Sebelumnya: A Way to Find You (Part 4)
***
BAB 5
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bima termenung tanpa suara. Tadi, Giska bertanya soal apa? Anak? Lelaki itu menyadari ada sekilas rasa sukacita ketika sang istri menyebut soal momongan. Membayangkan kehadiran seorang buah hati di antara ia dan Giska menimbulkan semangat dalam hatinya. Namun, perasaan tersebut tidak bertahan lama. Bagaikan matahari yang tertutup oleh awan hitam, binar di hatinya seketika padam.
Lelaki berusia 31 tahun itu menatap istrinya yang kini tengah tertidur sambil memeluk keponakan mereka. Wajah sang istri begitu sejuk dan tenang bagai mata air di pegunungan. Perempuan itu masih tetap sama. Giska tetaplah perempuan tercantik dan terkasih yang pernah Bima miliki. Giska juga tidak pernah ke mana-mana. Istrinya itu selalu berdiri dengan setia di sampingnya.
Akan tetapi, kenapa Bima merasa Giska semakin jauh? Kenapa perempuan itu terasa semakin asing? Kenapa debar cinta untuk sang istri yang telah ia jaga selama hampir sepuluh tahun ini perlahan memudar?
Bima memejamkan mata. Kepalanya terasa pening. Mimpi itu kemudian datang lagi. Adegan yang sama terus berulang kembali. Dalam pekatnya kabut dan dinginnya hutan, Bima berlari tanpa kepastian. Ia berusaha mencari jalan. Ada sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang, yang ingin ia temukan. Meski semak belukar menggores kulit tubuhnya, dan meski jalan di depannya semakin terjal berbatu, lelaki itu terus memacu langkah. Semua lelah dan luka tidak ia hiraukan. Apa pun yang terjadi, ia harus menuntaskan pencariannya.
Hingga di satu titik, ketika Bima merasa pertahanan dirinya sudah berada di batas terendah, satu tangan mendadak terulur ke arahnya. Bima pun menghentikan langkah. Wanita itu, yang telah meracuni hati dan pikirannya semenjak kepulangannya dari Sumbing, tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapannya.
Si wanita tersenyum lembut ke arah Bima. Telapak tangannya yang putih dan halus terbuka penuh, menanti lelaki itu untuk meraihnya. Bima seketika terpana. Kehadiran wanita itu bagai matahari yang menyilaukan, setelah sekian lama dirinya tersesat dalam kegelapan. Ia merasa telah mencapai akhir tujuan. Wanita itulah yang ia cari. Momen inilah yang ia nanti. Tanpa ragu, Bima menyambut uluran tangan sang wanita, dan mereka pun pergi ke suatu tempat.
“Selamat datang,” bisik wanita tadi, selirih embusan angin.
Bima berdiri mematung, tidak memercayai apa yang ia lihat saat ini. Hutan rimbun di sekeliling mereka menghilang, tergantikan dengan tempat yang begitu megah bak istana. Ornamen-ornamen emas menghiasi setiap sudut dinding bangunannya. Air yang mengalir di air mancur taman tampak berkilau bagai berlian. Berbagai bunga warna-warni indah bermekaran, menguarkan aroma wangi yang menghipnotis indra penciuman. Belum pernah Bima mengunjungi tempat secantik ini seumur hidupnya.
Lagi-lagi, sang wanita berkemben cokelat itu berdiri di depan Bima. Wangi melati dari tubuhnya begitu kuat menusuk hidung, mengalahkan wewangian bunga yang lain. Gelang-gelang emas di tangannya bergemerincing ketika ia bergerak dan menangkup kedua pipi Bima. “Mulai sekarang, kamu akan hidup di sini bersamaku,” ucapnya penuh senyuman, “selamanya.”
Bima mendadak terbangun. Jantungnya berdegup kencang dan napasnya berantakan. Butuh waktu satu menit penuh hingga ia mendapatkan kembali kesadarannya. Ternyata, ia masih berada di kamar yang ada di rumah ibunya. Erlin masih tidur dengan lelap di sebelahnya, sementara Giska sudah tidak terlihat.
Dengan perasaan hampa, Bima beranjak turun dari tempat tidur. Satu tangannya menyeka titik-titik keringat yang muncul di dahi. Lelaki itu lalu melangkah menuju lantai satu, berniat mengambil minum untuk membasahi kerongkongannya yang kering.
