Novel: A Way to Find You (TAMAT)

- Penulis

Senin, 2 Desember 2024 - 09:48 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Novel: A Way to Find You (Part 22)

Novel: A Way to Find You (Part 22)

Sebelumnya: A Way to Find You (Part 32)

***

Novel: A Way to Find You (TAMAT)

BAB 33

Bima merasakan tubuhnya mendadak tertarik pergi. “Gis!” panggilnya panik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Giska meraih tangan Bima, tapi terlambat. Lelaki itu raib dari pandangannya. “Mas Bima!”

“Jangan takut. Suamimu sedang dibawa pulang. Kamu bisa menemuinya di rumah nanti,” kata Putri Indrawati, yang tiba-tiba sudah berdiri di dekat mereka. Dengan kehadiran sang putri di sana, antek-antek Putri Sriwati tidak berani menyerang.

Giska menganga. Rasa lega seketika membanjiri dadanya. Ternyata, itu alasan Ki Suko tiba-tiba memanggil nama Asih tadi. Asih, yang saat ini masih menjaga Bima di rumah sakit, bertugas untuk menarik sukma lelaki itu begitu keadaan sudah aman.

“Kamu juga pulanglah. Tidak aman di sini. Biar aku yang mengurus Sriwati.” Putri Indrawati mengangkat tangannya ke kepala Giska. Bibirnya menyunggingkan senyum. “Datanglah kapan-kapan ke Sindoro. Aku akan menyambut dengan tangan terbuka siapa pun manusia yang mencintai dan mau menjaga alam. Kamu adalah salah satunya. Aku bisa melihat ketulusan hatimu. Dengan kejadian ini, kuharap rasa cintamu pada gunung dan alam tidak akan berubah.”

Giska mengangguk. “Terima kasih, Putri,” ucapnya, bergetar oleh rasa haru. Sebelum menutup mata, Giska sempat melihat Mbah Wiro mengangkat tubuh Ki Suko dari tanah. Dua sosok itu dengan cepat menghilang seperti asap. Sekarang, waktunya ia yang pergi dari sana. Pandangan Giska berubah gelap, dan beberapa detik kemudian, ia kembali ke dalam raganya yang ada di basecamp.

“Oh, Mbak! Alhamdulillah, udah bangun.” Pak Pram, salah satu penjaga di basecamp, tiba-tiba sudah berada di sebelahnya. Lelaki itu mengembuskan napas lega. “Mbaknya tidur lama banget, tapi saya nggak enak mau bangunin.”

Giska langsung bangkit duduk. “Jam berapa sekarang, Pak?” tanyanya.

“Sekarang udah mau maghrib. Mbaknya udah di sini dari pagi tadi, kan?”

Giska mengangguk. Dalam hati, ia sedikit panik. Kemarin, saat memesan tiket travel, ia sudah sekalian memesan tiket untuk pulang. Travel akan berangkat pukul setengah delapan nanti. Kalau tidak bergegas, ia bisa terlambat. “Pak, di sekitar sini ada ojek nggak, ya? Saya harus ke terminal sekarang.”

“Ada tetangga dekat sini yg biasanya narik ojek, Mbak. Mau saya panggilin?”

Giska langsung mengangguk. “Makasih banyak, Pak.”

Pak Pram sebenarnya sedikit bingung. Dari kemarin, perempuan ini sudah beberapa kali datang ke basecamp. Dalam kurun waktu kurang dari dua minggu, Giska telah mendaki di sini dua kali. Sekarang malah lebih aneh lagi. Perempuan itu hanya menumpang tidur di basecamp. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang sedang terjadi, tapi Pak Pram memilih untuk tidak ikut campur.

Sembari menunggu Pak Pram memanggilkan abang ojek, Giska mencuci muka dan membereskan barang-barangnya. Ponselnya berdering tepat saat ia selesai bersiap-siap. Ada panggilan masuk dari Kinar!

“Halo, gimana, Mah?” Giska menerima panggilan dengan harap-harap cemas.

“Neng, Bima udah sadar. Barusan dia udah bangun, Neng.” Kinar menangis tersedu di seberang.

Giska menutup mulut. Air mata meluncur begitu saja di kedua pipinya. Perempuan itu berusaha menahan isakannya. “Aku pulang sekarang, Mah. Aku segera pulang. Tunggu aku di sana.”

Sebelum menutup telepon, Kinar mendoakan keselamatan menantunya di jalan. Giska tiba di terminal tepat waktu berkat bantuan si penjaga basecamp. Ia menempuh beberapa jam perjalanan di dalam travel dengan penuh ketidaksabaran. Ia ingin segera menemui suaminya. Ia ingin melihat Bima sudah benar-benar sadar dan membuka mata. Kerinduannya pada lelaki itu sudah tidak tertahankan lagi.

