Sebelumnya: A Way to Find You (Part 5)
***
BAB 6
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bima tengah duduk di tepi tempat tidur. Posisinya menghadap ke pintu kamar, tapi kepalanya menunduk. Tidak ada jawaban sama sekali atas panggilan sang istri kepadanya. Lelaki itu bahkan tidak bergerak satu senti pun.
Giska masuk dan menutup pintu di belakangnya. Perlahan, ia melangkah mendekat hingga akhirnya berdiri di depan sang suami. Hatinya berkecamuk. Ia ingin menumpahkan protes atas perlakuan lelaki itu. Ia ingin suaminya itu tahu kalau ia sakit hati. Namun, Giska sebisa mungkin menahan diri agar mereka tidak menimbulkan keributan di rumah mertua.
“Mas, kamu marah sama aku?” tanyanya, pelan tapi tegas.
Bima menggeleng. “Nggak,” jawabnya datar.
“Terus, kenapa tadi kamu ….” Giska tidak melanjutkan ucapannya. Perempuan itu menghela napas frustrasi. “Lihat aku kalau lagi ngomong, Mas!”
Karena Bima tidak kunjung mengangkat muka, Giska pun mengalah. Ia berlutut di depan sang suami agar bisa menatap wajah lelaki itu. “Mas, kamu kenapa, sih?” tuntutnya lirih. Segala keluh dan tanya yang telah ia pendam sejak beberapa minggu lalu akhirnya terlepas dari belenggu bibirnya. “Coba ngomong ke aku, kenapa kamu berubah kayak gini? Kamu selalu diemin aku akhir-akhir ini. Nggak pernah ngobrol, nggak pernah peluk atau cium, nggak pernah perhatiin aku lagi. Aku khawatir, Mas. Kamu jadi kayak orang asing.”
Kedua mata Bima memang terarah kepadanya, tapi Giska bisa melihat fokus lelaki itu tidak ada di sana. Giska merasakan sesuatu terpilin di dalam dadanya. “Kamu lagi ada masalah?” tanyanya lagi. Satu tangannya meraih tangan Bima. “Atau, kamu keberatan aku tiba-tiba ngomongin soal anak?”
Bima lagi-lagi menggeleng.
“Ya, terus apa? Kamu kenapa?” kejar Giska, sarat akan keputusasaan. “Please, jangan diem aja, Mas.”
Bukannya menjawab, Bima justru membuang muka. “Pergi, jangan ganggu aku,” tukasnya dingin. Ia menarik tangan kirinya yang ada di genggaman sang istri, seolah tidak ingin perempuan itu menyentuhnya.
Rahang Giska terkatup rapat. Cukup sudah. Kesabarannya habis tak tersisa. Ia tidak bisa lagi menoleransi tingkah aneh suaminya. Perempuan itu berdiri dengan tangan terkepal. Sakit di dadanya makin menjadi-jadi. “Abimanyu Bhakti Pratama,” panggilnya dengan penuh tekanan, “aku kasih kamu waktu buat mikir. Kalau kamu kayak gini terus, jangan harap aku maafin kamu.”
***
Keberadaan mereka di rumah mertua serta serunya interaksi bersama para saudara berhasil membuat Giska melupakan sejenak pertengkarannya dengan Bima. Namun, begitu jatah liburan sudah habis, mau tidak mau ia harus kembali berhadapan dengan situasi tidak menyenangkan itu.
Perjalanan pulang dari Jakarta Barat menuju Tangerang Selatan mereka tempuh dalam keheningan. Sudah hampir dua hari ini, mereka tidak saling bicara. Giska melirik Bima yang tengah fokus menyetir. Sampai sekarang, kata maaf belum juga terucap dari bibir lelaki itu.
‘Keterlaluan,’ batin Giska geram. Ia sejujurnya benci setiap kali mereka diam-diaman seperti ini. Namun, kalau ia ingin membuka percakapan lebih dulu, itu artinya ia harus menekan egonya. Demi Tuhan, haruskah Giska yang selalu mengalah? Tapi, kalau tidak begitu, mau sampai kapan mereka hidup dalam keterasingan seperti ini?
“Mas,” panggilnya begitu mobil terparkir di carport. Giska sengaja menunggu mereka tiba di rumah. Ia takut terjadi hal yang tidak menyenangkan kalau memancing emosi lelaki itu di jalan. Setidaknya, mereka sudah selamat sampai di tujuan.
“Hm?” sahut Bima datar. Lelaki yang baru saja melepas sabuk pengaman itu menoleh ke arah sang istri.
“Kamu serius, mau diemin aku kayak gini?” tanya Giska dengan mata lurus ke depan. Ia enggan menatap wajah suaminya sebelum ada kata damai di antara mereka. “Seenggaknya, kasih tahu aku, apa mau kamu? Diajak ngomong diem. Ditanyain malah marah. Disuruh minta maaf nggak mau. Aku salah apa, sih, Mas?”
“Jangan desak aku terus, Gis,” tukas Bima tajam. Belum-belum, sudah terdengar amarah dalam intonasinya. “Aku nggak suka kamu cerewetin aku kayak gitu.”
