Namun, aku juga berusaha membela diri. Aku heran, kenapa Amira tidak langsung bicara dan menyatakan keinginannya? Kenapa ia harus menyimpan dan memilih untuk diam? Mungkin itulah sifat perempuan. Memang agak sedikit terlambat menyadari setelah lebih dari delapan tahun pernikahan, tapi semuanya butuh proses. Aku pun butuh belajar lebih banyak dalam memahami Amira dan love languages-nya. Menikah adalah menyatukan dua pribadi berbeda denagan latar belakang berbeda pula.
Ternyata, menikah bukan hanya masalah cinta, tapi lebih dari itu. Juga bukan hanya komunikasi, melainkan kesabaran untuk mendengarkan dan menghargai pasangan. Aku akui, sebagai anak tunggal, memang terbiasa mengambil keputusan sendiri, bukan apa-apa, hanya ingin menghemat waktu dan lebih efisien. Tadinya aku berpikir Amira terlalu berlebihan karena semuanya harus dibicarakan lebih dulu. Namun, memang seperti itulah suami istri. Pasangan hidup adalah teman, sahabat, dan tempat berbagi.
Aku ke kamar untuk melihat kondisi Amira. Perempuan terkasih itu tampak tertidur dengan pipi basah oleh air mata.Wajah itu terlihat sangat menderita, pasti karena suaraku yang keras dan kasar. Biarlah, Amira harus menyadari kesalahannya pergi dengan Pras. Ia butuh waktu untuk memikirkan semuanya, sama seperti aku juga yang membutuhkan waktu untuk menata hati.
Pertengkaran tadi memang harus terjadi cepat atau lambat. Kami tidak bisa menunda-nunda lagi. Kami juga harus segera mengambil keputusan. Ada rasa nyeri menekan ulu hatiku, saat membayangkan akan berpisah dengan Amira. Apakah aku harus memaafkannya dan menganggap seperti tidak pernah ada masalah? Apakah ia akan memaafkanku? Tubuh dan pikiranku sangat letih. Pelan-pelan dan hati-hati aku membaringkan diri di samping Amira, khawatir membangunkannya.
“Mir, kita sudah bicara banyak tadi, kita sudah saling berteriak mengeluarkan rasa kesal dan kecewa, kini semuanya terserah padamu. Apakah kamu mau tetap melanjutkan pernikahan ini, atau tetap ingin berpisah. Kalau kamu mau tetap bersamaku, tolong lupakan cintamu pada Pras, seberapa pun besarnya itu. Aku berhak merasa cemburu,” bisikku lirih sambil menoleh dan memandang wajahnya.
-bersambung-
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel
Halaman : 1 2