Novel : Bertahan di Atas Luka Part 43
Bayu Ramadhan
Aku kaget ketika hari itu Amira akhirnya datang ke Depok. Aku memang sengaja tidak menghubunginya sejak peristiwa pertengkaran kami, waktu aku baru saja tiba di Indonesia. Terus terang aku masih sakit hati karena ulahnya. Jadi, lebih baik kami tidak bertemu dulu sambil introspeksi diri masing-masing. Selain itu, aku juga punya tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan dari Bapak Abdurrahman.
Rencana pembukaan restoran timur tengah milik Pak Abdurrahman harus segera terlaksana. Semua persiapan dari mulai mengadakan riset dan perencanaan konsep restoran, analisis pasar, dan rencana bisnis sudah kulakukan. Restoran fine dining menjadi pilihanku, mengingat para calon pelanggan yang pernah umrah rata-rata adalah keluarga yang mampu. Restoran ini nantinya akan mengambil konsep restoran di Saudi, yang memiliki ruangan-ruangan khusus untuk makan dengan karpet tebal dan sofa di lantai. Namun, aku juga akan menyediakan kursi-kursi untuk yang tidak terbiasa makan di bawah. Sementara itu untuk dekorasi, aku akan meminta Pak Abdurrahman untuk mengirim pernik-pernik yang menjadi ciri khas negara itu, seperti hiasan pedang, tulisan-tulisan kaligrafi Arab, dan perlengkapan makan dari Saudi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk menu, tentu saja beraneka ragam menu Arab, dari nasi kabsa dengan ayam atau kambing panggang, juga kudapan ala Arab seperti swarma, falafil, mutabak, luqaimat, dan lain-lain. Aku harus meminta bantuan perusahaan survei untuk mengadakan riset calon pelanggan. Setelah itu aku harus survei lokasi dan mengurus izin dan legalitas. Selanjutnya desain ruang dan rekruitmen dan pelatihan karyawan. Untuk lokasi aku sudah menemukan beberapa yang kuanggap cocok, daerahnya strategis, tidak terlalu ramai, tapi mudah dicapai.
Rencana berikutnya adalah pemasaran dan promosi, pengelolaan keuangan, rencana pembukaan, dan evaluasi. Semuanya membutuhkan tenaga dan pikiran. Oleh karena itu, aku harus mengesampingkan dulu masalahku dengan Amira. Makanya, aku sengaja tidak mengirim pesan atau meneleponnya.
Aku juga ingin memberikan kesempatan kepada Amira untuk berpikir. Kami sama-sama berpikir, apa yang akan kami lakukan selanjutnya. Apakah pernikahan ini akan bertahan atau harus hancur? Sebulan lamanya kami kembali hidup terpisah, sampai siang itu Amira datang.
Melihatnya di rumah saat itu, menimbulkan pertentangan dalam hatiku. Rindu yang membuncah bercampur dengan rasa sakit yang tak akan hilang. Aku merasa sangat bodoh karena bisa dibohongi. Selama ini Amira telah berdusta padaku. Ia sama sekali tidak berusaha untuk mempertahankan pernikahan kami, sebaliknya, ia malah bersenang-senang dengan laki-laki lain.
Namun, saat memandang wajah dan tubuhnya siang itu—berbalut gamis coklat susu dan jilbab motif coklat tua—membuatku melupakan sejenak emosi yang sempat hadir. Aku terpana. Ingin rasanya memeluk dan merasakan kelembutan kulit serta aroma harum tubuhnya, tapi amarah masih menguasaiku.
Kami sepakat untuk saling bicara secara terbuka. Aku yang tadinya ragu untuk membuka diri, akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan semua isi hatiku, dari kekecewaan karena belum juga punya anak, sampai amarahku pada Pras.
“Makanya, aku sengaja nggak ngasih tahu kalau aku mau pulang, pingin ngasih kejutan, tapi ternyata … aku yang kaget. Bisa kamu bayangkan sakit hatiku saat itu? Melihat istri yang dirindukan pergi dengan lelaki lain?” teriakku menggelegar.
Darahku seperti naik ke ubun-ubun, apalagi saat membayangkan Amira dan Pras pergi berdua. Harga diriku sebagai laki-laki dan seorang suami seperti diinjak-injak. Aku yang begitu kuat berusaha untuk tetap menjaga keutuhan rumah tangga kami, merasa sia-sia karena Amira sama sekali tidak peduli.
Amira tersentak mendengar teriakanku. Ia pasti tidak menyangka aku akan semarah ini. Ia hanya bisa menangis seperti biasa, kalau sudah tidak mampu menjawab pertanyaanku. Seperti yang sudah-sudah, amarah di hatiku luluh melihat air mata Amira yang bercucuran dan isakannya yang menyayat hati. Aku bergerak dan segera memeluknya erat. Biar bagaimanapun, ia masih istriku, masih menjadi tanggung jawabku untuk mendidiknya.
Kami berpelukan lama, seolah ingin meleburkan kerinduan yang selama ini terpendam. Rasa marah dan sakit hati seolah menguap bersamaan dengan kesadaran akan kesalahan dan kelemahan masing-masing. Hatiku ikut menangis menyaksikan isakan Amira. Ia seperti melepaskan semua beban dan kecewanya pada pernikahan kami.
Ia juga mengeluarkan semua sakit hatinya padaku, sesuatu yang tadinya kuanggap sepele. Benar kata Ustaz Faruq, apa yang menurut kita remeh, tapi tidak bagi istri kita. Perempuan memang selalu lebih sensitif. Mereka susah dimengerti, itulah keistimewaan yang Allah berikan. Meskipun kadang terlihat sangat kuat dan mandiri, sebetulnya mereka lemah dan ingin dilindungi, dimanja, dan diperhatikan.
Aku yang selama ini tidak pernah berpikir kalau itu akan menyakitkan buat Amira, baru menyadari bahwa mendengarkan ia bercerita saja bisa membuatnya begitu bahagia. Begitu juga memberikan perhatian, walaupun kecil, sangat berarti untuknya. Pantas saja Amira selalu cemberut ketika aku pulang kantor, alih-alih mendengarkannya bercerita, aku malah asyik dengan ponsel.
Halaman : 1 2 Selanjutnya