“Ya soalnya kamu aneh, makanya aku cerewet!” Suara Giska mulai meninggi. Mau tak mau, ia akhirnya menoleh untuk memelototi sang suami. “Kamu yang mulai duluan, Mas. Kenapa kamu sampai dorong aku kemarin? Kamu kira aku nggak sakit hati?”
“Oke, aku minta maaf kalau gitu! Puas?”
“Oh, udah berani bentak aku sekarang? Jelas, nggak aku maafin!” Giska melepas sabuk pengaman, mencangklong tas di bahunya, kemudian membuka pintu mobil. Percakapan yang ia harapkan menghasilkan titik terang, justru memperparah keadaan. “Udahlah, terserah kamu. Aku capek,” ucapnya ketus sebelum turun meninggalkan Bima.
Seharian itu, Giska memilih untuk mengurung diri di studio rekaman. Apa pun pekerjaan yang bisa ia lakukan, akan ia lakukan untuk menyibukkan pikiran. Perempuan itu sampai menggelar karpet dan mengambil bantal dari kamar tamu agar bisa merebahkan diri di ruang kerjanya. Ia sedang tidak ingin melihat wajah suaminya atau berinteraksi dengan lelaki itu.
Ketika tengah menyunting video pendek di ponsel dengan posisi tengkurap, mendadak setetes air bening jatuh di tangannya. Giska buru-buru menghapus tetesan tersebut, tapi justru semakin banyak yang jatuh menyusul. Tanpa bisa dicegah, perempuan itu terisak. Pertahanan dirinya runtuh.
Dari kemarin, Giska berhasil mencegah air matanya berkat euforia palsu yang ia rasakan di rumah Kinar. Namun sekarang, begitu tinggal ia seorang diri, segala rasa sakit dan lelah itu langsung meledak keluar. Sekuat-kuatnya Giska menahan, pada akhirnya ia hanyalah seorang wanita biasa yang butuh untuk melampiaskan kesedihannya. Belum pernah ia merasa begitu kesepian dan terluka seperti ini gara-gara sang suami.
“It’s okay, nangis aja nggak pa-pa, Gis,” bisiknya pada diri sendiri. Mungkin dengan menangis, hatinya bisa lebih tenang nanti. Ia memeluk bantal dan menumpahkan air matanya di sana. Toh tidak akan ada yang bisa mendengar sedu sedannya di ruang kedap suara ini.
Malam harinya, Giska memutuskan untuk tidur di kamar tamu. Lebih baik, ia tidur sendirian daripada harus menghadapi sumber rasa sakit hatinya. Bima juga tidak berusaha menyusul atau membujuknya sama sekali. Lelaki itu bahkan hanya diam ketika Giska naik ke lantai atas untuk mengambil baju dan beberapa perlengkapan. Untuk pertama kalinya, sepasang suami-istri itu pun berpisah ranjang.
***
Naura mengernyitkan dahi. Ketidakpuasan tergambar jelas di wajahnya ketika melihat hasil rekaman Giska. “Coba ulang, deh. Kok lo nggak semangat gini, sih? Gerakan lo nggak pas sama ritme musiknya,” komentarnya sambil memasang kembali ponsel di dudukan kaki tiga.
Giska menghela napas. Riasan tebal tidak mampu menutupi ekspresi lesu di wajah cantiknya. Siang ini, ia sedang dalam proses pembuatan video transisi sesuai dengan tren di media sosial. Biasanya, membuat video seperti itu memang membutuhkan waktu syuting yang lama. Namun, belum apa-apa, Giska sudah merasa lelah, padahal baru satu setengah jam sejak ia memulai pekerjaannya. “Break dulu, deh. Gue butuh minum,” sahutnya.
Naura mengangguk setuju. Ia pun duduk berselonjor di karpet, membiarkan Giska menikmati waktu istirahatnya. “Eh, lo udah tahu belum? Suaminya si Jesselyn selingkuh.”
“Hah? Yang bener?” Giska terbelalak kaget. Hampir saja dia tersedak minumannya. “Kok gue belum denger beritanya?”
“Ada, nih. Barusan rame di sosmed.” Naura menyodorkan ponselnya yang kini menampilkan portal gosip dengan headline bertuliskan ‘Suami Jesselyn Amore Kepergok Selingkuh di Hotel, Sang Istri Bakal Gugat Cerai?’.
Giska membaca artikel itu dengan tak percaya. Secara pribadi, ia kenal dengan Jesselyn Amore, seorang penyanyi tanah air jebolan ajang pencarian bakat yang namanya cukup terkenal di kalangan anak muda. Ia kerap bertemu dengan Jesselyn di acara-acara tertentu, karena sang penyanyi juga lumayan aktif di bidang kecantikan. “Gue pernah ketemu ama suaminya. Keliatan kayak orang bener, lho.”
