Sebelumnya: A Way to Find You (Part 7)
***
BAB 8
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Giska tahu Bima selalu merasa kecewa setiap kali ia menolak ajakan sang suami untuk naik gunung. Giska bisa melihat dari kedua sorot mata lelaki itu. Namun, ia memilih untuk mengabaikannya. Giska pikir, toh masih ada teman-teman lain yang akan mendaki bersama Bima. Selama ia tidak melarang atau membatasi hobi suaminya itu, ia kira tidak akan ada masalah. Bima juga tidak pernah memaksanya untuk ikut. Lelaki itu selalu menghormati keputusan istrinya.
Yang luput dari perkiraan Giska adalah efek kupu-kupu yang ditimbulkan dari penolakannya. Berawal dari satu penolakan ke penolakan lain, hingga akhirnya menyebabkan permasalahan yang lebih serius dalam hubungan mereka. Bima merasa Giska telah berubah, dan baru kini Giska merasa Bima telah berubah.
Air mata Giska jatuh. Betapa bodohnya ia, baru menyadari hal itu sekarang. Ia tidak menyangka suaminya itu merasa kesepian selama ini. Ia terlalu egois memikirkan kebutuhannya sendiri tanpa mau mengerti perasaan sang suami. Mungkin, kekecewaan Bima sudah terlampau besar. Pada akhirnya, memang dirinyalah yang bersalah.
“Halo, Gis?”
Suara Edo mengagetkan Giska. Ia cepat-cepat menghapus air matanya dan berdeham untuk membersihkan tenggorokan. “Terus, menurut Mas Edo, aku harus gimana?” tanya Giska.
“Wah, aku bukan pakar hubungan, Gis. Kamu udah coba ngomong sama Bima dari hati ke hati?”
“Kemarin udah sempet, sih, Mas. Tapi, ya gitu, kayak yang aku ceritain tadi. Mas Bima nggak nanggepin. Semuanya malah makin kacau.” Giska mengembuskan napas dengan lesu saat mengingat perdebatannya dengan Bima. “Jujur aja, Mas. Kami bahkan udah nggak hubungan badan dari beberapa minggu lalu.”
“Waduh! Gawat, sih, kalau itu,” sahut Edo kaget. “Sebagai lelaki normal, tiga hari nggak disalurin aja kadang udah bikin aku uring-uringan, Gis. Kalau Bima nggak minta jatah ke kamu sampai berminggu-minggu, itu udah nggak wajar namanya.”
Giska rasanya ingin menangis lagi. Apakah sebegitu marahnya Bima padanya, sampai-sampai tidak mau menyentuhnya lagi? Apa ini alasan Bima belum mau menanggapi diskusi mereka soal anak? Karena lelaki itu telanjur kecewa padanya?
“Mau coba kutanyain ke Bima langsung? Siapa tahu, dia mau jujur sama aku,” tawar Edo.
“Ng … kayaknya nggak perlu, Mas. Aku coba bicara sama dia dulu.”
“Oke, deh, kalau gitu. Nanti kabarin aku kalau ada apa-apa,” kata Edo. “Yo wis, Gis, aku harus masuk kantor lagi. Oh, ya. Kalau boleh kasih saran, coba aja pancing Bima di kasur. Cowok nggak mungkin lebih mentingin ego daripada nafsunya. Apalagi, kalau liat istrinya dandan cantik dan seksi.”
Giska tertawa kecil mendengar saran Edo yang blak-blakan. “Iya, Mas. Entar aku coba. Makasih banyak, ya. Maaf, kalau aku ganggu waktunya.”
“Nggak, kok. Santai aja.”
“Mm … aku juga minta tolong, jangan ceritain masalah ini ke siapa-siapa, ya, Mas.”
Giliran Edo yang terkekeh. “Iyo, aku tahu. Sekarang kamu udah makin terkenal, to? Sekar sering nonton video-video kamu, lho. Kapan-kapan kalau ketemu, aku mau minta tanda tangan, ah.”
Suasana berubah lebih ringan berkat gurauan Edo. Setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, Giska pun memutus sambungan. Meski belum sepenuhnya mendapat jalan keluar, setidaknya ia merasa sedikit lega karena telah membagi bebannya kepada orang lain. Giska diam-diam bersyukur telah mencuri nomor Edo dari ponsel Bima. Kenapa tidak terpikirkan untuk menghubungi lelaki itu sejak kemarin?
Percakapannya dengan Edo berhasil membantu Giska melihat titik buta yang selama ini ia abaikan. Dengan ini, kecurigaan akan perselingkuhan berhasil terhapuskan dari benaknya. Tinggal bagaimana caranya ia mengajak Bima untuk berkomunikasi dengan lebih terbuka.