Akhirnya, setelah waktu yang ia rasa mencapai berabad-abad, Giska tiba di Tangerang Selatan. Waktu masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Ia segera mencari ojek atau taksi yang bisa membawanya ke rumah sakit.

‘Mas Bima, tunggu aku,’ ucapnya berulang kali dalam hati.

Giska nyaris berlari begitu tiba di rumah sakit. Ia tidak memedulikan orang-orang yang menatapnya dengan heran. Fokusnya hanya tertuju pada ruang rawat Bima yang terletak di lantai tiga. Karena lift bergerak turun terlalu lambat, ia pun berlari naik lewat tangga.

Dengan napas terengah, Giska membuka pintu kamar Bima. Saat itulah, ia tahu penantian panjangnya telah berakhir. Di sana, di atas ranjang tempatnya terbaring selama beberapa hari, Bima duduk dan tengah meminum segelas air mineral dengan bantuan Kinar. Selang-selang yang kemarin masih terpasang di tubuhnya kini telah dilepas. Lelaki itu menoleh ke arah Giska.

Giska menjatuhkan ranselnya di lantai. Kakinya terasa lemas, tapi ia berusaha menyeret tubuhnya maju. “Mas,” panggilnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Bima menyambutnya dengan senyum hangat. Senyum yang Giska rindukan setengah mati. Ia tidak tahu akan jadi seperti apa hidupnya nanti apabila ia tidak bisa melihat senyum itu lagi. Saat Bima mengangkat kedua tangannya yang lemah, Giska menerjang maju dan memeluknya. Perempuan itu luruh dalam tangis bahagia. Ia tidak bisa menggambarkan rasa lega dan syukur yang membuncah dalam dadanya.

Di sebelah tempat tidur, Kinar ikut mengusap air mata yang membanjiri kedua pipinya. Betapa indah pemandangan yang ia saksikan saat ini. Anak dan menantunya telah kembali bersatu setelah melewati berbagai halang rintang yang menyesakkan hati.

Bima mengusap kepala Giska dengan lembut. “Kamu pasti capek, ya?” tanyanya lirih. “Maafin aku.” Diciumnya kepala Giska berkali-kali.

“Jangan tinggalin aku lagi, Mas,” isak Giska. “Jangan pernah tinggalin aku lagi.” Setelah isakannya agak reda, ia mengangkat kepalanya untuk menatap sang suami. “Dan jangan pernah simpan rahasia apa pun dari aku. Kalau ada yang gangguin kamu, kamu harus langsung bilang ke aku, oke? Mau itu makhluk halus kek, alien kek, aku bakal lawan mereka semua!”

Bima mengangguk perlahan. Senyumnya sedikit melebar, “Beruntungnya aku punya istri perkasa kayak kamu,” ucapnya geli.

Giska kembali memeluk sang suami. Meski air matanya masih berlinang, bibirnya ikut menyunggingkan senyum. “Aku akan lakuin apa pun demi kamu, Mas. Inget itu.”

***

Naura berkali-kali menoleh ke kanan-kiri, tapi orang yang ia tunggu tidak kunjung muncul. Saat ini, ia tengah berdiri di dekat pintu masuk sebuah restoran yang menjadi tempat janji temunya dengan pihak Lovela. Naura sempat khawatir Giska tiba-tiba tidak datang dan membatalkan kerja sama ini. Masalahnya, pihak Lovela sudah menunggu di dalam restoran sejak hampir sepuluh menit yang lalu.

“Ke mana itu anak? Telepon juga nggak diangkat,” keluh Naura cemas. Ia mengecek ponselnya, tapi tetap tidak ada kabar dari Giska.

“Ra!”

Tepat saat itu, orang yang ia tunggu mendadak muncul sambil berlari ke arahnya. Naura mendesah lega. “Dari mana aja lo? Kenapa nggak angkat telepon?” omelnya. Ia membantu merapikan baju dan rambut Giska yang kini sudah berdiri di depannya.

Baca Juga:  Novel : Bertahan di Atas Luka Part 40

“Sori, sori. Gue lagi urus administrasi di rumah sakit tadi. Sore ini, Mas Bima udah boleh pulang.”

“Serius? Syukurlah.” Naura langsung melupakan kekesalannya. Ia ikut senang mendengar kondisi suami sahabatnya itu. “Beberapa hari ini, lo bener-bener kayak zombie, tahu, nggak? Udah nggak ada semangat-semangatnya buat idup.”

Giska meringis. “Separah itu, ya?”