“Nah, makanya itu. Kaget, kan? Padahal di sosmed keliatan mesra banget.” Naura menggelengkan kepala dengan prihatin. “Laki-laki zaman sekarang, pinter banget main serong. Tapi, tetep aja, ujung-ujungnya ketahuan.”
Giska tidak menjawab. Kepalanya tiba-tiba seperti dihantam sesuatu hingga membuat tubuhnya membeku. Air mineral dingin yang baru saja ditenggaknya sudah tidak terasa. Kerongkongannya mendadak kering kerontang. Susah payah, perempuan itu menelan ludah. “Mm … Ra, lo tahu nggak, ciri-ciri cowok selingkuh?”
“Cowok selingkuh? Oh, jelas tahu, dong! Lo inget, kan? Gue pernah diselingkuhin waktu kuliah dulu,” jawab Naura. Emosinya bangkit lagi saat harus mengingat kenangan menyakitkan kisah cintanya di masa lalu. “Tu cowok nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba aja sikapnya berubah, kayak orang kesambet.”
Lutut Giska langsung lemas. Ia pun menjatuhkan diri di sebelah sahabatnya. “Berubah gimana?” tanyanya cemas.
“Ya, jadi aneh gitu. Pertama, dia jadi cuek bebek ke gue. Masa hari ulang tahun gue aja dia nggak inget? Terus, makin lama makin sering ngajak ribut, tuh. Dikit-dikit emosi, gue disalah-salahin mulu. Capek gue lama-lama.” Naura bersungut-sungut. “Akhirnya, ketahuan kalau dia selingkuh ama cewek fakultas sebelah. Bego, ih. Mau main belakang, tapi terang-terangan boncengan motor ke kampus.”
Giska tidak mendengar lagi sisa kalimat Naura meski sahabatnya itu bercerita dengan menggebu-gebu. Seribu satu pertanyaan kini menghantui pikirannya.
‘Apa jangan-jangan Mas Bima … Ah, nggak! Nggak mungkin!’
Giska meremas tangannya sendiri. Ia tidak mau menuduh Bima sejauh itu. Dari dulu, ia tidak pernah meragukan kesetiaan suaminya. Namun, sekuat apa pun Giska menyangkal, tidak ada yang bisa menjelaskan penyebab perubahan sikap Bima selain perselingkuhan. Alasan itulah yang paling masuk akal.
“Gis? Kok diem?”
Sentuhan Naura di lengannya membuat Giska terlonjak. “Ehm, emang cowok tukang selingkuh tu brengsek banget! Mending musnah aja, sih, mereka dari bumi ini,” jawab Giska asal. Ia cepat-cepat berpaling dan beranjak dari karpet agar Naura tidak menangkap ekspresi gundah di wajahnya. “Kita mulai lagi rekamannya.”
Selama proses syuting, Giska setengah mati mencoba berkonsentrasi untuk menyelaraskan gerakan tubuhnya dengan ketukan musik. Belum pernah ia menjalani proses rekaman sesulit ini. Meski beberapa kali melakukan kesalahan, akhirnya pekerjaan tersebut selesai juga. Tinggal melakukan penyuntingan rekaman mentah, yang pastinya juga membutuhkan waktu lama.
“Gue pulang dulu, ya,” pamit Naura begitu mereka selesai membereskan ruangan.
Tak terasa, matahari sudah turun ke ufuk barat. Giska mengantar sang manajer sampai ke depan rumah. Bertepatan dengan itu, terlihat Bima yang baru saja turun dari Lexi warna biru miliknya. Bima memang lebih suka pulang-pergi dengan mengendarai motor ketimbang mobil demi menghemat waktu serta biaya. Lelaki itu melepas helm, lantas berjalan menghampiri kedua perempuan tadi di teras.
“Baru pulang kantor, Mas?” sapa Naura ramah. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa pasangan suami-istri itu sedang perang dingin sejak beberapa hari lalu.
Bima mengangguk sambil tersenyum sekenanya. “Iya.”
“Selamat istirahat, deh, kalau gitu. Aku pamit dulu, Mas, Gis!” lambai Naura sebelum naik ke boncengan abang ojek yang telah ia pesan.
“Daah! Ati-ati di jalan!” Giska balas melambaikan tangan. Ia dan sang suami tetap berdiri berdampingan di teras depan sampai Naura tak terlihat lagi bersama ojeknya. Ketika Giska membalikkan badan hendak masuk ke rumah, mendadak satu tangannya dicekal. Langkahnya otomatis tertahan.
“Gis,” panggil Bima dari belakang punggungnya.
Satu tindakan yang sungguh di luar dugaan Giska. Ia kira, suaminya itu masih akan mendiamkannya, entah sampai kapan. Tak urung, jantungnya langsung terpompa lebih cepat. Ada secercah harapan yang timbul saat mendengar panggilan lembut lelaki itu, tapi masih ada juga rasa sakit yang menggelayut. Ia pun berbalik menghadap Bima. “Apa?” tanyanya ketus.
“Balik ke kamar, ya,” pinta Bima, tak disangka-sangka, dengan nada memelas. “Please, tidur sama aku lagi.”
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 7)