Malam itu, Giska sedikit melunak saat melihat sang suami. Memang, ia masih sakit hati atas perlakuan Bima yang kasar kemarin, tapi dirinya juga berhutang permintaan maaf pada lelaki itu. Setelah memikirkan langkah apa yang harus ia ambil untuk mulai menambal hubungan mereka, Giska akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran dari Edo. Sepanjang yang ia tahu, pertengkaran suami-istri biasanya memang berakhir di atas ranjang.
“Pake yang mana, ya?” gumamnya sambil memilih baju di lemari. Rasanya akan terlalu frontal kalau ia langsung memakai lingerie kesukaan ia dan sang suami. Giska akan mulai dengan memakai tanktop berpotongan dada rendah dan celana katun pendek yang membentuk lekuk aset-aset tubuhnya.
Giska tidak mengharapkan Bima langsung ‘mengeksekusinya’ di tempat tidur malam ini juga. Ia hanya ingin menarik perhatian lelaki itu, dan juga memberi kode bahwa ia siap membuka hati untuk memperbaiki hubungan mereka. Sepertinya, usahanya membuahkan hasil. Meski Bima memasang tampang cuek, Giska mendapati lelaki itu mencuri pandang ke arahnya beberapa kali. Saat mereka berbaring di tempat tidur, Giska tidak menjauh kali ini. Ia justru memiringkan badan ke arah Bima hingga belahan dadanya makin terpampang jelas di depan sang suami.
Bima menggeram dalam hati. Ia tidak tahu apakah Giska sengaja memancingnya malam ini, di saat mereka masih dalam situasi gencatan senjata. Kepalanya terasa mau meledak akibat hasrat yang menggelora. Ingin rasanya ia menerkam istrinya saat itu juga. Namun, setiap kali akan beraksi, selalu saja ada tarikan gaib yang menahannya. Berkali-kali tubuhnya terasa panas dan menunjukkan reaksi gairah seorang lelaki, tapi berkali-kali juga Bima merasa kepalanya seperti disiram air es.
‘Sialan,’ desis lelaki itu dalam hati. Dengan kobaran api yang terus mati dan menyala dalam raganya, Bima akhirnya memaksakan diri untuk tidur. Sayangnya, ia tidak menyadari apa yang telah menantinya di alam mimpi.
Bima kembali berada di kamar itu lagi. Sebuah ruangan yang luas dengan langit-langit tinggi dan jendela-jendela besar berbingkai kayu. Tempat tidurnya dihiasi dengan empat tiang jati berukir indah, kanopi, serta kelambu putih. Lantainya juga terbuat dari kayu yang dipernis mengkilap. Sudut-sudut ruangannya dipenuhi oleh beberapa barang antik seperti guci besar dan lemari. Beberapa di antaranya bahkan berkilau bagai emas.
Bima berdiri di tempat favoritnya, yaitu jendela besar yang menghadap langsung ke pemandangan alam di luar. Kamar ini berada di posisi yang tinggi hingga ia bisa melihat pucuk-pucuk pohon di hutan belantara, jauh di bawah sana. Cahaya bulan terpantul di hijaunya dedaunan. Suara hewan-hewan riuh meramaikan sang jenggala, bertemankan tiupan angin yang membelai ranting pepohonan.
“Kenapa kamu tidur bersama perempuan itu lagi?”
Bima terlonjak kaget. Ketenangan batinnya seketika runtuh begitu mendengar pertanyaan bernada tajam tersebut. Saat membalikkan badan, ia melihat wanita itu berdiri di dekat pintu kamar. Tubuhnya kini terbalut kebaya merah tua dengan jarik cokelat. Wajahnya yang dari kemarin selalu terlihat anggun tanpa cela, sekarang tampak berkerut marah. Wanita itu tiba-tiba mendekat, bagaikan melayang cepat menghampiri Bima. Bima tanpa sadar melangkah mundur hingga punggungnya menabrak daun jendela.
“Kemarin, kamu sudah berhasil mengusir perempuan itu. Kenapa kamu memintanya kembali?” tuntut si wanita. Kedua tangannya menyentuh lengan Bima. “Tidak bisakah kamu tidur di sini bersamaku?”
Lidah Bima mendadak kelu. Dengan posisi terpojok, ia tidak punya daya untuk melepaskan diri dari wanita itu. Kekuatan fisiknya seolah tidak berlaku di alam ini.
