Novel : Bertahan di Atas Luka Part 45 (Tamat)
Amira Dzakiya
Suara azan Magrib berkumandang indah di Masjid Haram, Mekkah. Kupandang bangunan berbentuk kotak hitam di hadapanku dengan berjuta perasaan. Air mata berlomba menetes penuh keharuan. Aku sangat bersyukur Allah izinkan lagi untuk bisa kembali ke sini. Pandanganku beralih kepada sosok lelaki tegap berpakaian ihram di depanku. Kami sedang bersiap salat Magrib dan akan memulai thowaf untuk umrah. Sambil memandang Kabah di hadapan, lamunanku berkelebat ke beberapa bulan silam.
Sesuai janji Mas Bayu, setelah salat Isya kami segera berangkat. Aku tak bisa melukiskan rasa bahagia yang hadir di hati. Restoran romantis, makanan yang lezat, dan kelembutan Mas Bayu, melambungkanku jauh ke awan. Apalagi sesampainya di rumah, kami masih melanjutkan menuntaskan rindu yang terpendam selama berbulan-bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mas Bayu begitu mesra dan lembut, hingga aku merasa menjadi pengantin baru lagi. Kami bersatu dalam kemesraan, merengkuh semua kenikmatan dunia. Tidak ada lagi pertengkaran, tidak ada lagi kekecewaan. Semuanya sirna ditelan keindahan dan hangatnya malam. Aku pun hanyut dalam dekapan lembut Mas Bayu, kami menyatu hingga fajar menyapa.
Hari demi hari, hubungan kami semakin membaik. Kami jadi saling terbuka dan mencoba mengerti satu sama lain. Aku selalu melakukan salat malam, mohon agar Allah memberikan pilihan terbaik. Mas Bayu mulai memberikan perhatian kecil meski terkadang ia masih lupa melakukannya. Namun, tidak mengapa, bukankah semuanya membutuhkan proses?
Melihat kesungguhannya serta menimbang dengan penuh perhitungan, aku akhirnya memutuskan untuk mengalah dan membatalkan niat berpisah. Aku menyadari kalau diri ini pun tidak sempurna. Mas Bayu begitu bahagia. Semua masalah kami satu persatu selesai dengan baik. Aku juga sudah melupakan Pras, menyimpan semua kenangan dan cinta di hati terdalam, serta menguncinya agar tidak timbul kembali ke permukaan. Mas Bayu juga belajar memaafkanku.
Pembukaan restoran berjalan lancar dan pelanggan tak berhenti datang. Restoran laris manis. Aku juga sudah diizinkan Pak Abdurrahman untuk merekrut manajer yang akan bertanggung jawab memantau jalannya restoran, sehingga saat aku harus kembali ke Riyadh, operasional restoran sudah terkendali.
Begitu pun pernikahan Sasha berjalan dengan meriah. Ibu terlihat sangat bahagia karena akhirnya Sasha mendapatkan jodoh yang baik. Perempuan paruh baya itu semakin bahagia saat Mas Bayu datang dan meyakinkan Ibu kalau kami baik-baik saja.
Sejak malam penuh kebahagiaan itu, haid-ku tidak datang lagi bulan berikutnya. Dadaku berdebar, tapi aku tidak mau terlalu berharap. Sudah sering aku menghadapi hal seperti ini dan berakhir dengan kekecewaan. Aku menunggu hingga beberapa minggu, sampai kuputuskan membeli alat tes kehamilan.
Menanti munculnya garis di alat itu bagaikan menanti datangnya Mas Bayu saat pertama kali melamar. Tanganku gemetar waktu memegang benda putih berbentuk kotak panjang itu. Dengan sabar kupandang kotak kecil yang memperlihatkan garis merah. Perlahan-lahan garis dua muncul dan semakin jelas. Alhamdulillah, ya Allah! Garis dua. Aku hamil!
Tak kuasa kulukiskan bahagiaku saat itu. Tak bisa kuberkata-kata. Aku segera sujud syukur. Penantian selama delapan tahun, akhirnya berakhir bahagia. Rasanya ingin bersorak. Tak sabar aku membawa hasil tadi dan menunjukkannya pada Mas Bayu.
Mas Bayu terpana. Tak sanggup berkata-kata. Begitu sadar, ia langsung memelukku erat, menciumi wajah dan keningku. Sejak saat itu, kehidupan kami berubah. Tak ada lagi kesedihan, yang ada hanya kebahagiaan. Mas Bayu mengajakku untuk pulang ke Riyadh dan melahirkan di sana. Kami juga punya rencana untuk umrah dan ke Madinah sebagai rasa syukur akan nikmat Allah. Maka, setelah kandunganku aman untuk terbang, kami segera pulang ke Riyadh.
Dan di sinilah kami sekarang. Bersujud di hadapan Kabah. Setelah salat Magrib, Mas Bayu menggandengku untuk memutari bangunan kotak itu sebanyak tujuh kali. Umrah kali ini terasa berbeda karena Mas Bayu memperlakukanku dengan sangat lembut dan penuh perhatian. Usai thowaf, kami salat sunah dua rakaat.
“Haus? Aku ambilkan zam-zam, ya? Tunggu di sini!” Mas Bayu pun segera menuju tempat air zam-zam di pinggir area thowaf. Tak lama ia kembali membawa dua gelas air zam-zam dan memberikan satu untukku.
“Perutmu nggak papa?” tanyanya lembut sambil mengelus perutku.
“Alhamdulillah, nggak apa-apa. Malah tadi dia nendang aku berkali-kali pas kita thowaf. Kayaknya ikut senang kita bisa umrah lagi,” sahutku ceria sambil mengelus lembut perutku yang tampak membuncit. Air mata Mas Bayu menetes, tapi cepat disekanya. Ia lalu menggandengku untuk melaksanakan salat. Aku tersungkur dalam sujud dan doa panjang, bersyukur untuk semua kemurahan dan kenikmatan yang Allah berikan.
Selesai Sa’i, aku minta istirahat karena sudah tidak kuat melangkah dengan perut besar. Kami pun duduk di pinggir area Sai sambil menikmati ari zam-zam. Aku memandang para jemaah dari berbagai negara yang sedang berjalan dan berlari kecil dari Safa ke Marwa. Air mataku kembali menetes, teringat perjuangan Ibunda Hajar saat ditinggal Nabi Ibrahim dan harus berjuang mencari air untuk putranya. Allah mengujinya dengan membiarkan ia berlari bolak-balik sebanyak tujuh kali, baru Allah memberikan air yang memancar dari kaki Nabi Ismail. Perjuangan itulah yang saat ini dilakukan oleh jemaah umrah.
Halaman : 1 2 Selanjutnya