“Eh, udah bangun?”
Sapaan lembut dari sang istri menyambutnya di pintu dapur. Di sana, Giska bersama Kinar dan Lani sedang duduk di lantai sembari menyiapkan bahan-bahan masakan untuk acara bakar-bakaran nanti malam. Ketiga perempuan itu menoleh ke arah Bima yang berdiri mematung di ambang pintu.
“Erlin belum bangun, Bim?” tanya Lani. “Kalau belum, minta tolong bangunin, gih. Bilangin, disuruh mandi sama Mama, gitu.”
“Kamu juga mandi sana, Mas. Udah sore,” timpal Giska. Perhatiannya kembali beralih pada sosis yang sedang ia tusuk dengan tusukan sate.
Ketiga perempuan tadi melanjutkan pekerjaan mereka sambil asyik berbincang. Sementara itu, Bima bergeming di tempat. Kedua matanya menatap sang istri lekat-lekat. Tiba-tiba saja, muncul perasaan tidak suka saat melihat wajah perempuan itu.
***
Tinggal satu menit lagi, jarum jam akan menuju ke angka dua belas. Semua orang berdiri di luar gerbang rumah. Keponakan-keponakan Giska tampak asyik bermain sparklers bersama anak-anak tetangga. Sementara itu, beberapa remaja dan orang dewasa bersiap menyalakan roman candle di tangan mereka. Jalanan komplek di depan rumah Kinar cukup luas, sehingga mereka tidak perlu mencari tanah lapang untuk bermain kembang api.
“Bentar lagi! Bentar lagi!” seru Lani setelah mengecek jam di ponselnya. “Siap-siap!”
Hitungan mundur pun dimulai bersama-sama. Begitu mencapai angka satu, langit di sekitar mereka langsung terasa hidup. Pendar cahaya dari berbagai macam kembang api menghiasi gelapnya malam. Gemuruh petasan terdengar dari berbagai penjuru, disertai dengan sorak-sorai dan juga suara terompet.
“Happy new year, all!” kata Giska sambil melambaikan tangan ke arah kamera di ponselnya. Ia lantas merekam suasana di sekitar dengan wajah semringah. Usai mengabadikan momen pergantian tahun tersebut, Giska mematikan kamera dan berdiri di sebelah Bima. Suaminya itu tengah mendongak menatap langit yang kini dihiasi oleh jutaan warna. Posisinya berada paling dekat dengan pagar rumah, agak jauh dari saudara-saudara yang lain.
Giska memeluk tubuh Bima dari samping. Kepalanya ikut menatap ke arah langit. “Selamat tahun baru, Mas. Semoga, tahun ini bisa jadi tahun terindah buat kita,” ujarnya pelan. Pikirannya sejenak berkelana pada berbagai memori yang telah ia lalui bersama Bima tahun lalu. Memang, tidak semuanya indah dan menyenangkan. Ada momen-momen di mana mereka saling merasa kecewa, mengomel, dan juga bersitegang. Namun, Giska sangat bersyukur ia dan Bima berhasil melewati segalanya dengan baik.
“Semoga, apa yang kita harapkan bisa terwujud tahun ini,” imbuh perempuan itu dengan volume yang hanya bisa didengar oleh dirinya dan sang suami.
Giska menyandarkan kepala di bahu Bima. Suaminya itu diam saja dari tadi, tidak memberi respon sedikit pun pada doa-doa yang dilantunkan sang istri. Ia bahkan tidak balas memeluk tubuh Giska. Akhirnya, Giska yang lebih dulu menarik lengan Bima dan melingkarkannya di tubuhnya.
“Onty! Angkel!” panggil Erlin dari jarak beberapa meter. Bocah itu memutar-mutar sparklers di tangannya, berniat untuk pamer.
Giska tersenyum lebar dan melambaikan tangannya. Ia masih belum ingin beranjak meninggalkan sang suami. Biarlah Erlin bermain dengan saudara dan teman-temannya dulu. “Lucu banget dia, ya, Mas,” kata Giska geli. Ia menoleh menatap wajah Bima, kemudian menarik napas perlahan. Inilah tujuan utama ia mendekati sang suami saat ini. Setelah merasa mendapat lampu hijau tadi siang, perempuan itu berhasil mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan satu hal, “Mas, kalau tahun ini kita ikut program hamil, apa kamu siap?”