“Ayo, tidurlah di sini bersamaku,” bujuk si wanita sambil menggandeng Bima ke tempat tidur dan membaringkan lelaki itu di sana. Ia sendiri duduk di tepi kasur, tepat di samping lelaki pujaannya yang tergolek pasrah bagai boneka. Ia membungkukkan badan hingga wajahnya berjarak satu jengkal dari wajah Bima. “Lupakan perempuan itu,” bisiknya penuh sugesti. “Hanya ada aku dan kamu di sini. Jangan pernah menyentuh dia lagi. Aku tidak akan membiarkannya.”
Bima merasa terhipnotis oleh kata-kata tersebut. Ia tidak mengiakan, tapi tidak juga membantah. Bima memejamkan mata rapat-rapat saat merasakan dua tangan wanita itu mulai menggerayangi tubuhnya. Tanpa sadar, erangan lirih lolos dari tenggorokannya.
“Mas? Mas Bima?”
Tepukan halus di sebelah pipi menyeret Bima kembali ke alam nyata. Namun, ia masih bisa merasakan tangan wanita misterius itu di sekujur tubuhnya. Sendi-sendi di badannya seolah terkunci.
“Mas! Bangun!”
Giska menepuk pipi Bima lebih keras saat lelaki itu terus mengerang dalam tidurnya. Ia mengira, Bima bermimpi buruk karena suaminya itu tidak pernah mengigau selama ini.
“Mas Bima!” Satu panggilan kencang dari Giska yang disertai dengan guncangan di tubuh akhirnya berhasil membangunkan Bima. Lelaki itu membelalak. Napasnya memburu seolah baru selesai lari maraton. Titik-titik keringat dingin muncul di dahinya.
“Kamu mimpi buruk, ya?” tanya Giska.
Bima menoleh ke arah sang istri yang kini menatapnya dengan sedikit khawatir. Dadanya seolah akan meledak oleh detak jantungnya sendiri. Berbagai macam perasaan bergejolak di dalamnya. Ada rasa lega, senang, marah, juga frustrasi. Ia tidak bisa lagi mencerna apa yang terjadi. Mengikuti instingnya, lelaki itu menerjang sang istri dan menguncinya di atas tempat tidur.
“Mas!” Protes kekagetan Giska tak terdengar kelanjutannya saat Bima membungkam bibir perempuan itu dengan bibirnya.
Giska tidak bisa melawan. Kedua tangannya tertahan erat di atas kepala. Akhirnya, ia hanya bisa membalas aksi sang suami. Giska mencoba mengimbangi gerakan Bima di bibir dan mulutnya, yang semakin lama semakin ganas. Satu tangan Bima yang bebas turun ke pinggulnya dan memberinya remasan halus. Kepala Giska terasa makin ringan. Setiap kali kulit mereka saling bersentuhan, gelombang kenikmatan membanjiri otak dan saraf tubuh masing-masing.
“Mas, lepasin. Sakit,” rintih Giska di sela ciuman panas mereka. Ia berusaha menggerakkan tangannya yang masih berada dalam cekalan Bima.
Bima tersentak. Bagai terkena tamparan, lelaki itu langsung tersadar dan melepaskan tangan Giska. Tidak hanya itu, ia juga beranjak berdiri dari tempat tidur menjauhi sang istri. “Maaf,” ujarnya sembari memalingkan wajah, kemudian mengusapnya dengan kasar.
Giska bangkit duduk. Napasnya sedikit terengah. Bibirnya terasa agak bengkak. Ia mengusap pergelangan tangannya yang memerah. “Nggak pa-pa,” sahutnya lirih dengan kepala tertunduk. Sebenarnya, ia ingin marah, tapi ciuman intens sang suami berhasil mengaburkan akal sehatnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Bima meninggalkannya menuju ke kamar mandi. Giska melirik jam digital di atas nakas. Baru pukul sebelas malam lebih sedikit. Tadi, mereka memang belum tidur terlalu lama sampai tiba-tiba Bima mengigau.
Giska mengempaskan tubuh kembali ke tempat tidur. Satu tangannya menyentuh bibirnya yang kini menyunggingkan senyum kecil. Firasatnya benar. Suaminya itu jelas termakan godaannya. Besok malam, ia akan mencoba lagi, dan Giska akan memastikan Bima tidak akan melepaskannya seperti tadi.
Malam berlalu tanpa kejadian yang lain. Giska tidak tahu kapan Bima kembali ke tempat tidur, ataukah lelaki itu kembali ke sana. Ia sudah terlelap duluan semalam. Saat bangun, sang suami tidak ada di sampingnya.
Giska beranjak ke kamar mandi untuk memulai aktivitas pagi. Ketika bercermin di depan wastafel, perempuan itu tertegun. Perhatiannya langsung terarah pada tangan kanannya.
“Apa ini?”
Di antara kulitnya yang putih, tercetak jelas bekas kebiruan di pergelangan tangan tempat Bima mencekalnya semalam.
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 9)