus cepet-cepet, nih.”

Meski ini pengalaman pertama mereka naik Sumbing via Gajah Mungkur, Edo dan Sekar tidak punya waktu untuk menikmati pendakian seperti biasa. Urgensi di balik pendakian kali ini memaksa mereka untuk terus berjalan tanpa banyak menoleh ke kiri-kanan. Mereka hanya fokus pada jalur di depan.

Tidak butuh waktu lama, mereka tiba di pos satu. Hari masih pagi, tapi suasana sudah tampak gelap. Mereka memutuskan untuk tidak lama-lama beristirahat di sana. Target mereka adalah mencapai area camp Watu Talang sebelum sore hari. Kemarin, Asih bilang Giska tidak perlu mendaki terlalu tinggi. Cukup sampai di area camp yang sekiranya lumayan luas dan nyaman untuk Giska berkonsentrasi. Oleh karena itu, mereka tidak akan naik sampai ke Kandang Kidang tempat Giska dan Bima menginap minggu kemarin.

Setelah sepuluh menit melepas lelah di pos pertama, mereka pun melanjutkan perjalanan. Giska berjalan paling depan, diikuti oleh pasutri itu. Satu hal yang sama-sama mereka rasakan adalah pundak mereka begitu berat. Beban carrier di punggung mereka memang tidak ringan, tapi tidak biasanya mereka sampai ngos-ngosan seperti ini. Dada mereka sakit seolah ditusuk-tusuk dengan ribuan jarum.

Edan, emang jalannya nanjak banget opo piye to iki (atau gimana, sih, ini)?” keluh Edo. Anak tangga di depannya seolah tidak habis-habis.

“Kemarin, nggak separah ini, deh, kayaknya,” sahut Giska dengan terengah. Berdasarkan ingatannya, jalur dari pos satu sampai pos dua masih tergolong mudah. Kenapa sekarang terasa begitu ekstrem?

“Udah, ayo, jangan banyak ngeluh. Sambil baca-baca doa aja,” kata Sekar.

Mereka pun mulai memanjatkan doa dalam hati, memohon perlindungan dan kemudahan pada Yang Maha Kuasa. Tak lama kemudian, gerimis mulai turun. Ketiganya berhenti sejenak untuk memakai jas hujan. Baru saja hendak berjalan lagi, tiba-tiba Sekar berseru, “Gis, awas!”

Seekor ular bercorak hitam abu-abu melintas tepat di hadapan Giska yang posisinya paling depan. Untungnya, Sekar dengan cepat menarik Giska mundur. Ular tersebut menyeberangi jalur dan menghilang di balik semak-semak yang lembab.

“Beludak itu. Bahaya, beracun!” kata Edo. Ia pun mengomando mereka untuk bergegas pergi dari sana. “Biar aku yang mimpin di depan. Kamu di tengah aja, Gis. Yang, kamu jaga di belakang.”

Dua perempuan itu mengangguk patuh. Giska masih berusaha meredam detak jantungnya. Baru pertama kali ia melihat secara langsung seekor ular dalam pendakian, tepat di depan matanya pula. Beruntung, ular tersebut tidak muncul lagi dari balik semak-semak.

Mereka tidak bisa memacu langkah terlalu cepat karena gerimis bertambah deras. Tanah menjadi lebih licin, dan pandangan pun semakin terbatas. Sesampainya di pos dua, ketiganya memutuskan untuk berteduh dulu di bawah pepohonan.

“Gimana? Mau lanjut atau kita pasang tenda di sini aja?” tanya Edo pada Giska. “Kalau mau tetep camp di atas, kita jalan lagi sekarang. Kelamaan diem bikin tubuh jadi dingin.”

Area pos dua memang bisa dijadikan tempat camp meski tidak terlalu luas. Giska menimbang-nimbang sejenak sambil melihat waktu di smartwatch-nya. Saat ini sudah pukul setengah sebelas siang. Area camp Watu Talang kira-kira masih berjarak satu jam dari sini.

“Lanjut aja, Mas. Kata Jeng Asih, makin tinggi, akan makin deket sama ‘kerajaan’ si putri,” putus Giska.

Mereka pun tidak membuang waktu. Perjalanan segera dilanjutkan, sesuai dengan permintaan Giska. Saat melewati mata air yang lokasinya berada di bawah turunan, Giska jadi teringat soal tubuhnya yang didorong oleh sosok tak kasat mata. Apa mungkin, yang mendorongnya kemarin adalah Putri Sriwati yang berniat untuk mencelakainya?

Tidak jauh dari sumber mata air tersebut, sampailah mereka di area camp Watu Talang. Ketiganya memilih satu titik yang paling nyaman dan langsung bekerja sama mendirikan tenda. Gerimis sudah mulai reda saat itu. Mereka pun mengganti baju dengan pakaian yang kering agar tubuh tidak kedinginan.

“Kita makan siang dulu sebelum mulai ritual-ritual apalah itu,” kata Edo begitu ketiganya duduk di dalam tenda.

Giska memaksakan diri untuk menghabiskan nasi bungkusnya meski perutnya mulai melilit karena tegang. Setelah ini, perjalanan yang sesungguhnya akan dimulai. Entah akan bagaimana nasibnya nanti, Giska hanya bisa berpasrah diri.

***

Selanjutnya: A Way to Find You (Part 29)

Berita Terkait

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:41 WIB

Novel Hitam Putih Pernikahan (Bab 16)

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:38 WIB

Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 15)

Jumat, 6 Desember 2024 - 14:25 WIB

Novel: Padamu Aku Akan Kembali (Part 7)

Senin, 2 Desember 2024 - 11:23 WIB

Novel : Senja Membawamu Kembali ( Tamat)

Senin, 2 Desember 2024 - 11:13 WIB

Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 30)