Barulah, perhatian Bima beralih ke istrinya. Ekspresi lelaki itu sedikit kaget. “Program … hamil?”
Giska mengangguk. “Aku rasa, sekarang aku udah siap untuk punya anak,” ujarnya serius. Sepasang matanya menatap lurus ke mata sang suami. “Kalau kamu setuju, kita mulai konsul ke dokter obgyn pertengahan bulan besok. Gimana?”
Reaksi yang Bima tunjukkan sungguh di luar dugaan. Lelaki itu tiba-tiba saja melepaskan pelukan mereka dan mendorong tubuh sang istri menjauh. Giska spontan tersentak mundur. Hampir saja ia kehilangan keseimbangan kalau tangannya tidak refleks berpegangan pada pagar besi di sampingnya. “Mas?” desisnya tidak percaya.
“Eh, eh! Kunaon eta, teh?”
Suara Kinar makin mengagetkan Giska. Oh, celaka. Kalau sampai ibu mertuanya dan saudara-saudara yang lain tahu apa yang baru saja terjadi, mereka pasti akan berspekulasi bahwa rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja. Giska segera menegakkan badan dan melepas pegangannya dari pagar. “Ehm, nggak pa-pa, kok, Mah. Tadi ada serangga nempel, jadi aku sama Mas Bima kaget.” Ia pun tertawa kering.
Kinar, yang kini sudah berdiri di samping Giska, buru-buru memeriksa tubuh menantunya itu. “Mamah sampe kaget, lho, tiba-tiba Bima dorong kamu gitu. Udah nggak ada, kan, serangganya?”
Giska menelan ludah. Ternyata, sang ibu mertua sempat menyaksikan adegan tadi. Namun untungnya, saudara-saudara yang lain masih sibuk dengan kembang api mereka.
“Lain kali, jangan main dorong gitu, atuh, Bim!” marah Kinar. “Kalau istri kamu jatuh gimana?”
“Namanya juga refleks, Mah,” ujar Giska buru-buru, berusaha membela sang suami. Sementara itu, orang yang ia bela hanya berdiri diam. Alih-alih merespon, lelaki itu malah membalikkan badan dan pergi begitu saja, masuk ke dalam rumah. Giska dan Kinar sampai melongo di tempat.
“Apaan, sih, itu anak?” omel Kinar tak habis pikir. “Kenapa dia, Neng? Aneh kitu dari tadi.”
“M-mungkin, radang tenggorokannya lagi kambuh, Mah. Harus istirahat,” sahut Giska salah tingkah, “Aku masuk dulu, ya.”
“Ada obat di dapur, Neng. Suruh dia minum, gih.”
Giska mengangguk tak acuh. Langkahnya tergesa menuju pintu depan, kemudian langsung ke arah tangga. Pikirannya gusar, tidak berhenti memikirkan kejadian barusan. Tega sekali Bima melakukan itu padanya. Apa Giska salah bicara? Apa lelaki itu tidak suka ia membahas soal anak? Tapi, kalau memang begitu, apakah perlu Bima mendorongnya seperti tadi?
Setelah kekagetannya menghilang, barulah Giska menyadari rasa nyeri di dadanya. Tindakan Bima tadi ternyata mampu melukai hatinya, lebih dari yang ia kira. Selama bertahun-tahun hidup bersama, belum pernah lelaki itu membentak, apalagi bersikap kasar padanya. Segala perselisihan selalu berhasil mereka lewati tanpa melibatkan kekerasan. Oleh karena itu, Giska butuh penjelasan. Setidaknya, harus ada alasan kuat kenapa Bima sampai bertindak kelewatan.
Giska akhirnya tiba di depan kamar. Perempuan itu berhenti sejenak untuk menarik napas dalam-dalam. Biasanya, di waktu seperti ini, ia sedang sibuk membanjiri media sosialnya dengan ucapan serta video tahun baru. Namun sekarang, hal itu tidak terlintas sedikit pun di kepalanya.
Giska membuka pintu kamarnya dalam satu ayunan. “Mas Bima?”
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 6)