Naura mengangguk. “Gue seneng situasi udah membaik sekarang. Suami lo beneran udah nggak pa-pa?”

“Iya. Mas Bima udah sadar sepenuhnya, terus tinggal masa pemulihan aja. Kata dokter, asal banyak makan sama istirahat, nggak lama juga bakal sehat.”

“Jadi, lo udah siap kerja lagi sekarang?”

Giska mengangguk mantap. Ia tahu betul selama beberapa hari ini, Naura juga ikut pusing mengurus jadwal pekerjaannya yang berantakan. “Yuk, masuk!”

Pertemuan hari itu berjalan lancar. Giska akhirnya berhasil meneken kontrak dengan brand kecantikan favoritnya. Mimpinya selama ini akhirnya menjadi kenyataan. Ia bisa membayangkan perjalanan karirnya yang makin cemerlang di masa depan.

***

Hampir satu tahun telah berlalu. Tidak ada yang bisa melupakan tragedi mengerikan itu, tapi lama-kelamaan, Bima dan Giska sudah mulai berdamai dengan kenangan mereka. Keduanya menjadikan peristiwa itu sebagai pengingat rasa syukur atas kehadiran pasangan mereka sampai hari ini. Untungnya juga, tidak ada yang terluka, termasuk Ki Suko. Giska sempat mengirimkan bingkisan sebagai ucapan terima kasih pada si kakek yang berada di Kudus.

Sore ini, Giska tengah mempersiapkan kejutan kecil untuk ulang tahun pernikahan mereka yang keenam. Dengan hati-hati, ia memasang kamera tersembunyi di dalam kamarnya. Ia ingin merekam momen mendebarkan ini sebagai kenang-kenangan.

Sebentar lagi, Bima akan pulang dari kantor. Suaminya itu sudah seratus persen sembuh seperti sedia kala. Tidak ada lagi gangguan-gangguan aneh yang menghantui mereka. Hubungan pasutri itu juga bertambah erat semenjak Giska hampir kehilangan sang suami.

Giska memakai sweater tebal, membubuhkan sedikit bedak ke wajahnya agar terlihat pucat, lalu beranjak ke tempat tidur. Ia buru-buru menutup tubuhnya dengan selimut saat mendengar pintu rumah terbuka. Tak lama kemudian, Bima masuk ke kamar mereka.

“Gis? Kamu tidur?” tanya Bima heran saat melihat sang istri terbaring lemah di atas tempat tidur. Ia meletakkan ranselnya di meja, lalu menyusul Giska naik ke kasur. “Lho, kamu sakit?” tanyanya lagi dengan nada cemas.

“Nggak tahu, Mas. Badanku nggak enak dari tadi siang,” keluh Giska, memulai aktingnya.

Bima memeriksa suhu tubuh Giska dengan menempelkan punggung tangannya ke kening sang istri. “Pasti kecapekan, ya? Kan, udah aku bilang, jangan terlalu banyak kerjaan. Besok, aku bilang ke Naura, deh, minta jadwal kamu dikurangin.”

“Kok, gitu?” protes Giska. Ia hampir tidak bisa menahan tawa melihat wajah khawatir sang suami.

“Kamu lupa? Kita lagi ikut program hamil, lho, Gis. Kata dokter, kamu harus jaga kesehatan.” Bima dengan lembut memijat salah satu lengan Giska. “Nggak boleh kecapekan, nggak boleh telat makan, sama nggak boleh lupa minum vitamin.”

Giska terdiam sejenak. “Kamu bener,” ucapnya kemudian. Ia menghela napas, pura-pura sedih. “Berarti, nggak boleh naik gunung juga, ya, Mas?”

“Iya. Sementara ini, kita absen dulu. Cari olahraga yang ringan aja.”

“Emang, kamu nggak bakal kangen naik gunung?”

“Pasti kangen, lah. Tapi, kamu udah ngajarin aku arti prioritas, Gis.” Bima tersenyum. “Kalau emang keadaan nggak mengizinkan, aku nggak akan egois. Aku lebih mementingkan kebersamaanku sama kamu.”

Mendengar kata-kata sang suami, Giska jadi terharu. Ia hampir lupa dengan rencana kejutannya. Perempuan itu pura-pura mengeluh kesakitan sambil terbatuk-batuk.

“Kita ke dokter aja, ya?” kata Bima panik. Ia segera turun dari tempat tidur dan berjalan ke sebelah Giska. “Bisa jalan sendiri, atau mau aku gendong?”

“Gendong.” Giska dengan manja mengulurkan tangan.

