Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 12)
Benar kiranya, rumah tangga akan memperlihatkan watak asli seseorang yang selama ini tidak pernah terlihat menjadi nyata adanya, yang tidak pernah terbayangkan menjadi nampak di depan mata dan yang dulu tertutup sekarang terbuka sepenuhnya. Bagaimana tidak, dari bangun tidur hingga tidur kembali selalu bertemu, saling bertukar pandang dan mengurai kata. Tidak hanya dalam cinta tapi juga dalam amarah dan prasangka.
Rumah tangga yang diawali dengan ucapan akad nikah adalah mitsaqon ghalidha, ikatan yang sangat kuat antara lelaki dengan Allah. Perjanjian yang mengubah beberapa hal yang haram menjadi halal, juga menjadikan yang halal menjadi haram. Perkara yang awalnya haram menjadi halal diantaranya memberikan harta, bahkan memberikan harta dari seorang lelaki kepada seorang wanita menjadi wajib dalam bentuk nafkah. Hal lainnya adalah saling melihat aurat yang awalnya haram setelah terucap akad nikah menjadi halal, bahkan menjadi kewajiban. Sementara yang haram dalam rumah tangga adalah membuka aib pasangan, saling memburukkan di hadapan orang tua dan keluarga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak terasa dua bulan sejak akad nikah terucap hingga hari ini. Peristiwa silih berganti mengantarkan Kirei dan Attala menuju proses pendewasaan yang sebenarnya. Kebiasaan kecil yang sering dianggap remeh. Namun, berdampak pada emosi pasangan, sering kali terjadi. Kirei yang serba teratur dan disiplin meletakkan barang sering menahan amarah bila Attala meletakkan handuk basah di kasur setelah mandi. Juga sepatu, dasi, kemeja yang berserakan di kamar selepas pulang kerja.
Mau tidak mau Kirei yang membersihkan dan meletakkan semua di tempat yang semestinya. Mengomel menjadi sesuatu yang paling dihindarinya, sebab akan semakin memperburuk emosi dan suasana rumah. Ia ingin mengubah kebiasaan yang sudah selama ini dia terima yaitu menyelesaikan segala permasalahan dengan mengomel. Ia ingin kesabarannya itu menjadi salah satu bagian dari ketaatannya kepada Attala sebagai suami.
Pun Attala tidak lepas dari berbagai penyesuaian. Semasa lajang, ia terbiasa pergi ke mana pun sendirian dan mempertimbangkan semua urusan sendirian. Akan tetapi, sejak memiliki Kirei sebagai istri, ia harus belajar untuk membangun komunikasi yang baik. Semua hal disampaikan kepada istrinya agar mendapatkan pertimbangan terbaik untuk mengambil keputusan. Tidak hanya urusan rumah tangga tetapi juga urusan bisnis.
Mereka berdua yakin semua adalah proses pembelajaran yang membutuhkan waktu sebab menyatukan dua isi kepala beserta kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun bukanlah hal yang mudah. Kerjasama, saling memahami, saling menutupi kekurangan pasangan adalah hal mutlak. Sebagaimana yang disampaikan pada firman Allah dalam Qur’an surah Al Baqarah ayat 187, mereka adalah pakaian untuk kamu dan kamu adalah pakaian untuk mereka. Makna kalimat ini ada dua, pertama memiliki pengertian bahwa seseorang yang memiliki pasangan akan terjaga dari zina, terjaga dari perbuatan yang tidak baik. Makna kedua, bahwasanya pakaian adalah kain yang melekat sangat dekat dengan tubuh untuk menutupi aurat. Demikian juga hubungan suami istri adalah hubungan yang paling dekat secara lahir dan batin.
“Kamu terlihat pucat, Sayang.” Attala memperhatikan wajah Kirei yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Aku pusing sekali, Mas. Perutku juga mual. Pagi ini, sudah beberapa kali aku muntah tadi.” Kirei langsung merebahkan diri ke kasur. “Rasanya aku tidak sanggup berangkat ke kantor hari ini.”
“Mau aku buatkan sesuatu? Teh hangat atau air jahe?” Attala meletakkan telapak tangan di pelipis istrinya. Tidak demam.
“Tidak, Mas. Aku ingin istirahat saja. Aku minta maaf tidak bisa menyiapkan sarapan hari ini. Mas bisa, kan, sarapan di kantin kantor?” Kirei menatap iba suaminya.
Attala tersenyum penuh makna. Jika suhu badan istrinya tidak tinggi tapi dia merasa mual dan tidak nafsu makan di pagi hari. Apa mungkin itu pertanda bahwa Kirei mengandung sebagaimana keterangan yang pernah dia baca dalam sebuah artikel kesehatan? Tangannya menyentuh pipi sang istri dengan penuh kasih sayang.
“Apakah kamu sudah datang bulan?” Ia bertanya hati-hati. Takut pertanyaannya menyinggung hati Kirei. Soalnya, perkara datang bulan adalah hal yang sensitif bagi perempuan.
Kirei mengernyitkan dahi. Memang terakhir, ia haid sepekan menjelang akad nikah. Setelah itu dia sudah tidak mengalami, lebih tepatnya tidak memperhatikan karena begitu sibuk dengan urusan pekerjaan ditambah Papa mertuanya—Prasetyo—yang mendadak terkena serangan jantung dan segera dilarikan ke rumah sakit internasional di Singapura. Keputusan untuk segera menjalani operasi jantung bagi Prasetyo, bahkan membuat rencana bulan madu ke Bali batal karena Attala harus mendampingi ayahnya tercinta.
“Rasanya, aku belum kedatangan tamu bulanan semenjak kita menikah, Mas.” Wajah Kirei memerah malu.
Attala tersenyum. Sebuah kecupan disematkan di dahi istrinya dengan mesra.
Halaman : 1 2 Selanjutnya