Dokter Rian bersama tim Code Blue mengirim Pak Romi ke ICU. “Ibu bisa menemani Pak Romi.” Kania mengusap-usap tangan ibu itu. “Untuk barang-barang Ibu bisa diambil nanti,” ujar Kania lembut.
Kania dan Krisna kembali ke nurse stasion setelah tim Code Blue meninggalkan bangsal Cempaka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kania! Pesananku nggak lupa, kan?” Manda menepuk ringan bahu Kania yang sudah disibukkan dengan obat pasien.
“Eh, iya.” Kania menepuk dahinya. “Masih sama Rio. Nanti aku ambilkan.”
“Rio siapa?” Suara dokter Iqbal mengagetkan kedua gadis itu.
“Eh, dokter!” Manda beringsut dari kursi agar dokter Iqbal bisa duduk. Hanya ada dua kursi di depan meja nurse station. Manda beralih masuk ke ruang nurse stasion.
Krisna meletakkan rekam medis pasien setelah dokter Iqbal duduk. Dokter muda itu mencermati rekam medis itu. “Ibu Rani operasi siang ini ya?”
“Iya, Dok.”
“Sudah konsultasi dengan dokter anestesi?”
“Segera kami konsultasikan, Dok.”
Dokter Iqbal menutup rekap medis pasien. “Okey. Ayo ke bangsal! Siapa tahu sudah ada pasien yang kangen sama aku.” Dokter Iqbal berkelakar. Dokter Iqbal salah satu dokter yang digemari pasien. Kebanyakan pasiennya yang rawat jalan, kebayakkan menolak saat disarankan ganti dokter. Mereka rela antri asal sama dokter Iqbal.
“Kania, tolong tolong konsultasi dokter anestesi untuk Bu Rani,” pesan Krisna sebelum beranjak bersama dokter Iqbal ke bangsal.
“Siap!” Kania melihat rekam medis Ny. Rani sebelum menyambar telepon di depannya.
“Assalamualaikum dokter.” Kania terlihat menarik napas sebentar sebelum melanjutkan telepon.
“Maaf Dok, izin ada konsulan dari dr. Iqbal untuk pasien Ny, Rani usia 44 tahun dengan open fr tibia fibula sin, 1/3 medial, cf metatarsal I-V pedis si, hasil lab, al: 10, hb : 14.2, at : 223, hmt : 42, gds : 92, ppt : 15.4, aptt : 34.5, td : 102/72, n :87, rr : 20. Mohon konsul anestesi untuk rencana operasi hari ini, pukul 13.00.” Kania menunggu sesaat.
“Baik. Terima kasih, dokter,” ujar Kania ketika sudah mendapatkan acc dari dokter anestesi. Kania segera menutup telpon setelah mengucapkan salam.
“Manda! Aku ke bawah dulu ya, ambil pesananmu!” teriak Kania.
Manda hanya mengacungkan jempolnya.
Kania memilih jalan lewat tangga, meskipun lift masih lengang. “Naik turun tangga itu efektif buat bakar kalori,” kata Kania waktu temannya protes karena diajak lewat tangga. Meski hari masih pagi, tapi lantai satu terlihat sangat ramai. Kursi di depan loket pendaftaran penuh bahkan beberapa orang terpaksa berdiri. Berkali-kali mesin antrian pasien memanggil pasien.
Kania baru saja akan melangkahkan kakinya keluar dari rumah sakit, tiba-tiba dari arah berlawanan seseorang melangkah hendak masuk. “Pak Sarto! Hati-hati kalau jalan!” teriak Kania. Hampir saja Pak Sarto menabrak gadis itu. “Maaf, Mbak, maaf.” Pak Sarto mengalihkan pandangannya dari ponsel yang ia pegang. “Mau ke mana, Mbak?” sapanya kikuk.
“Mau ke Rio.”
“Rio?” Dahi Pak Sarto berkerut. Tiba-tiba bibir tersenyum saat ia berhasil mengingat Rio. “O, Rio. Masih setia sama Rio, Mbak?”
“Iya!” Kania melangkah menjauhi Pak Sarto.
Sebuah motor masuk terburu ke area parkir. Orang itu tiba-tiba berhenti mendadak. Ia mengedarkan pandangan mencari tempat yang kosong. Ia melajukan motornya saat melihat ada tempat kosong di sisi kanannya. Karena terburu membelok, bagian belakang motornya menyenggol motor di sisi kirinya. Akibat senggolan itu, motor matic di sisi kiri oleng.
“Rio!” teriak Kania kaget.
Halaman : 1 2