Bima menyibakkan selimut yang menutupi setengah tubuh Giska. Kedua matanya membelalak saat melihat dua benda yang ada di atas perut sang istri, yang sejak tadi tertutupi oleh selimut. “Apa, ini?” tanyanya sambil mengangkat test pack yang menunjukkan dua garis berwarna merah. Butuh waktu beberapa saat sampai otaknya berhasil mencerna. Lelaki itu berjengit kaget. “Gis … ini ….”

Giska tersenyum lebar. Ia menyudahi perannya sebagai orang sakit dan bangkit duduk. Ia mengambil satu benda lain yang ada di atas tubuhnya, yaitu cetakan hasil USG, lalu ia tunjukkan pada Bima. “Gara-gara ini, nih, kita nggak akan bisa naik gunung lagi sampai entah kapan,” ujarnya sambil menyeringai.

“Astaga, Ya Tuhan.” Bima terduduk di tempat tidur, tepat di samping istrinya. Ia meraih hasil USG dari tangan Giska. “Ini … anak aku? Anak kita?” tanyanya tak percaya. Tangannya mengusap gambar berwarna hitam putih itu dengan hati-hati.

Giska tertawa. “Ya iyalah, masa anak tetangga?” candanya. Ia mengusap perutnya yang masih tampak rata. “Anak kamu udah dua bulan ada di sini, lho, Mas.”

Bima meletakkan test pack dan hasil USG tadi, kemudian ikut mengusap perut Giska. Kedua mata lelaki itu berkaca-kaca. “Anak aku,” ujarnya lirih. Ia pun memeluk Giska dan menciumi pipi sang istri. Air mata meleleh dari kedua matanya.

Giska tidak bisa menahan air matanya sendiri. Ia balas memeluk suaminya dengan erat. “Kamu seneng nggak, Mas, sama kejutan aku?” tanyanya. “Padahal, anniversary kita masih besok, tapi aku udah nggak sabar mau kasih tahu kamu malem ini.”

“Aku bahagia banget,” jawab Bima setengah terisak. Ia menumpahkan air matanya di pundak sang istri. Setelah tangisnya mereda, Bima melepas pelukan mereka. “Kok, kamu nggak kasih tahu aku dari kemarin? Aku juga nggak pernah lihat kamu mual-mual atau gimana, gitu.”

“Eh, jangan salah. Aku tiap pagi nahan mual, tahu,” gerutu Giska. “Tapi, gejala kehamilanku nggak parah banget, kok. Dia nggak rewel juga. Iya, kan, Sayang?” Giska kembali mengusap perutnya dengan lembut.

Bima menundukkan badan, kemudian mencium perut Giska. “Anak Papa pinter. Jangan bikin Mama kamu kewalahan, ya, Sayang,” bisiknya.

“Yee, bapaknya yang bikin ulah, anaknya yang disuruh tanggung jawab,” cibir Giska.

Bima tertawa. “Ya udah. Sebagai bentuk tanggung jawab suami yang baik, besok aku siapin acara spesial buat anniversary kita. Gimana?”

“Nah, gitu, dong.” Giska tersenyum senang. Ia membelai rambut sang suami. “Nggak ada yang bikin aku lebih bahagia dari ini, Mas. Makasih, ya, udah ada di samping aku sampai sekarang.”

“Aku juga.” Bima meraih tangan Giska, lalu menciumnya. “Makasih, udah berjuang setengah mati buat aku. Makasih, karena kamu nggak pernah nyerah di masa-masa sulit sekalipun. Nggak ada istri sesempurna kamu di bumi ini, Anggiska Putri Bethari. I will always love you, no matter what.”

Giska mencium Bima sambil berjanji dalam hati. Kalau kelak sang suami menghilang lagi, ia akan berusaha menemukan lelaki itu, meski hanya ada satu cara yang tersisa.

-TAMAT-

Follow WhatsApp Channel www.redaksiku.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Novel Hitam Putih Pernikahan (Bab 16)
Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 15)
Novel: Padamu Aku Akan Kembali (Part 7)
Novel : Senja Membawamu Kembali ( Tamat)
Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 30)
Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 29)
Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 28 )
Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 27 )

Berita Terkait

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:41 WIB

Novel Hitam Putih Pernikahan (Bab 16)

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:38 WIB

Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 15)

Jumat, 6 Desember 2024 - 14:25 WIB

Novel: Padamu Aku Akan Kembali (Part 7)

Senin, 2 Desember 2024 - 11:23 WIB

Novel : Senja Membawamu Kembali ( Tamat)

Senin, 2 Desember 2024 - 11:13 WIB

Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 30)

Berita Terbaru

Cuti Bersama Desember 2024, Berikut Tanggalnya

Pendidikan

Cuti Bersama Desember 2024, Berikut Tanggalnya

Senin, 16 Des 2024 - 14:40 WIB