Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 13)
“Mas lagi nunggu siapa, sih? Kayaknya serius banget.” Kirei memasang wajah cemberut karena Attala lebih memerhatikan ponsel di tangan dari pada dirinya.
“Sebentar lagi Mama datang. Beliau akan ke sini menemani kamu selagi aku bekerja.” Attala mengalihkan pandangan pada Kirei, lalu memegang pundak dan memapah istrinya itu untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mama? Kamu sudah memberitahu Mama kalau aku hamil?” Kirei merengut. Dia berharap agar hal itu menjadi rahasia sebab kehamilannya ini masih abu-abu alias belum tentu kebenarannya.
“Tadi sewaktu aku di minimarket, Mama menelpon. Kemudian, bertanya aku sedang di mana. Ya sudah, aku bilang aja kalau sedang di minimarket membeli testpack. Eh, Mama langsung bilang mau ke sini sekarang juga.” Attala memberikan penjelasan secara detail agar Kirei tidak salah paham.
Kirei menghela nafas panjang. Sejujurnya, dia ingin Attala tidak masuk kantor hari ini untuk menemaninya istirahat di rumah dan mendampingi periksa ke dokter. Kehamilan pertama ini baginya sangat mendebarkan. Morning sickness yang menyerang tiba-tiba membuatnya lebih sensitif. Toh satu hari saja tidak masalah, ada sekretaris dan tim kerja bisa yang mengatasi semuanya.
“Mas, bisakah….” Kalimat Kirei tidak sempat selesai karena di ambang pintu kamar, Mama Maya sudah berdiri sembari menenteng paperbag di kanan kiri.
“Alhamdulillah, mantu Mama. Kamu sehat, Kirei? Ahh, pasti mual ya? Pusing?” Maya langsung membuka pintu tanpa mengetuk dan mengucapkan salam. Ia begitu antusias bertemu Kirei. Dia memeluk Kirei, menatap wajah menantunya sebentar.
“Sini, Kirei, ikut Mama ke dapur. Mama bawa kopi hitam, permen jahe, dan juga sarapan untuk kalian.” Maya mengajak Kirei ke dapur untuk mengeluarkan barang-barang yang ada di paper bag, sedangkan Attala pergi ke kamar sambil berbicara dengan seseorang di ponsel.
Maya mengeluarkan semua isi paper bag. Aneka kotak thinwall sudah berjajar rapi di meja makan. Aroma masakan menguar.
Kirei terkejut dengan semua yang Maya bawa. Namun, ia segera memahami bahwa mama mertuanya itu, terlalu bahagia dengan kehamilannya yang begitu diinginkan karena ia dan Attala sama-sama anak tunggal. Baik keluarganya maupun keluarga Attala, pasti menantikan kehadiran seorang cucu.
“Mama, titip Kirei, ya. Attala sudah daftarin Kirei periksa ke dokter kandungan di Klinik Semesta Harapan. Nanti Attala kirim nomor antriannya via chat, ya, Ma.” Attala tiba-tiba muncul dengan mengenakan setelan kantor dan menjinjing tas kerja. “Rei, maaf, Mas tidak bisa mengantarmu periksa karena ada klien dari Bali yang mendadak ingin bertemu langsung.”
Attala mencium kening istrinya sambil mengelus perut Kirei yang masih rata, sedangkan Kirei hanya bisa menatap kepergian suaminya dengan perasaan campur aduk, antara marah, kecewa dan sedih. Padahal, ia ingin menahan Attala agar tidak pergi. Rasanya, bahagia sekali jika ia bisa digandeng mesra oleh suaminya menuju tempat praktek dokter, mendengarkan hasil pemeriksaan dan mendengarkan penjelasan dokter tentang apa yang boleh dan tidak dilakukan agar kehamilan pertamanya ini bisa terjaga dengan baik. Hanya berdua, tanpa turut campur orang lain, termasuk kedua orangtuanya. Namun apalah daya, Attala tidak bisa memahami kegalauan hatinya. Momentum pertama kehamilannya justru tidak lebih penting dari pekerjaannya.
“Attala, sarapan dulu.” Maya menahan lengan Attala agar tidak pergi.
“Nanti saja di kantin kantor, Ma. Keburu jalanan macet.” Attala melepas pegangan tangan Maya dengan lembut kemudian mencium pipi orang yang sangat berjasa dalam hidupnya itu.
Sepeninggal Attala, Kirei menangis. Hatinya terasa sakit melihat Attala lebih mementingkan klien dan pekerjaan dari pada dirinya. Memang selama ini, ia sudah terbiasa ditinggal lembur atau rapat oleh suaminya bersama klien ke luar kota. Akan tetapi, sekarang di dalam perutnya ada buah cinta mereka yang sangat membutuhkan perhatian.
“Loh, kenapa menangis? Ada yang sakit? Atau pusing?” Maya panik melihat menantunya terisak.
“Nggak, Ma. Kirei mau ke kamar mandi dulu. Mual lagi.” Kirei dengan wajah pucat segera masuk ke kamar mandi dan menumpahkan air mata sepuasnya.
Terdengar suara ketukan pintu berkali-kali sambil memanggil-manggil namanya saat Kirei sedang mencuci wajah cantiknya Suara itu sudah tidak asing lagi di telinganya—Gayatri—ibunya.
Gayatri tegak di depan pintu kamar mandi sembari memperlihatkan wajah cemas saat pintu kamar mandi dibuka.
“Mama, kapan datang?” Kirei memeluk Gayatri.
“Sudah lima menit yang lalu, Mama menunggumu keluar dari kamar mandi, tapi kamu tidak kunjung keluar. Ibu khawatir terjadi apa-apa denganmu, makanya Ibu berkali-kali mengetuk pintunya.” Gayatri menggandeng lengan Kirei dan membimbingnya kembali ke dapur, lalu menyuruh putrinya itu untuk duduk.
Maya segera mengambilkan seporsi bubur ayam dan mengangsurkannya pada Gayatri. Tanpa menunggu lama, Gayatri menyuapkan sesendok bubur ke anak perempuan satu-satunya itu. Mereka berharap bubur ayam yang lembut itu bisa diterima dengan baik oleh lambung Kirei. Tapi rupanya dugaan itu meleset. Saat sendok yang berisi bubur ayam itu mulai mendekati hidung Kirei, terciumlah aroma daun bawang yang menyengat. Tanpa aba-aba, lambung Kirei langsung bereaksi. Mual dan muntah tidak bisa dielakkan lagi. Kirei segera menghambur ke kamar mandi untuk kesekian kalinya.
Halaman : 1 2 Selanjutnya